Oleh SAMUEL MULIA
Suatu hari saya membaca tweet seorang teman yang berbunyi: It is not about how many friends you have. It’s about how many friends you can rely on. Membaca itu saya me-retweet begini. Jangan pernah memercayai siapa pun. Manusia itu berubah!
Penikam dan ditikam
Tak
lama setelah itu saya membaca kembali sebuah pesan soal pertemanan.
Begini. Teman itu ada yang asli dan ada yang palsu. Teman baik itu akan
selalu melindungimu dari hal-hal buruk. Sahabat sejati itu akan
membuatmu bangkit pada saat kamu tidak mampu berdiri.
Dulu saya
suka bingung dengan istilah manusia antisosial. Namun, belakangan saya
jadi berpikir ulang setelah dua teman menghantam saya dari belakang.
Mungkin sebaiknya menjadi antisosial ketimbang menjadi naik pitam karena
menjadi makhluk yang sosial atau terlalu sosial.
Setelah
peristiwa di atas, saya memutuskan tak memusuhi mereka, tetapi menjaga
jarak yang sangat berjarak. Setelah mengambil keputusan itu, saya
sendiri menjadi bingung. Apakah istilah teman itu masih bisa berlaku
dalam kasus seperti yang saya alami ini. Musuh tidak, berteman pun
tidak.
Mengapa mereka menjadi penikam dari belakang? Saya mencoba
berpikir dan menyimpulkan begini. Bisa jadi mereka tidak mau dan atau
tidak mampu menempatkan diri mereka di posisi saya. Karena tidak mau dan
atau tidak mampu, mereka menyimpulkan bahwa saya ini begini, saya itu
beginu. Kemudian melalui ketidakmampuan dan ketidakmauan itu mereka
menganggap bahwa yang disimpulkan itu benar adanya dan memercayai itu
sebagai sebuah kebenaran.
Dan kehancuran terbesar adalah kebenaran
yang belum tentu benar itu disebarluaskan dari mulut ke mulut sampai ke
sosial media dan mendarat di gendang telinga saya yang belakangan suka
budek. Namun, dalam masalah ini kebudekan yang biasanya terjadi, KO
seketika setelah membaca soal penikaman itu.
Kemudian saya
bercerita kepada seorang teman bahwa saya mengalami masalah ini. Teman
saya yang kebetulan mengenal kedua penikam itu mengatakan bahwa saya
harus mengerti jika kedua penikam itu supersensitif.
Nasihatnya
itu membuat saya berpikir dan bukan berkeinginan membalas dendam.
Begini. Bagaimana seseorang bisa bermodalkan keegoisan yang sangat masuk
ke sebuah ranah pertemanan? Kalau mereka sensitif, tidakkah mereka juga
seyogianya berpikir bahwa yang mampu sensitif dalam artian mudah
tersinggung itu bukan hanya mereka berdua saja?
Mengapa hanya saya
yang harus mengerti mereka? Mengapa mereka juga tidak melakukan hal
yang sama untuk mengerti saya sebelum dengan entengnya menyebarkan
kebenaran yang tidak benar itu? Apakah peristiwa semacam itu sebuah cara
untuk mempraktikkan secara nyata bahwa saya harus mengasihi mereka yang
menikam?
Di suatu malam, saya bercakap-cakap lagi dengan seorang
teman lainnya dan berencana untuk berlibur bersama. Setelah sekian jam
berlangsung, teman saya mendadak kaget sambil berkata begini, ”Aduh,
kita kok enggak ngajak…(menyebut nama seseorang yang punya nilai ambang
ketersinggungan rendah sekali). Ntar dia marah lho.”
Sepulang dari acara makan
malam itu, saya berpikir, alangkah hebatnya seorang yang disebut teman
sehingga mampu membuat teman sendiri menjadi keder. Saya berpikir,
bukankah yang namanya pertemanan itu tak sama dengan memiliki? Tak
berarti selalu harus bersama-sama senantiasa kecuali Anda atau saya
memang pada dasarnya tak punya teman?
Bahwa seorang teman berhak
melakukan apa yang disukai tanpa rasa ketakutan. Ia berhak untuk
bepergian kemana saja tanpa harus melibatkan teman yang itu-itu saja,
bahkan tak perlu meminta izin bepergian bukan? Saya jadi berpikir,
pertemanan macam apakah itu? Wajar atau di bawah todongan belati?
Buat
saya, teman itu hanya sebuah medium menyalurkan aktivitas sosial
seseorang. Ia bukan sebuah tempat berutang. Ia bukan sebuah sansak dari
ketidakmatangan jiwa, dari kesakitan batin seseorang. Teman apa pun
jenisnya bukankah seyogianya sebuah taman bermain yang menyenangkan dan
bukan sebuah neraka yang menyesakkan dada?
Mungkin saya terlalu
naif untuk mencita-citakan hal itu terjadi di dunia ini. Mungkin yang
benar saya harus menerima bahwa di dunia ini memang ada yang asli dan
yang palsu.
Mungkin untuk menjadi seorang teman yang baik
seyogianya seseorang harus menjadi manusia yang tidak kekurangan cinta
sehingga ia menjadi mudah merengek untuk memenuhi kekurangannya itu
kepada orang lain.
Sumber: Kompas, 28 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar