Pages - Menu

03 April 2013

Rumah Tuhan

Oleh AK Basuki

Ibuku adalah perempuan pemilik jiwa yang hangat. Rasa cinta pada sesama telah dibungkusnya dengan rapat, ikhlas, tanpa ada sebuah cela bernama pamrih yang bisa mendesak dan merobeknya. Dia perempuan yang pernah menikmati bahagia bagi dirinya sendiri dan telah merasa puas. Kini bahagianya sudah mencapai tingkat sempurna, merasa tanpa merasa. Kebahagiaan orang lain adalah pula miliknya, begitu juga dengan kesedihan dan kesakitan mereka.


”Mari bertandang. Soalnya, Tuhan selalu berada di sana, dekat pada yang sakit. Di sanalah rumah-Nya.” Itu kata-kata ajaibnya untuk menggugah semangatku, agar bersedia mengantarnya selalu, bertandang ke rumah Tuhan. Seperti ada radar di kepalanya yang akan mengirimkan impuls untuk menggoyangkan sebuah lonceng sehingga seisi rumah akan segera terjaga jika ada seorang sakit yang harus dijenguk. Tak peduli di siang hari yang panas maupun malam dengan kegelapan yang nyata. Memang terkadang membuatku menggerutu, tapi rasa hormat dan sayangku melebihi keinginan membantahnya. Lagipula, rasa penasaran akan Tuhan selalu berhasil dimunculkannya kemudian lewat kalimat bertubi-tubi yang lebih berupa bujukan untukku. Itu membuatku tak hendak melepaskannya sendiri. Semua toh pada akhirnya akan kulakukan demi Ibu.

Selama dalam perjalanan, Ibu akan lebih banyak diam. Seakan-akan doa telah dirapalkan dalam hati sejak kakinya menjejak heksagon paving block terakhir halaman rumah kami. Kadang aku iseng menggodanya dengan menyanyikan lagu-lagu yang kocak, tapi desis dari bibirnya akan mencegahku. Jika itu dirasa tak cukup, sebuah jeweran pada telingaku akan menjadi lebih ampuh.

”Kau tahu, ada hikmat yang harus disiapkan sejak kita bertolak untuk melakukan ini. Sebuah keheningan yang maha, dimulai dari hati kita. Itulah sebutan lain dari sebuah doa. Setiap jengkal jarak yang kita tempuh akan dikumpulkan oleh malaikat untuk ditaburkan di ranjang si sakit. Memberikan mereka kekuatan. Sakit seseorang juga merupakan sebuah peringatan Tuhan agar kita makin merasa dekat dengan-Nya. Bukankah kita beruntung?”
Baiklah. Amin.

Tanpa bermaksud memungkiri bahwa aku adalah anak kurang ajar ketika harus menahan hati dari memaki diri sendiri pada saat menemaninya ke rumah-rumah orang yang bahkan sama sekali tak pernah kukenal, lama kelamaan aku terbiasa. Tapi rasa terbiasa itu tidak bisa mencegahku semakin berani pula untuk beralasan sekali waktu. Apakah jika separuh penduduk bumi dikenalnya, akan semua didatangi jika sedang menderita sakit?

”Kenapa rumah Tuhan tak satu saja? Akan lebih mudah,” kataku suatu hari saat dia memintaku mengantarnya untuk kesekian kali. Itu waktu pertama di mana gejolak darah mudaku tengah menepikan semua kepentingan selainnya hingga berani menolak dan membantah. Ibu mengernyitkan alis.

”Kau tak mau mengantar Ibu?”
”Aku sedang tak ingin pergi kemana-mana, Bu. Ke rumah Tuhan sekalipun.”
”Lancang! Tuhan mendengar perkataanmu dan malaikat mencatatnya. Sebagai ganjaran, kelak jika waktumu tiba, kau akan tertunda di muka gerbang surga menunggu kepastian-Nya. Kepanasan dan sendirian!”

Ngeri mendengar kata-katanya, tapi aku masih mengeyel, ”Bekalku sudah banyak, Bu. Sambil menunggu gerbang dibukakan, akan kuhabiskan bekalku itu.”
”Sudah berapa banyak bekalmu?”
”Sebanyak yang Ibu pernah berikan.”
”Kalau demikian, pastilah belum cukup.”
Lalu begitu saja disiapkannya sendiri barang-barang bawaan yang hendak dipersembahkan pada si sakit tanpa mencoba memaksaku lebih jauh. Mungkin dalam pikiran Ibu, aku sudah terlalu besar untuk dimuntahi kata- kata yang hanya mempan pada anak-anak ingusan. Seingatku, itu satu-satunya pembangkanganku, tapi tak lama.
”Kenapa rumah Tuhan tak hanya satu?” tanyaku sedikit berteriak mencoba sedikit menyamarkan perasaan sesalku sewaktu punggung Ibu telah lenyap di balik pagar.
Terdengar jawabannya, ”Di mana si sakit berbaring, di situlah rumah-Nya. Jika Dia hanya berumah satu, tentu kau hapali jalan ke rumah itu lalu kau akan menjadi sombong dan jauh lebih bosan dari sekarang.”
Bertambah besar penyesalan, aku berlari mengejarnya, ”Ibu! Ibu!”
Tapi dia sudah lenyap di belokan pertama. Padahal ingin sekali aku mendengar apa pun lagi dari perkataannya tentang rumah Tuhan agar kemalasanku hari itu bertemu upasnya. Bergegas kunyalakan mesin sepeda motor, berharap masih tercium aroma tubuhnya di jalanan kecil yang dilewati agar bisa kudapatkan dia, lalu kuantarkan kemana saja dia mau. Pikirku, jika kaki-kaki Ibu lelah, itu sungguh karena kesalahanku. Jika Tuhan tiada di tempat yang dituju karena telah pergi ke rumah lain yang tiada diketahuinya, itu juga karena salahku. Ibu tak ingin terlambat, tapi aku malah memperlambatnya. Maka legalah hatiku saat kutemukan dia beberapa ratus meter kemudian, berdiri di seberang rumah Ayah.

”Tuhan di sini?” tanyaku berdebar. Mungkin Ayah sakit. Tapi Ibu hanya memandangi rumah bercat kuning itu dengan tatapan sarat makna yang sedikit banyak bisa kumengerti.
”Untuk apa aku menyusul Ibu jika hanya untuk mencari Tuhan di tempat ini?”
”Ssh... tak baik berkata begitu. Ibu hanya tiba-tiba ingin melalui jalan ini. Lihatlah, rumahnya yang sekarang tak ada bedanya dengan rumah kita, hanya saja....”
Ya, aku tahu. Sudah jelas rumah Ayah sonder cinta. Dingin tanpa kemungkinan menjadi hangat seperti jika paparan cahaya matahari mampu menyusup lewat setiap celah yang ada pada dinding atau gentingnya. Tak seperti haru-biru Ibu yang bertahan dengan harga diri dan cintanya, Ayah justru senantiasa goyah dan berkali-kali ingin kembali. Tapi pertahanan Ibu memang telah solid melindungi dirinya dari kuasa cinta Ayah. Rumah tangga Ayah yang baru sama bobroknya dengan yang lama. Bedanya, kesalahan bukan dari sudutnya lagi seperti yang terjadi antara dirinya dan Ibu. Ayah sudah mengkhianati Ibu, begitu pula nasib yang didapatnya kemudian.
”Marilah, Bu,” ajakku. Tak sudi aku berlama-lama di tempat itu. Lebih tak sudi lagi melihat cinta yang kadang masih berkobar di matanya. Aku tahu, sudah beberapa kali Ayah datang untuk meminta maaf dan ingin kembali kepada Ibu. Tapi Ibu tak merasa harus memaafkan atau tak memaafkan siapa-siapa, dia hanya tak hendak mempergunakan haknya. Selepas Ayah pergi, satu-satu pintu memang telah ditutupnya walaupun cinta tentu saja tak pernah mati.
Ketika kami telah sampai di satu kompleks perumahan, Ibu turun dari boncengan dan tertegun.
”Di sanalah rumah Tuhan,” tunjuknya ke satu rumah dengan orang-orang yang sibuk. Kami memang telah terlambat, tapi sejak itu hatiku bersumpah untuk tak akan pernah lagi menunda-nunda ajakannya.

Hingga akhirnya tiba juga saat-saat yang mungkin paling ditakutkan Ibu. Tuhan menyambangi rumah Ayah.
”Ayahmu sakit. Kita harus bertandang,” katanya pagi ini. Kulihat matanya telah basah seperti baskara terhembalang hujan. Raut wajahnya terlihat lebih bingung dari biasa. Seakan-akan sakit seorang ini merupakan kumulasi dari sakit belasan orang yang pernah dijenguknya. Aku tak sependapat. Ayahku itu toh orang khianat.
”Parahkah?” Ibu mengangguk.
”Kudoakan Tuhan tak ada di sana.”
Tangan Ibu tangkas terangkat hendak memberikan dera pada pipiku, tapi urung. Wajahnya jadi kelabu. Sangatlah tak layak baginya mempertunjukkan ekspresi wajah itu bagi kemalangan Ayah. Bagiku, seribu kali orang itu mengaduh kesakitan atau mengharapkan pertolongan, tak lagi aku akan memperhatikannya. Sebaliknya, tentu saja Ibu berbeda.
”Dengan begini apakah Ibu meninggikan derajat ayahmu dibanding yang lain? Bukankah dia sama saja dengan siapa pun yang tengah menderita sakit?” dia bertanya. Itu seperti sebuah pertanyaan pula bagi dirinya sendiri untuk meyakinkan kembali keyakinannya. Aku tak mau menjawab.
”Gegaslah, Ibu salah telah membiarkan dogma mengeram hampir abadi di kepalamu. Dulu kau masih terlalu muda untuk mengerti dan Ibu meminta maaf untuk itu.”
Hatiku menyangkal. Saat Ayah khianat, aku memang masih terlalu muda, tapi telah mengerti sebuah daya tarik dari sebentuk makhluk bernama perempuan. Daya tarik yang mengisap ayahku ke dalamnya seperti binatang hina tersesat ke dalam lumpur pengisap karena kerakusannya. Dari sana aku tahu, Ibu menjadi seorang perempuan yang tak menarik lagi bagi Ayah walaupun bagiku dia adalah secantik-cantiknya perempuan. Ayah lupa diri.
Akhir-akhir ini dia memang sering bertandang kemari, tapi aku tetap tak bisa melupakan kesalahannya. Enak saja dia berkeinginan pulang setelah merasa puas dan ketuaan mulai menggerogoti tubuhnya. Mungkin dia telah berfirasat, kematian sewaktu-waktu akan menjemputnya. Dan bila saat itu datang dia ingin berada di samping perempuan pertamanya.
”Gegaslah,” bisik Ibu. Tak memaksa, tapi memohon. Setengah enggan aku menuruti hanya untuk menjadi sadar setelahnya bahwa rumah Ayah tak begitu jauh. Ibu memang mengharuskanku untuk ikut, bukan untuk sekadar mengantarnya seperti waktu-waktu biasa. Semoga Tuhan tak di sana, gerutuku dalam hati.
Sepanjang perjalanan kaki-kaki kami, doa Ibu bertebaran. Bagaikan dapat kulihat setiap huruf dalam doa yang keluar dari mulutnya dan memudahkanku mengeja. Tanpa terasa, aku turut berdoa. Tapi itu kulakukan untuk Ibu, bukan untuk Ayah.
Di gerbang rumah Ayah, beberapa orang yang mengetahui hubungan kami dengan si sakit tergopoh-gopoh menyambut. Nyawa Ayah hanya akan lepas jika telah bertemu kami, kata salah satu dari mereka. Terdengar kasar dan tak pantas di telingaku, tapi tak mengapa. Ayah patut mendapatkannya. Ibu pun tak merasa akan membuka jalan kematian bagi Ayah. Hatinya hanya berduka, lain tidak.
Di depan pintu kamar Ayah, Ibu berhenti sejenak. Lengannya merangkul leherku dan didekatkan bibirnya pada telingaku, berbisik, ”Pasang senyuman terbaikmu.”
Seketika, pintu rumah Tuhan terbuka.

Sumber: Kompas, 11 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar