Oleh AK Basuki
Ibuku adalah
perempuan pemilik jiwa yang hangat. Rasa cinta pada sesama telah
dibungkusnya dengan rapat, ikhlas, tanpa ada sebuah cela bernama pamrih
yang bisa mendesak dan merobeknya. Dia perempuan yang pernah menikmati
bahagia bagi dirinya sendiri dan telah merasa puas. Kini bahagianya
sudah mencapai tingkat sempurna, merasa tanpa merasa. Kebahagiaan orang
lain adalah pula miliknya, begitu juga dengan kesedihan dan kesakitan
mereka.
”Mari bertandang. Soalnya, Tuhan selalu berada di sana,
dekat pada yang sakit. Di sanalah rumah-Nya.” Itu kata-kata ajaibnya
untuk menggugah semangatku, agar bersedia mengantarnya selalu,
bertandang ke rumah Tuhan. Seperti ada radar di kepalanya yang akan
mengirimkan impuls untuk menggoyangkan sebuah lonceng sehingga seisi
rumah akan segera terjaga jika ada seorang sakit yang harus dijenguk.
Tak peduli di siang hari yang panas maupun malam dengan kegelapan yang
nyata. Memang terkadang membuatku menggerutu, tapi rasa hormat dan
sayangku melebihi keinginan membantahnya. Lagipula, rasa penasaran akan
Tuhan selalu berhasil dimunculkannya kemudian lewat kalimat bertubi-tubi
yang lebih berupa bujukan untukku. Itu membuatku tak hendak
melepaskannya sendiri. Semua toh pada akhirnya akan kulakukan demi Ibu.
Selama
dalam perjalanan, Ibu akan lebih banyak diam. Seakan-akan doa telah
dirapalkan dalam hati sejak kakinya menjejak heksagon paving block
terakhir halaman rumah kami. Kadang aku iseng menggodanya dengan
menyanyikan lagu-lagu yang kocak, tapi desis dari bibirnya akan
mencegahku. Jika itu dirasa tak cukup, sebuah jeweran pada telingaku
akan menjadi lebih ampuh.
”Kau tahu, ada hikmat yang harus
disiapkan sejak kita bertolak untuk melakukan ini. Sebuah keheningan
yang maha, dimulai dari hati kita. Itulah sebutan lain dari sebuah doa.
Setiap jengkal jarak yang kita tempuh akan dikumpulkan oleh malaikat
untuk ditaburkan di ranjang si sakit. Memberikan mereka kekuatan. Sakit
seseorang juga merupakan sebuah peringatan Tuhan agar kita makin merasa
dekat dengan-Nya. Bukankah kita beruntung?”
Baiklah. Amin.
Tanpa
bermaksud memungkiri bahwa aku adalah anak kurang ajar ketika harus
menahan hati dari memaki diri sendiri pada saat menemaninya ke
rumah-rumah orang yang bahkan sama sekali tak pernah kukenal, lama
kelamaan aku terbiasa. Tapi rasa terbiasa itu tidak bisa mencegahku
semakin berani pula untuk beralasan sekali waktu. Apakah jika separuh
penduduk bumi dikenalnya, akan semua didatangi jika sedang menderita
sakit?
”Kenapa rumah Tuhan tak satu saja? Akan lebih mudah,”
kataku suatu hari saat dia memintaku mengantarnya untuk kesekian kali.
Itu waktu pertama di mana gejolak darah mudaku tengah menepikan semua
kepentingan selainnya hingga berani menolak dan membantah. Ibu
mengernyitkan alis.
”Kau tak mau mengantar Ibu?”
”Aku sedang tak ingin pergi kemana-mana, Bu. Ke rumah Tuhan sekalipun.”
”Lancang!
Tuhan mendengar perkataanmu dan malaikat mencatatnya. Sebagai ganjaran,
kelak jika waktumu tiba, kau akan tertunda di muka gerbang surga
menunggu kepastian-Nya. Kepanasan dan sendirian!”
Ngeri mendengar
kata-katanya, tapi aku masih mengeyel, ”Bekalku sudah banyak, Bu. Sambil
menunggu gerbang dibukakan, akan kuhabiskan bekalku itu.”
”Sudah berapa banyak bekalmu?”
”Sebanyak yang Ibu pernah berikan.”
”Kalau demikian, pastilah belum cukup.”
Lalu
begitu saja disiapkannya sendiri barang-barang bawaan yang hendak
dipersembahkan pada si sakit tanpa mencoba memaksaku lebih jauh. Mungkin
dalam pikiran Ibu, aku sudah terlalu besar untuk dimuntahi kata- kata yang hanya mempan pada anak-anak ingusan. Seingatku, itu satu-satunya pembangkanganku, tapi tak lama.
”Kenapa
rumah Tuhan tak hanya satu?” tanyaku sedikit berteriak mencoba sedikit
menyamarkan perasaan sesalku sewaktu punggung Ibu telah lenyap di balik
pagar.
Terdengar jawabannya, ”Di mana si sakit berbaring, di
situlah rumah-Nya. Jika Dia hanya berumah satu, tentu kau hapali jalan
ke rumah itu lalu kau akan menjadi sombong dan jauh lebih bosan dari
sekarang.”
Bertambah besar penyesalan, aku berlari mengejarnya, ”Ibu! Ibu!”
Tapi
dia sudah lenyap di belokan pertama. Padahal ingin sekali aku mendengar
apa pun lagi dari perkataannya tentang rumah Tuhan agar kemalasanku
hari itu bertemu upasnya. Bergegas kunyalakan mesin sepeda motor,
berharap masih tercium aroma tubuhnya di jalanan kecil yang dilewati
agar bisa kudapatkan dia, lalu kuantarkan kemana saja dia mau. Pikirku,
jika kaki-kaki Ibu lelah, itu sungguh karena kesalahanku. Jika Tuhan
tiada di tempat yang dituju karena telah pergi ke rumah lain yang tiada
diketahuinya, itu juga karena salahku. Ibu tak ingin terlambat, tapi aku
malah memperlambatnya. Maka legalah hatiku saat kutemukan dia beberapa
ratus meter kemudian, berdiri di seberang rumah Ayah.
”Tuhan di
sini?” tanyaku berdebar. Mungkin Ayah sakit. Tapi Ibu hanya memandangi
rumah bercat kuning itu dengan tatapan sarat makna yang sedikit banyak
bisa kumengerti.
”Untuk apa aku menyusul Ibu jika hanya untuk mencari Tuhan di tempat ini?”
”Ssh...
tak baik berkata begitu. Ibu hanya tiba-tiba ingin melalui jalan ini.
Lihatlah, rumahnya yang sekarang tak ada bedanya dengan rumah kita,
hanya saja....”
Ya, aku tahu. Sudah jelas rumah Ayah sonder cinta.
Dingin tanpa kemungkinan menjadi hangat seperti jika paparan cahaya
matahari mampu menyusup lewat setiap celah yang ada pada dinding atau
gentingnya. Tak seperti haru-biru Ibu yang bertahan dengan harga diri
dan cintanya, Ayah justru senantiasa goyah dan berkali-kali ingin
kembali. Tapi pertahanan Ibu memang telah solid melindungi dirinya dari
kuasa cinta Ayah. Rumah tangga Ayah yang baru sama bobroknya dengan yang
lama. Bedanya, kesalahan bukan dari sudutnya lagi seperti yang terjadi
antara dirinya dan Ibu. Ayah sudah mengkhianati Ibu, begitu pula nasib
yang didapatnya kemudian.
”Marilah, Bu,” ajakku. Tak sudi aku
berlama-lama di tempat itu. Lebih tak sudi lagi melihat cinta yang
kadang masih berkobar di matanya. Aku tahu, sudah beberapa kali Ayah
datang untuk meminta maaf dan ingin kembali kepada Ibu. Tapi Ibu tak
merasa harus memaafkan atau tak memaafkan siapa-siapa, dia hanya tak
hendak mempergunakan haknya. Selepas Ayah pergi, satu-satu pintu memang
telah ditutupnya walaupun cinta tentu saja tak pernah mati.
Ketika kami telah sampai di satu kompleks perumahan, Ibu turun dari boncengan dan tertegun.
”Di
sanalah rumah Tuhan,” tunjuknya ke satu rumah dengan orang-orang yang
sibuk. Kami memang telah terlambat, tapi sejak itu hatiku bersumpah
untuk tak akan pernah lagi menunda-nunda ajakannya.
Hingga akhirnya tiba juga saat-saat yang mungkin paling ditakutkan Ibu. Tuhan menyambangi rumah Ayah.
”Ayahmu
sakit. Kita harus bertandang,” katanya pagi ini. Kulihat matanya telah
basah seperti baskara terhembalang hujan. Raut wajahnya terlihat lebih
bingung dari biasa. Seakan-akan sakit seorang ini merupakan kumulasi
dari sakit belasan orang yang pernah dijenguknya. Aku tak sependapat.
Ayahku itu toh orang khianat.
”Parahkah?” Ibu mengangguk.
”Kudoakan Tuhan tak ada di sana.”
Tangan
Ibu tangkas terangkat hendak memberikan dera pada pipiku, tapi urung.
Wajahnya jadi kelabu. Sangatlah tak layak baginya mempertunjukkan
ekspresi wajah itu bagi kemalangan Ayah. Bagiku, seribu kali orang itu
mengaduh kesakitan atau mengharapkan pertolongan, tak lagi aku akan
memperhatikannya. Sebaliknya, tentu saja Ibu berbeda.
”Dengan
begini apakah Ibu meninggikan derajat ayahmu dibanding yang lain?
Bukankah dia sama saja dengan siapa pun yang tengah menderita sakit?”
dia bertanya. Itu seperti sebuah pertanyaan pula bagi dirinya sendiri
untuk meyakinkan kembali keyakinannya. Aku tak mau menjawab.
”Gegaslah,
Ibu salah telah membiarkan dogma mengeram hampir abadi di kepalamu.
Dulu kau masih terlalu muda untuk mengerti dan Ibu meminta maaf untuk
itu.”
Hatiku menyangkal. Saat Ayah khianat, aku memang masih
terlalu muda, tapi telah mengerti sebuah daya tarik dari sebentuk
makhluk bernama perempuan. Daya tarik yang mengisap ayahku ke dalamnya
seperti binatang hina tersesat ke dalam lumpur pengisap
karena kerakusannya. Dari sana aku tahu, Ibu menjadi seorang perempuan
yang tak menarik lagi bagi Ayah walaupun bagiku dia adalah
secantik-cantiknya perempuan. Ayah lupa diri.
Akhir-akhir ini dia
memang sering bertandang kemari, tapi aku tetap tak bisa melupakan
kesalahannya. Enak saja dia berkeinginan pulang setelah merasa puas dan
ketuaan mulai menggerogoti tubuhnya. Mungkin dia telah berfirasat,
kematian sewaktu-waktu akan menjemputnya. Dan bila saat itu datang dia
ingin berada di samping perempuan pertamanya.
”Gegaslah,” bisik
Ibu. Tak memaksa, tapi memohon. Setengah enggan aku menuruti hanya untuk
menjadi sadar setelahnya bahwa rumah Ayah tak begitu jauh. Ibu memang
mengharuskanku untuk ikut, bukan untuk sekadar mengantarnya seperti
waktu-waktu biasa. Semoga Tuhan tak di sana, gerutuku dalam hati.
Sepanjang
perjalanan kaki-kaki kami, doa Ibu bertebaran. Bagaikan dapat kulihat
setiap huruf dalam doa yang keluar dari mulutnya dan memudahkanku
mengeja. Tanpa terasa, aku turut berdoa. Tapi itu kulakukan untuk Ibu,
bukan untuk Ayah.
Di gerbang rumah Ayah, beberapa orang yang
mengetahui hubungan kami dengan si sakit tergopoh-gopoh menyambut. Nyawa
Ayah hanya akan lepas jika telah bertemu kami, kata salah satu dari
mereka. Terdengar kasar dan tak pantas di telingaku, tapi tak mengapa.
Ayah patut mendapatkannya. Ibu pun tak merasa akan membuka jalan
kematian bagi Ayah. Hatinya hanya berduka, lain tidak.
Di depan
pintu kamar Ayah, Ibu berhenti sejenak. Lengannya merangkul leherku dan
didekatkan bibirnya pada telingaku, berbisik, ”Pasang senyuman
terbaikmu.”
Seketika, pintu rumah Tuhan terbuka.
Sumber: Kompas, 11 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar