Cerpen Esti Pramestiari
Aku kira, kau disini...bersamaku..namun nyatanya...aku disini..bersama kedua kakiku.
***
Katamu,
hidup itu sederhana, katamu..tak ada sedih, karena yang menciptakan
kesedihan itu hanyalah kita. Katamu juga, tangis itu tidak ada, namun
mengapa tak hentinya air dari jiwa ini menggenangi wajahku, selepas
kepergianmu.
Pergi? Memangnya kau pergi?
Katamu juga, kau tidak
akan pernah pergi, namun mengapa saat ini aku merasakan kau amat jauh,
siapa kau? Mengapa hanya ada aku dan kedua kakiku?
Tanpamu...
***
“Plak”
lelaki itu melayangkan tangan kanannya yang besar kewajahku. Aku diam
tanpa suara, kau berdiri dikejauhan dan memandangku.
“Bangkit!” itu katamu tanpa suara. Aku memandangmu lekat.
Mulut
lelaki dihadapanku komat-kamit, aku tak mengerti apa yang diucapkannya,
yang aku paham bagaimana aku bisa berlari kearahmu, memintamu
memelukku.
Aku Takut..
Sendirian...
Sementara kau disana dan diam tanpa sepatah kata
***
Aku berdiri, menyambut ombak. Kau disana berdiri dari kejauhan..
“aaahh selalu saja seperti itu, kemarilah!” kataku
Namun kembali kau hanya tersenyum dan memandangku
Aku melemparkan sebuah botol ke ombak yang menari-nari dihadapanku, kau melihatku kan? Ini tulisanku bacalah
Lelakiku..
Kau disana..
Mengapa diam tanpa sepatah kata?
Mengapa tak ada suara..
Kau tau..
Aku kira kau disini..
Namun nyatanya..
Kembali..
Aku harus berdiri dengan kedua kakiku...
Sendiri...
***
“Kemana uangmu,sini!” itu katanya.
Berkali-kali dia meraih tasku, mengeluarkannya dan aku hanya diam tanpa kata.
“Jangan ambil seluruhnya, aku harus pergi kekantor besok” akhirnya aku terpaksa angkat bicara.
Sementara tangan besarnya kembali mengepal dan jatuh dipipi kananku.
Aku
tidak merasakan apapun, mungkin karena lelaki yang mereka sebut suamiku
sejak tiga tahun lalu itu, ribuan kali melakukannya untukku.
Aku tau, aku punya kau... aku tau..
***
Malam ini bintang bersinar dari kejauhan, namun aku merasa kau amat dekat...dekat..dan nyata...aku merasakannya...
Aku
merasakan gejolak nafasmu bersatu bersama nafasku malam ini, aku
merasakan kau bersenandung lirih bersama bintang yang berpendar.
Kau..
“Aku disini, tak akan pernah pergi” akhirnya kau angkat bicara.
Aku menyentuh wajahmu, dekat dan merasakan bahwa ini....
Nyata..
“Tolong peluklah aku” kataku kemudian.
Lalu kau memberikan bahumu..dan aku bersandar diatasnya.
***
“Berikan uangmu!”lelaki itu mulai dengan aksinya.
“Tidak!!!” kali ini aku kumpulkan seluruh tenagaku untuk bicara.
Kau tersenyum dan aku melihatnya....
“Beraninya Kau!” tangan kanannya yang besar melayang ke arahku lalu aku menangkisnya.
Lelaki itu semakin geram, kali ini dia mendorongku kedinding.
“Aku butuh kau.. kemarilah!” jeritku padamu
Namun kali ini matamu marah melihatku, dan beralih pandangan pada lelaki itu.
Aku mengerti...
Aku mendorong lelaki itu dengan sekuat tenagaku, melihat piala diatas lemari bahwa aku pernah mengikuti kejuaraan bela diri.
Kau tersenyum kembali ...dan aku mengerti...
***
Ini
bulan pertama aku hidup tanpanya, kau yang menolongnya, membuat
kekuatan didalam diriku menjadi berlipat ganda. Aku mengatur hidup dari
angka nol besar dan akan membuatnya menjadi seratus saat bertemu
denganmu, dikehidupan nyata tentunya.
Aku membuat strategi, memperbaiki kwalitas diri, dan menghadiri jadwal sidang perpisahan yang telah ditetapkan.
Kau dimana?
Semakin hari rasanya kau semakin hilang...
***
Aku
menari diatas pasir, aku menyukai bagian ini, bagian dimana aku merasa
amat dekat denganmu. Kau seperti berirama konstan yang mengerti
aku,sementara aku seperti ombak yang menyambutmu.
Aku membentangkan
kedua tanganku, merasakan angin meniup tubuhku, lalu memejamkan mataku,
lihatlah...aku melihatmu..dengan hatiku.
Merasakan bahwa kau berdiri
dibelakangku, dan aku memberanikan diri berkata “Hei...aku mencintaimu,
jangan pernah kembali pergi!”. Meski aku mengerti, kau pasir di pantai.
Aku
menyukai bagian ini, melihat kau berdiri dari kejauhan, dan aku
berlari, rasanya semakin dekat, dekat dan dekat...hingga akhirnya aku
teramat lelah untuk kembali menuju tepian.
***
Ruangan sidang dibuka untuk umum
Pukul 08.15 WIB
Aku celingukan kedepan pintu, berharap kau datang, meski nyatanya tidak akan pernah.
Lelaki itu datang dengan kemeja hitamnya bersama pengacara hebatnya, sementara aku sendirian.
Mengapa?
Karena itu doa kita tadi malam.
Kita?
Ya.. Aku dan Kau.
Kau
dengan bola matamu yang aku lupa warna apa, kau dengan senyummu yang
aku tak ingat bagaimana bila kau tersenyum, yang aku ingat adalah kau
pernah berkata bahwa telingamu terlalu lebar untuk aku bercerita banyak
hal.
Hmmm....
***
Saksi telah berdatangan, meski kau tak juga kunjung datang.
Telingaku
tak mendengar apapun, aku hanya ingat bagian dimana lelaki dihadapanku
melayangkan kepalan tangannya yang besar untuk memukulku, sementara aku
tidak pernah menangis, namun berlari ke dinding, duduk, dan meraihmu.
Tok...Tok..Tok..
Meja sidang diketuk hakim.
Permintaan dikabulkan, gugatan diterima.
Aku
melihat semuanya bersorak, kecuali lelaki yang ada dihadapanku. Matanya
memancarkan kemarahan, rasa yang mungkin hanya dirinya yang paham
maknanya.
Kau?
Dimana?
Aku berlari...keluar ruangan...
Mencarimu..
Berlari lagi..
hingga
seseorang dihadapanku berkata “Tiara...lihatlah, hari barumu telah
datang, tak ada lagi kesedihan” perempuan tua setengah baya itu
memelukku.
“Mama” kataku memeluknya juga.
“Dimana dia ma?” kataku
“Siapa nak” lanjutnya
Lelaki
yang selalu memberikanku kekuatan untuk terus hidup,untuk bangkit
menatap matahari. Lelaki yang pernah aku sentuh meski hanya lewat mimpi
ditidur malamku lalu hilang ketika cakrawala datang dan menyapa dunia.
Lelaki yang meyakinkanku bahwa aku tidaklah sendirian, dia datang dan
memberi warna.
Dimana dia?
Hatiku terluka..
Sakit..
Jarum
panah dokter menusuk tangan kiriku, aku hanya mampu mendengar
suara,tanpa sanggup berkata “lambungnya kritis, dari data kami tiga
tahun lalu penyakit ini dideritanya dan hampir sebulan dia dalam
perawatan kami. Jika terus menerus tak mampu menerima makanan mungkin
dia akan terus berada diruangan ini,” itu suara laki-laki dengan jubah
putihnya.
Aku terdiam,melihatmu marah dari kejauhan, meski aku lupa bagaimana ekspresinya..aku lupa…
“Dia
ada dihatimu nak, hingga kapan pun dia hidup bersamamu, bersama
langkahmu, kau telah memilikinya utuh, tanpa bagian-bagian yang terlepas
ataupun tertinggal,” lanjut perempuan paruh baya itu.
Bangkitlah nak..bangkitlah…ini bukan kau yang kami kenal!
Kemudian aku tersenyum...
***
Pagi
ini aku merentangkan kedua tanganku, merasakan angin laut meniup
tubuhku perlahan-lahan, menikmati dirinya yang tersenyum dari kejauhan
sambil berusaha mendekatiku, aku terus memejamkan mataku, karena hanya
dengan inilah aku merasakan bahwa dia ada...ada..dan dekat...dekat
dengan tubuhku, menari bersamaku, ada ditiap langkahku.
Aku menunduk, aku lupa, bahwa aku tidak sendirian, ada kakiku yang selalu bersamaku, menemaniku, ya kakiku...
Dia ada, menopangku..agar aku kuat, dan tak lagi terjatuh..
Kaki
Tamat
Teruntuk Sebuah Nama
-Bandung-01.30 WIB
Maret 2013
Esti
Pramestiari,Penikmat sastra. Karya-karyanya telah dimuat diberbagai
media. Karya cerita pendeknya yang telah dimuat di Kompas.com "
Rajawali, Perempuan dimadu, Perahu Kertas, Perawan Tua, Wanita
Pengibur,dll. Silahkan berkomunikasi dengan penulis melalui email: esti.pramestiari@yahoo.com.
Sumber: Kompas, 4 april 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar