Pages - Menu

08 April 2013

K A K I

Cerpen Esti Pramestiari

Aku kira, kau disini...bersamaku..namun nyatanya...aku disini..bersama kedua kakiku.
***
Katamu, hidup itu sederhana, katamu..tak ada sedih, karena yang menciptakan kesedihan itu hanyalah kita. Katamu juga, tangis itu tidak ada, namun mengapa tak hentinya air dari jiwa ini menggenangi wajahku, selepas kepergianmu.


Pergi? Memangnya kau pergi?
Katamu juga, kau tidak akan pernah pergi, namun mengapa saat ini aku merasakan kau amat jauh, siapa kau? Mengapa hanya ada aku dan kedua kakiku?
Tanpamu...
***
“Plak” lelaki itu melayangkan tangan kanannya yang besar kewajahku. Aku diam tanpa suara, kau berdiri dikejauhan dan memandangku.
“Bangkit!” itu katamu tanpa suara. Aku memandangmu lekat.
Mulut lelaki dihadapanku komat-kamit, aku tak mengerti apa yang diucapkannya, yang aku paham bagaimana aku bisa berlari kearahmu, memintamu memelukku.
Aku Takut..
Sendirian...
Sementara kau disana dan diam tanpa sepatah kata
***
Aku berdiri, menyambut ombak. Kau disana berdiri dari kejauhan..
“aaahh selalu saja seperti itu, kemarilah!” kataku
Namun kembali kau hanya tersenyum dan memandangku
Aku melemparkan sebuah botol ke ombak yang menari-nari dihadapanku, kau melihatku kan? Ini tulisanku bacalah
Lelakiku..
Kau disana..
Mengapa diam tanpa sepatah kata?
Mengapa tak ada suara..
Kau tau..
Aku kira kau disini..
Namun nyatanya..
Kembali..
Aku harus berdiri dengan kedua kakiku...
Sendiri...
*** 
“Kemana uangmu,sini!” itu katanya.
Berkali-kali dia meraih tasku, mengeluarkannya dan aku hanya diam tanpa kata.
“Jangan ambil seluruhnya, aku harus pergi kekantor besok” akhirnya aku terpaksa angkat bicara.
Sementara tangan besarnya kembali mengepal dan jatuh dipipi kananku.
Aku tidak merasakan apapun, mungkin karena lelaki yang mereka sebut suamiku sejak tiga tahun lalu itu, ribuan kali melakukannya untukku.
Aku tau, aku punya kau... aku tau..
***
Malam ini bintang bersinar dari kejauhan, namun aku merasa kau amat dekat...dekat..dan nyata...aku merasakannya...
Aku merasakan gejolak nafasmu bersatu bersama nafasku malam ini, aku merasakan kau bersenandung lirih bersama bintang yang berpendar.
Kau..
“Aku disini, tak akan pernah pergi” akhirnya kau angkat bicara.
Aku menyentuh wajahmu, dekat dan merasakan bahwa ini....
 Nyata..

“Tolong peluklah aku” kataku kemudian.
Lalu kau memberikan bahumu..dan aku bersandar diatasnya.
***
“Berikan uangmu!”lelaki itu mulai dengan aksinya.
“Tidak!!!” kali ini aku kumpulkan seluruh tenagaku untuk bicara.

Kau tersenyum dan aku melihatnya....

“Beraninya Kau!” tangan kanannya yang besar melayang ke arahku lalu aku menangkisnya.
Lelaki itu semakin geram, kali ini dia mendorongku kedinding.
“Aku butuh kau.. kemarilah!” jeritku padamu
Namun kali ini matamu marah melihatku, dan beralih pandangan pada lelaki itu.

Aku mengerti...

Aku mendorong lelaki itu dengan sekuat tenagaku, melihat piala diatas lemari bahwa aku pernah mengikuti kejuaraan bela diri.
Kau tersenyum kembali ...dan aku mengerti...
***
Ini bulan pertama aku hidup tanpanya, kau yang menolongnya, membuat kekuatan didalam diriku menjadi berlipat ganda. Aku mengatur hidup dari angka nol besar dan akan membuatnya menjadi seratus saat bertemu denganmu, dikehidupan nyata tentunya.
Aku membuat strategi, memperbaiki kwalitas diri, dan menghadiri jadwal sidang perpisahan yang telah ditetapkan.

Kau dimana?
Semakin hari rasanya kau semakin hilang...
***
Aku menari diatas pasir, aku menyukai bagian ini, bagian dimana aku merasa amat dekat denganmu. Kau seperti berirama konstan yang mengerti aku,sementara aku seperti ombak yang menyambutmu.
Aku membentangkan kedua tanganku, merasakan angin meniup tubuhku, lalu memejamkan mataku, lihatlah...aku melihatmu..dengan hatiku.
Merasakan bahwa kau berdiri dibelakangku, dan aku memberanikan diri berkata “Hei...aku mencintaimu, jangan pernah kembali pergi!”. Meski aku mengerti, kau pasir di pantai.
Aku menyukai bagian ini, melihat kau berdiri dari kejauhan, dan aku berlari, rasanya semakin dekat, dekat dan dekat...hingga akhirnya aku teramat lelah untuk kembali menuju tepian.
***
Ruangan sidang dibuka untuk umum
Pukul 08.15 WIB
Aku celingukan kedepan pintu, berharap kau datang, meski nyatanya tidak akan pernah.
Lelaki itu datang dengan kemeja hitamnya bersama pengacara hebatnya, sementara aku sendirian.
Mengapa?
Karena itu doa kita tadi malam.
Kita?
Ya.. Aku dan Kau.
Kau dengan bola matamu yang aku lupa warna apa, kau dengan senyummu yang aku tak ingat bagaimana bila kau tersenyum, yang aku ingat adalah kau pernah berkata bahwa telingamu terlalu lebar untuk aku bercerita banyak hal.
Hmmm....
***
Saksi telah berdatangan, meski kau tak juga kunjung datang.
Telingaku tak mendengar apapun, aku hanya ingat bagian dimana lelaki dihadapanku melayangkan kepalan tangannya yang besar untuk memukulku, sementara aku tidak pernah menangis, namun berlari ke dinding, duduk, dan meraihmu.

Tok...Tok..Tok..
Meja sidang diketuk hakim.

Permintaan dikabulkan, gugatan diterima.

Aku melihat semuanya bersorak, kecuali lelaki yang ada dihadapanku. Matanya memancarkan kemarahan, rasa yang mungkin hanya dirinya yang paham maknanya.
Kau?
Dimana?
Aku berlari...keluar ruangan...
Mencarimu..
Berlari lagi..
hingga seseorang dihadapanku berkata “Tiara...lihatlah, hari barumu telah datang, tak ada lagi kesedihan” perempuan tua setengah baya itu memelukku.
“Mama” kataku memeluknya juga.
“Dimana dia ma?” kataku
“Siapa nak” lanjutnya
Lelaki yang selalu memberikanku kekuatan untuk terus hidup,untuk bangkit menatap matahari. Lelaki yang pernah aku sentuh meski hanya lewat mimpi ditidur malamku lalu hilang ketika cakrawala datang dan menyapa dunia. Lelaki yang meyakinkanku bahwa aku tidaklah sendirian, dia datang dan memberi warna.
Dimana dia?
Hatiku terluka..
Sakit..

Jarum panah dokter menusuk tangan kiriku, aku hanya mampu mendengar suara,tanpa sanggup berkata “lambungnya kritis, dari data kami tiga tahun lalu penyakit ini dideritanya dan hampir sebulan dia dalam perawatan kami. Jika terus menerus tak mampu menerima makanan mungkin dia akan terus berada diruangan ini,” itu suara laki-laki dengan jubah putihnya.
Aku terdiam,melihatmu marah dari kejauhan, meski aku lupa bagaimana ekspresinya..aku lupa…
“Dia ada dihatimu nak, hingga kapan pun dia hidup bersamamu, bersama langkahmu, kau telah memilikinya utuh, tanpa bagian-bagian yang terlepas ataupun tertinggal,” lanjut perempuan paruh baya itu.
Bangkitlah nak..bangkitlah…ini bukan kau yang kami kenal!
Kemudian aku tersenyum...
***
Pagi ini aku merentangkan kedua tanganku, merasakan angin laut meniup tubuhku perlahan-lahan, menikmati dirinya yang tersenyum dari kejauhan sambil berusaha mendekatiku, aku terus memejamkan mataku, karena hanya dengan inilah aku merasakan bahwa dia ada...ada..dan dekat...dekat dengan tubuhku, menari bersamaku, ada ditiap langkahku.
Aku menunduk, aku lupa, bahwa aku tidak sendirian, ada kakiku yang selalu bersamaku, menemaniku, ya kakiku...
Dia ada, menopangku..agar aku kuat, dan tak lagi terjatuh..

Kaki

Tamat
Teruntuk Sebuah Nama
-Bandung-01.30 WIB  
Maret 2013

 Esti Pramestiari,Penikmat sastra. Karya-karyanya telah dimuat diberbagai media. Karya cerita pendeknya yang telah dimuat di Kompas.com " Rajawali, Perempuan dimadu, Perahu Kertas, Perawan Tua, Wanita Pengibur,dll. Silahkan berkomunikasi dengan penulis melalui email: esti.pramestiari@yahoo.com.

Sumber: Kompas, 4 april 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar