Pages - Menu

25 Februari 2013

Lagu Kesunyian di Penghujung Hari

Cerpen Dodiek Adyttya Dwiwanto

Banyak anak, banyak rezeki.  Pepatah ini benar adanya.  Tidak salah kalau ayah, kakek, kakek buyut, hingga kakek nenek moyangku selalu mengumbar semboyan ini.  Banyak anak memang banyak rezeki.  Tidak usah takut akan kehilangan harta dalam membiayai hidup anak-anak kita.  Tidak perlu gentar pula bila tidak memiliki cukup uang dalam memberikan kehidupan yang layak.  Tidak perlu risau dengan semua itu karena Yang Maha Kuasa telah mengatur semuanya. 


Semua itu selalu dikumandangkan oleh ayah dan kakek kala keduanya masih hidup.  Kau harus berani dalam mengarungi hidup ini.  Milikilah anak yang banyak.  Tidak perlu risau jika kau tidak punya cukup harta untuk membiayai mereka.  Ingat setiap anak membawa rezekinya masing-masing.  Rentetan kata-kata ini selalu saja diutarakan ayah dan kakek hingga akhirnya meresap dalam otakku, mengalir dalam aliran darahku.
Ya, sudah akhirnya aku memiliki banyak anak.  Sejatinya, sih, tidak terlalu banyak.  Hanya enam orang saja.  Buat orang yang hidup sejaman denganku jumlah itu tidak seberapa.  Rata-rata mereka punya minimal delapan anak.  Jumlah anakku ya tidak seberapa.
Semua anak-anakku kini telah dewasa.  Semuanya telah berkeluarga dan telah memberikan segerombolan cucu-cucu yang manis, lucu, pintar, sekaligus menjengkelkan saat bandel atau merajuk.  Dan seperti apa kata ayahku, kakekku dan orang-orang sebelum mereka, anak-anakku ini juga membawa rezekinya masing-masing.  Semuanya sukses menjadi “orang”.  Punya karier dan jabatan yang bagus, keluarga harmonis, rumah yang mewah, mobil yang mentereng, uang yang berlimpah.  Pokoknya yang bagus-bagus.  Orangtua mana, sih, yang tidak bangga dengan keberhasilan anak-anak mereka.
Anak sulungku yang laki-laki, kini berada di Swedia.  Ia menjabat sebagai Duta Besar di sana.  Setelah lebih dari 25 tahun menjadi diplomat, ia hanya bisa menjadi Duta Besar dan bukan Menteri Luar Negeri.  Tidak mengapa, tak banyak rekan-rekannya yang bisa menjadi seperti itu.  Paling banter hanya sebagai direktur di lingkungan Deplu.  Tidak percuma kalau aku menyekolahkannya hingga tingkat sarjana.  Di era akhir 1970-an tidak terlalu banyak orang yang menyandang titel sarjana tapi anak sulungku bisa.  Malah ia kemudian bisa masuk Deplu, berkarier di sana dan juga meraih titel Ph.D!  Karena anakku sering berada di luarnegeri, maka istri dan anak-anaknya lebih sering bertutur dalam Bahasa Inggris.  Tidak hanya itu, sesekali mereka juga berbicara dalam Bahasa Perancis.
Anak keduaku perempuan.  Ia bekerja di UNHCR, sebuah badan PBB yang mengurusi pengungsi di seluruh dunia.  Kini, ia tinggal di Perancis bersama suaminya yang seorang pengusaha kerajinan etnik Indonesia.  Karena sudah lama menetap di Perancis, maka mereka sekeluarga lebih sering berbahasa Perancis.  Apalagi kalau bertemu dengan keluarga anak sulungku, mereka suka bercas cis cus dalam bahasa yang menurutku seperti orang berkumur-kumur.
Anak ketiga juga perempuan.  Ia menjadi guru besar di Universitas Gadjah Mada.  S-1 dan S-2 diperolehnya di universitas negeri tertua di negeri ini, sedangkan S-3 diperolehnya di Inggris.  Saat mengambil kuliah doktor inilah, ia bertemu dengan suaminya yang juga seorang dosen di universitas yang sama.  Mereka menikah tidak lama setelah lulus program doktor.  Kini, mereka memberikanku cucu-cucu yang lucu karena selalu menggunakan tutur kata Bahasa Jawa yang krama inggil!
Anak keempatku yang laki-laki, sekarang menjadi pemimpin redaksi sebuah sindikasi penerbitan majalah dan suratkabar terbesar di Asia Tenggara.  Hmm, sepertinya ia mewarisi bakat kakekku yang seorang wartawan dan tokoh pergerakan.  Tadinya aku tidak menyetujui keinginannya untuk menjadi seorang jurnalis, tapi aku menyerah saat ia mengatakan kalau kakek buyut adalah seorang wartawan jempolan di jaman penjajahan Belanda.  Apalagi kemudian cita-citanya didukung oleh istriku.  Ya, sudahlah.  Tapi kini ia bisa membuktikan kalau pilihannya untuk menjadi jurnalis tidaklah salah.
Anak kelimaku perempuan.  Ia hanyalah seorang ibu rumahtangga.  Meskipun aku telah menyekolahkannya hingga S-2, ia malah lebih menyukai jadi seorang istri bagi suaminya sekaligus ibu bagi anak-anaknya.  Suaminya kini menjadi fungsionaris sebuah partai politik besar dan tengah mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur.
Anak bungsuku seorang laki-laki.  Seusai kuliah komputer di Amerika Serikat, ia malah menetap di Bali dan menjadi programmer freelance bagi perusahaan piranti lunak semacam Microsoft atau Oracle.  Ah, aku tidak terlalu tahu banyak tentang komputer. 
Anak-anakku sukses!
Anak-anakku juga bisa menjadi kebanggaanku.  Mereka juga memberikan cucu-cucu yang lucu.
Tapi semua itu tidak membuatku bahagia!
Di masa tuaku ini aku makin kesepian.  Sendiri dalam keterasingan.  Apalagi setelah istriku meninggal dunia.  Hmm, semakin sepi saja hidup ini.  Tidak teman berbicara atau bertukar pikiran.  Bertemu dengan teman-teman sejawat juga percuma.  Kebanyakan dari mereka sudah meninggal.  Kalaupun ada yang masih hidup eh sudah pikun.  Seandainya ada yang masih segar bugar, masih bisa dihitung dengan jari.  Kalau aku bertemu dengan mereka terus, lama-lama ya bosan.
Bosan bertemu dengan teman-teman.  Aku mencoba berdiam diri di rumahku di sebuah kawasan elit di Surabaya, tetapi dari hari ke hari ternyata jenuh juga.  Rumah dengan pekarangan 1 hektar ini ternyata seperti hutan belantara Amazon.  Sunyi senyap.  Yang ada hanyalah sederetan pembantu, tukang kebun dan supir yang telah bertahun-tahun setia bersamaku. 
Lantas apa pekerjaanku?
Menulis biografi?  Aku bukan seorang yang patut menulis catatan perjalananku.  Berbisnis?  Aku sudah terlalu tua.  Menjadi dosen?  Aku tidak terlalu pintar.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengunjungi anakku satu persatu.  Aku mendatangi anak sulungku.  Perjalanan puluhan jam Jakarta – Singapura – Amsterdam hingga Stockholm masih bisa aku lalui.  Sebagai orang yang pernah ikut wajib militer, keperkasaanku masih ada sisanya.
Sayangnya, impian indahku untuk bersama anak sulung, menantu perempuan dan cucu-cucuku sirna.  Mereka sibuk dengan diri masing-masing.  Anakku sibuk dengan pekerjaannya.  Begitu juga menantuku yang sibuk sebagai komandan para ibu dalam setiap acara di Kedutaan Besar.  Sama halnya dengan cucu-cucuku yang malah asyik ber-summer vacation ke Italia dan Spanyol.
Aku mutung dibuatnya.  Aku segera minta dipesankan tiket pesawat ke Perancis.  Siapa tahu anak perempuanku mau menampung ayahnya yang kesepian ini!  Ah, ternyata sesampainya di Paris, aku malah tambah kesepian.  Mereka tinggal di pedesaan di luar kota Paris.  Sepi.  Bahkan lebih sunyi ketimbang aku berada di kampung halamanku di Batu, Malang.
Aku memutuskan pulang ke Jakarta.  Siapa tahu anakku yang menjadi wartawan kondang sekaligus pemimpin redaksi itu mau menemaniku.  Setali tiga uang.  Anakku sedang sibuk dengan pekerjaannya.  Bahkan, ia sedang tidak berada di Jakarta.  Ia sedang berada di luarnegeri.
Aku hanya bisa termangu.  Aku telepon anak perempuanku di Yogyakarta, sedang apa ia sekarang?  Sibuk juga!  Sibuk mengajar mahasiswa S-2 dan S-3!
Anak perempuanku yang lain, yang suaminya pejabat juga pasti sibuk membantu suaminya berkampanye.  Tidak mungkin kalau ia tidak mendampingi suaminya road show ke daerah-daerah.  Tentunya ia tidak ingin suaminya kepincut penyanyi dangdut seperti yang terjadi pada anggota parlemen lantas terjadi skandal.  Urusan dengan aku, ya lupakan sejenak!
Hmm, semua anakku sibuk! 
Tidak adakah dari kalian yang tidak sibuk!
Aku meratap dalam hati.  Termangu sendiri di dalam sebuah taksi yang membawaku wara wiri tiada tentu.  Istriku, sedang apa kamu di surga?  Lihat anak-anak kita, mereka semua melupakanku!  Tidak ada lagi yang peduli denganku.  Cuek dengan ayah kandung mereka!
Supir taksi bingung ke mana lagi ia akan mengarahkan mobilnya.  Aku bilang lurus, lurus atau terus dan terus.  Argometer sudah menunjukkan hampir 500 ribu rupiah!  Aku tidak peduli.  Aku punya milyaran rupiah dan ratusan ribu dollar di bank.  Mendadak ponselku menjerit dengan kencang, mengagetkanku dari lamunan.
Ternyata anak bungsuku.  Ia mengabarkan kalau putra ketiganya akan dikhitan minggu depan.  Ia memiliki anak yang paling banyak dibandingkan anak-anakku yang lain.  Ia punya empat anak, tiga laki-laki dan perempuan yang bungsu.  Semua anak-anaku rata-rata hanya punya dua anak saja.  Hmm, program keluarga berencana yang didengungkan oleh Orde Baru sepertinya berhasil.
Ia mengundangku dengan segera.  Aku langsung mengiyakan ketimbang aku berputar-putar tidak karuan di Jakarta.  Supir taksi kuperintahkan menuju Bandara Soekarno Hatta.  Aku segera mencari tiket menuju Denpasar.  Tanpa perlu bertanya berapa harganya.  Pokoknya penerbangan apa saja.
Tidak butuh lebih dari satu setengah jam, aku sudah sampai di Denpasar.  Aku langsung mengabarkannya kepada anak bungsuku.  Ia kaget bercampur senang.  Bersama dengan istri dan keempat putra putrinya, anak bungsuku menjemputku.
Ah, sudah berapa tahun aku tidak melihatnya.  Hmm, mungkin aku yang terlalu sibuk.  Aku juga tidak terlalu dekat dengannya.  Aku lebih membanggakan putra sulungku dan anak keempatku yang menjadi orang sukses sedangkan anak bungsuku sudah aku sekolahkan jauh-jauh ke Amerika Serikat malah hanya jadi programmer komputer.  Istrikulah yang paling dekat dengan anak bungsu kesayangannya ini.
Aku melihat anak bungsuku datang.  Ia tampak lebih gemuk dari sebelumnya.  Rambutnya juga makin menipis, mirip mendiang kakeknya.  Ia memelukku.  Begitu juga dengan menantuku.  Di belakangnya berderet tiga anak lelaki ganteng serta satu bocah perempuan yang cantik dan pemalu.
Kami pun bergegas menuju rumah anak bungsuku.
Sudah cukup lama, anakku tinggal di Pulau Dewata.  Entah apa alasannya tinggal di sini.  Bukan di Surabaya atau Jakarta.  Biarlah itu menjadi pilihannya sendiri.  Ia memang terbilang keras kepala sejak kecil.
Tidak terasa sudah beberapa hari ini, aku tinggal di rumah anak bungsuku di sebuah kawasan pedesaan di luar kota Denpasar.  Suasananya tenang.  Sepertinya ini cocok untuk orang pensiunan seperti diriku.
Aku merasakan ketenangan di rumah ini.  Rumah ini memang tidak sehebat kediaman anakku yang menjadi Dubes.  Juga tidak seartistik rumah milik anakku yang ada di Perancis, Jakarta, atau Yogyakarta.  Rumah ini justru sederhana, unik, dan artistik, tetapi rumah ini juga menawarkan kedamaian yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya.
Rumah ini begitu teduh.  Entah apa karena penghuninya suka menjalankan perintah Yang Maha Esa.  Anak bungsuku sekeluarga tidak pernah lalai dalam menjalankan salat lima waktu.  Bahkan, kalau bisa mereka shalat secara berjamaah.  Tetapi aku tidak pernah ikut karena aku sudah melalaikannya sejak lama.
Tapi pagi ini berbeda.  Aku dibangunkan oleh anak bungsuku.  Aku bangkit dan kemudian mengambil air wudhu.  Ah, betapa menyegarkannya membasuh tubuh di pagi hari.  Selesai wudhu, ternyata anak bungsuku sekeluarga telah menungguku di ruang salat.  Mereka mempersilahkanku menjadi imam.  Aku menggeleng.  Aku menolak.  Seumur hidupku, aku belum pernah menjadi imam salat.  Aku mempersilahkan anak bungsuku untuk memimpin salat.  Tetapi putra sulungnya langsung mengatakan kalau salat lebih afdal bila yang memimpin shalat adalah yang lebih tua dan itu adalah aku yang berstatus kakek.  Aku menggeleng pelan dan mengatakan kalau aku tidak bisa dan tidak mampu.  Tanpa aku sadari, aku meneteskan airmata.  Cucuku yang masih duduk di bangku SMP ini ternyata tahu banyak tentang agama dibandingkan kakeknya yang luarbiasa tersesatnya.
Anak bungsuku segera memimpin salat.  Aku mengikutinya.  Entah sudah berapa puluh tahun aku tidak salat.  Aku malu dengan anak bungsuku.  Ternyata ia tidak hanya pandai dalam meraih gelar master di bidang komputer, tetapi juga piawai dalam bidang agama.  Siapa yang mengajarkannya?  Istrikukah?  Sepertinya tidak.
Usai salat subuh, anak bungsuku memimpin keluarganya untuk mengaji Al Qur’an.  Airmataku makin mengalir dengan deras.  Aku malu.  Di umurku yang senja ini, aku belum pandai mengaji.  Cucu-cucuku melihat dengan tatapan yang bingung.
Cucu perempuanku mendadak bangkit dari duduknya, menghampiriku.  Ia memelukku dengan penuh kasih sayang.  Ia mengatakan kalau aku belum pandai, ia akan mengajariku.  Kalaupun tidak mau, cucuku bilang ayahnya akan membantu.  Begitu juga dengan ibundanya dan saudara-saudaranya yang lain.  Aku tersenyum malu.  Aku pun mengangguk setuju.  Aku memeluk dan memangkunya.
Aku rasakan pagi ini begitu syahdu.  Anak bungsuku dan keluarganya mengajarkanku pelajaran hidup yang penting sebelum aku menutup mata.  Mudah-mudahan mereka memperbolehkan aku tinggal di sini lebih lama, apalagi bulan Ramadhan telah menjelang.  Aku ingin belajar agama.  Aku tidak ingin sendiri.  Aku ingin bersama anak bungsuku dan keluarganya.  Mudah-mudahan hidupku tidak lagi sepi saat aku menjelang ajal di hari kelak nanti.
Rumahsakit Islam Siti Hajar, Mataram, Lombok, 7 November 2006
Dodiek Adyttya Dwiwanto.  Lulusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada.  Tulisan-tulisannya seperti cerita pendek, resensi buku, dan artikel sepakbola dimuat di berbagai media cetak nasional.  Saat ini, bekerja sebagai humas di sebuah perusahaan, selain juga menjadi kolumnis sepakbola di sebuah media cetak nasional. 

Sumber: Kompas, 22 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar