Pages - Menu

31 Januari 2013

Kamar Biru dan Masa Lalu

Cerpen M. Dirgantara

Mereka melihatku, kamu, dia seperti melihat gerhana matahari dari ruang di belakang bumi. Seakan melayang. Mereka melihat kita bersamaan dengan fokus yang tak kurang. Keberatan selalu seru untuk disaksikan. Telinga mereka awas. Tiba-tiba semua orang di sini menjadi penyair, peka.

Kubayangkan gaun putihku serupa sungai. Panjang dan tertiup angin. Alirannya mengiringi langkahku berlari menjauh. Kamu memanggil namaku di belakang sana. Di altar yang harusnya mendengar janji kita.

Suaramu terdistorsi riuh tamu-tamu yang panik. Sebagian tetap duduk, sisanya setengah berdiri. Kursi-kursi berwarna pastel itu pesanan kita. Panggilanmu hanya kudengar tidak kusimak.
Dia yang menyatakan keberatan itu berdiri bergeming di sana, di jejeran terkahir bangku. Mengalirkan air mataku di matanya. Jari-jarinya saling melilit. Kutangkap getir di bibirnya. Apa ia ingin tersenyum sebenarnya?

Angin menarik rambutku, senyumku, tiap helai di tubuhku, juga ruhku ke belakang, menuju masa lalu. Sesaat sebelum aku berkelok di jajaran pohon menuju gerbang. Pohon-pohon itu meranggas diterkam kemarau dan usia. Kamu ucapkan maaf itu. Ia ucapkan maaf itu. Peri-peri kesedihan melayang menjemputnya dari bibir kalian, dan menaruhnya di kedua daun telingaku satu-satu.
***
Tak ada tangis dariku kelak, karena saat ini, kamu ucapkan semuanya. Seperti peramal di pasar malam yang keropos terlahap sepi. Tanpa keengganan. Kau menusuk mataku dengan pandanganmu. Enggan dan segan memang hanya bagi mereka yang tidak dekat.
“Andai hari itu ia datang menyatakan penyesalannya, keterlambatannya...”
Aku berhenti sejenak. Memotong waktu hingga putus. Menyisakan jeda yang terhempas di lantai tanpa warna. Awan berlumpur jauh di sela jendela masih enggan runtuh. Aku menyudut seperti ayam bertelur. Kamu memainkan udara hening, sekali-kali menangkap mataku. Aku adalah ahli sepi. Begitu juga kamu. Kediaman merupakan percakapan kita yang paling sering.
“Kamu akan menerimanya, meminta maaf yang sia-sia itu?”
“Iya.”
“Tapi, hanya kalau...”
“Semoga.” Kamu menatap langit-langit.
“Semoga tidak.” Aku menatapmu, lalu mengikuti tatapanmu: pola kubus bersambung-sambung.
Aku tahu aku tetap pilihan dan ia kepastian. Semua jelas. Aku hanya memilih untuk ragu. Keraguan terkadang menyisakan ruang bagi harapan. Kepastian bisa lebih menakutkanku.
***
Di hari-hari yang lalu, kauceritakan tentangnya yang menjelma dari celah-celah malam. Saat hening yang nyaris punah hadir. Nyata. Ia tidak hanya hadir dalam bentuk sosok. Tapi sari-sari peristiwa. Kenangan yang memutar diri sendiri tanpa bosan atau rusak: percakapan di sela kursi saat gaduh dan gerah penuh. Juga tentang kupu-kupu pembawa kegelapan yang malah berwarna putih.
Bila waktu adalah ada yang tergenggam raksasa tak berwujud berwarna kelam, saat itu itu sang raksasa membekukan momentum dan menjejalkannya ke dalam kendi kaca. Kendi itu kujaga hingga sekarang. Ada ingatan berwarna hijau di dalamnya. Ingatan itu bisa melesat kapanpun tanpa meleset seperti kilatan cahaya hitam di badan malam. Cahaya yang bergerak senyap.
Waktu tanpa penanda, matahari masih tergeletak, tapi ia berwarna sama sejak saat-saat yang tak kuperhatikan berapa. Mungkin abu-abu. Angin ikut terbias, menyisakan bekas-bekas luka yang juga muram.
***
 “Aku akan membantumu menghilangkan rasa itu,” katanya padamu.
Ia menjanjikan penghapusan. Tapi itu bukan sesuatu yang bisa ia hapus, bisa kamu hapus. Kuhapus. Seandainya rasa bisa dihapus oleh seseorang, seseorang itu akan kaya. Berapa banyak hati yang berdoa agar sebuah rasa terhapus?
Aku percaya jalan lain itu ada. Jalan kelabu yang terututup jaring laba-laba terlantar. Serangga tak pernah singgah. Tapi seperti penghapusan tadi, tak ada kereta yang mampu membawa kalian menuju ke sana. Pun aku.
“Bagaimana?” tanyamu.
“Bagaimana, aku belum tahu.”
Ia menghindari matamu yang mencari matanya.
“Apa kamu tidak ingin pergi?” tanyanya.
“Apa kamu ingin?” kamu balik bertanya. “Pergilah... Tidak ada yang menyenangkan dari keterpaksaan. Aku pun akan pergi bila tak ingin di sini.”
“Itu saran?”
“Bukan. Anggap saja kunci. Kunci yang melapuk saat kamu menggunakannya. Pertama kali, mungkin masih dapat kaugunakan. Kedua, ketiga, aku tak tahu.” Kamu menghela napas. “Aku tak menyarankanmu untuk tinggal. Tapi tidak menyuruhmu pergi.”
***
Kurasa ada yang meruap di kamar ini. Seperti pikiran atau angan-angan. Mungkin mimpi dan sesuatu yang tak kelihatan. Di beberapa tempat, waktu memang lebih cepat berlalu. Seakan waktu tidak satu. Barangkali seperti manusia, bermilyar-milyar individu. Salah satu dari milyaran waktu itu, ada di kamar biru ini dan ia bergerak lebih cepat dari yang lain.
Poster-poster di atas cat dinding biru, fotomu di sela bingkai cermin. Foto itu juga tersimpan di salah satu folder di laptopku. Dan banyak foto lainnya. Aku mencurinya. Kamu tidak tahu. Waktu itu kamu lelap, dengan mulut tertutup dan mata agak terbuka. Kebalikan denganku. Aku tidur dengan mata tertutup sempurna dan mulut yang menganga setengah.
“Aku berusaha agar ia tetap tinggal.”
Kalian mempertahankan hal yang sama. Ketetapan. Tapi semua pertahanan akan rubuh juga. Ingatkah kamu dongeng-dongen yunani itu? Karena bertahan itu melelahkan, dan lelah seperti sabar, bukan sebuah ketidakterbatasan. Ada energi yang dilepaskan, malah kadang sia-sia.
Kenapa kamu harus mengusahakan sesuatu agar ia tetap tinggal? Apa kamu bahagia? Aku tidak bisa membayangkan mangga apel di bingkai jendela itu jatuh cinta pada benalu yang malu-malu kucing. Kamu mangga apel itu, ia benalu malu-malu kucing, dan aku? Apa aku? Mungkin langit tempat awan merah muda bergerak tanpa macet, atau tanah tempat air biru berpijak, atau udara penipu itu, atau cahaya, atau semua di antara yang belum kita kata.
“Aku...” Ada yang tidak jadi kamu ucapkan.
“Adakah lelah untuk harapan?” tanyamu.
Kamu lelah. Aku menebaknya.
“Aku tidak tahu.” Mungkin akan kutemukan jawabannya. Aku belum lelah berharap.
 “Jangan melihatku seperti itu!”
Tidakmu yang pertama kuanggap karena faktor luar tak penting. Saat itu kita di tengah orang lain. Malu atau salah tingkah ada di taraf akut. Tapi tidakmu kali ini, yang kedua, menghapus keraguanku di tidak yang pertama. Tidak itu memang berasal darimu. Hanya kita berdua di sini. Aku tak ingin mendengar tidakmu yang selanjutnya. Maka aku berhenti menatapmu dengan tatapan itu. Setidaknya, memastikan kamu tidak menyadarinya lagi.
“Semuanya akan lebih mudah andai aku mencintaimu. Bukan dia.”
“Atau semuanya akan lebih mudah andai dia mencintaimu?”
“Keduanya benar. Akan lebih mudah...”
“Ya. Yang pertama untuk kita berdua. Yang kedua hanya untuk kamu.”
Ia diam sejenak.
“Kenapa aku?” tanyanya.
“Karena aku tidak punya pilihan.”
“Pilihan selalu ada. Kamu perlu mencari.”
“Mencari ketidakpastian itu melelahkan.”
“Jadi aku kepastian?”
“Kuharap begitu.”

Pinrang,  Nopember 2012.
M. Dirgantara adalah siswa SMA 1 Pinrang. Pembaca. Penyuka kata-kata. Buku antologi puisinya, Merentang Pelukan, akan dilaunching Februari 2013. 

Sumber: Kompas, 30 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar