Cerpen F Rahardi
Laki-laki itu
berusia setengah baya, berperawakan biasa, berkulit biasa, berwajah
biasa, berambut biasa, berbaju dan bercelana biasa, mengenakan sepatu
yang juga biasa-biasa saja.
Barangkali di kantong baju dan
celananya juga tersimpan benda-benda biasa seperti dompet, sisir,
ballpen, dan dalam dompet itu ia taruh uang, kartu identitas, dan
lainlain.
Laki-laki itu duduk bersila dengan takzim. Dua tangannya
ia sedekapkan ke dada, dan pandang matanya mengarah lurus ke depan. Dia
diam saja, hanya kalau ada orang lewat di depannya ia akan berkata:
”Amin”. Orang-orang menengoknya sebentar lalu berlalu. Satu dua orang
segera menjatuhkan uang logam lima ratusan, lembaran ribuan, dua ribuan,
lima ribuan, bahkan ada beberapa yang menaruh lembaran uang dua puluh
ribuan, lima puluh ribuan, dan seratus ribuan. Ketika orang-orang itu
menjatuhkan, melemparkan atau menaruh uang di depannya, laki-laki itu
berucap dengan suara dan nada biasa: ”Amin”.
Tidak lama kemudian,
uang itu menumpuk cukup banyak di depannya. Tetapi laki-laki itu tetap
hanya menatap jauh ke depan, dan ketika orang-orang lewat, dengan atau
tanpa menjatuhkan uang, ia berucap ”Amin”. Satu dua orang lalu
menyempatkan diri untuk berhenti sejenak, di dekat tempat laki-laki itu
duduk bersila. Beberapa orang kemudian juga ikut berdiri di sekitarnya,
sambil terus memandangi laki-laki yang hanya duduk dengan biasa itu.
Orang-orang berkerumun, memandang curiga, ada yang bertanya-tanya dalam
hati, ada yang menduga-duga. Bagi mereka, laki-laki itu sungguh tidak
biasa.
”Mengapa ia duduk bersila di trotoar Jalan Merdeka Utara,
pas di depan Istana Merdeka?” tanya seseorang dalam hati. ”Mengapa
tatapan matanya ia arahkan lurus ke depan, tertuju ke pintu Istana
Merdeka?” tanya yang lain juga dalam hati. ”Siapakah dia?” tanya yang
lain lagi, juga dalam hati. Lama-lama ada yang memberanikan diri
bertanya entah kepada siapa, dan pertanyaan itu ia ucapkan pelan tetapi
jelas: ”Ada apa sih ini?” Serentak beberapa orang mengarahkan pandangan
mereka ke orang yang bertanya tadi, dan satu dua orang segera menimpali:
”Dia ini minta-minta, atau demo, atau semedi, atau apa ya?” Ketika
pertanyaan-pertanyaan itu selesai diucapkan dengan tak beraturan,
laki-laki yang duduk bersila itu menjawab: ”Amin.”
Di gerbang
Istana Merdeka itu ada beberapa Paspampres. Di ujung barat laut Jalan
Silang Monas itu juga selalu ada polisi berjaga-jaga. Mereka segera
mengarahkan pandang mata mereka ke arah kerumunan orang di trotoar Jalan
Merdeka Utara itu. Ketika kerumunan orang itu tambah banyak, dua orang
polisi segera mendekat, memberi isyarat agar kerumunan orang itu
menyibak, lalu tampaklah gundukan uang, dan laki-laki yang duduk
bersila, memandang Istana Merdeka. Dua polisi itu juga heran. Bagi
mereka, laki-laki ini tidak biasa. Maka mereka berdua lalu mendekat dan
bertanya: ”Ada apa ini?” Belum sempat kerumunan orang menjawab,
laki-laki yang duduk bersila itu berucap: ”Amin”.
Dua polisi itu
lalu menyuruh kerumunan orang bubar. Setelah kerumunan orang itu bubar,
salah satu dari dua orang polisi itu menyuruh laki-laki yang duduk
bersila untuk segera pergi. Laki-laki bersila itu menjawab: ”Amin”.
Polisi itu kesal: ”Saudara mau main-main dengan aparat ya?” Laki-laki
itu tetap duduk bersila, tangannya tetap sedekap, matanya tetap mengarah
ke Istana Merdeka, dan mulutnya kembali berucap: ”Amin”. Salah satu
polisi mendekat lalu menendang laki-laki yang duduk bersila itu dengan
sepatu larasnya. Laki-laki itu menerima tendangan sepatu dan menjawab:
”Amin”. Polisi kembali menendang lebih keras lagi dan kembali laki-laki
itu menerima tendangan dengan jawaban: ”Amin”. Berulang kali polisi itu
melayangkan tendangan dan selalu dijawab dengan ”Amin”.
Polisi
yang sebelumnya berada di dekat truk yang diparkir di pojokan Silang
Monas itu, segera berdatangan, demi melihat teman mereka melayangkan
tendangan berulang kali kepada laki-laki yang duduk bersila. Ketika
kerumunan polisi itu datang, maka laki-laki yang duduk bersila itu
menyambut dengan ucapan: ”Amin”. Salah satu polisi yang membawa bedil
segera mengarahkan popor bedil ke kepala laki-laki yang duduk bersila
itu, lalu mengayunkannya: Prak! Laki-laki itu menyambut pukulan popor
bedil dengan ucapan: ”Amin”. Beberapa polisi lalu ikut mengeprukkan
popor bedil mereka ke kepala, leher, pundak, perut, dada, bokong,
pinggang, dan kaki, dan semua selalu dijawab dengan: ”Amin”. Kejengkelan
para polisi itu naik sampai ke ubun-ubun.
Mereka menyepak
tumpukan uang itu hingga berhamburan ke jalan raya. Mobil-mobil serentak
melambatkan jalannya hingga Jalan Merdeka Utara macet. Para polisi lalu
bergotong-royong mengangkat tubuh laki-laki yang duduk bersila itu. Ada
yang memegangi kepalanya, ada yang menjambak rambutnya, ada yang
menarik bajunya, ada yang mencengkeram pundaknya, dan semua dijawab
laki-laki itu dengan ucapan: ”Amin”. Polisi-polisi itu kecapekan dan
laki-laki itu tetap duduk bersila, tetap mendekapkan tangannya di dada,
dan pandang matanya masih terarah ke Istana Merdeka. Sesekali ia
ucapkan: ”Amin”. Dan ucapan itu membuat hati para polisi yang kecapekan
jadi galau.
”Amin”. Kata laki-laki itu ketika dari arah seberang
serombongan Paspampres datang. Kata undang-undang, kalau polisi tak
mampu mengatasi keadaan, maka tentara akan membantu. Gas air mata segera
disemprotkan: Bres! Kanon air juga ditembakkan: Byur! Salah satu
Paspampres segera mengokang bedil dan menembakkannya ke arah laki-laki
yang duduk bersila itu: ”Amin”. ”Ini tadi kau tembakkan peluru tajam
atau peluru karet?” tanya polisi kepada tentara. Dijawab tegas: ”Amin”.
Dari arah barat lalu datang forklift, dengan dua paruhnya yang runcing
mencecar ke depan. Forklift itu mengarah ke trotoar tempat duduk
laki-laki setengah baya itu. Setelah maju mundur dan goyang kiri kanan,
meratakan paruhnya sejajar trotoar, forklift itu maju dengan lurus
mencocok pantat dan paha laki-laki yang duduk bersila itu.
Setelah
posisi paruh itu pas, forklift segera menderu-deru mengangkat tubuh
berukuran biasa itu dengan sekuat tenaga. Laki-laki itu tetap duduk di
sana dengan takzim, tetap bersila dengan khidmat, tetap menyilangkan
tangannya di dada, dan pandang matanya lurus ke arah Istana Merdeka. Ia
menyalami forklift yang tak berdaya mengangkatnya itu dengan ucapan:
”Amin”. Maka, tak berapa lama kemudian bertebaranlah melalui BB, melalui
FB, melalui kicauan di Twitter, melalui SMS, ihwal ada seorang
laki-laki biasa, yang diberondong peluru tajam, disemprot gas air mata,
disiram kanon air, diangkat dengan forklift, dan semua itu selalu
dijawab: ”Amin”. Di antara mereka yang disambar berita berseliweran itu,
ada yang kemudian menyempatkan diri datang ke depan Istana Merdeka.
Maka kerumunan massa pun tak bisa dicegah.
Massa itu datang dari
Sentiong, Salemba, Kramat, Kwitang, Tanah Abang, ada yang berkaus merah,
ada yang berbaju kuning, ada yang berkolor hijau, mereka
mengacung-acungkan tangan sambil berteriak-teriak: ”Amin, Amin,
Amin...!” Bersamaan dengan itu, aparat keamanan juga disiagakan. Mereka
datang dari mana-mana dengan naik truk, jip, mobil kanon air, dikawal
panser, dan ambulans. Sirene meraung di mana-mana, dan semua itu dijawab
oleh lautan massa dengan teriakan ”Amin, Amin, Amin......!” Polisi
berupaya untuk melingkari laki-laki yang duduk bersila itu dengan pita
kuning dan dilapis dengan untaian kawat berduri. Dari kejauhan,
laki-laki yang duduk dengan takzim itu lalu tampak seperti pengantin,
yang dihias pita dan bunga-bunga, yang diterimanya dengan ucapan:
”Amin”.
Cuaca di sekitar Monumen Nasional dan Istana Merdeka
sebenarnya juga tetap biasa-biasa saja. Kadang sedikit mendung, tetapi
ketika angin datang, matahari kembali tampak dan udara jadi panas.
Laki-laki itu tetap masih duduk di tempat semula dan basah kuyup oleh
semprotan kanon air, yangmenyejukkan badan dan jiwa, dalam cuaca siang
kota Jakarta yang gerah. Ia tetap duduk bersila dengan dua kaki
disilangkan, dengan dua tangan disedekapkan, dengan pandangan mata
tertuju ke Istana Merdeka. Rombongan berkaus warna-warni itu mendekat,
salah seorang di antara mereka naik ke pundak dua orang temannya, lalu
dengan megaphone
di tangan ia berorasi: ”Saudara-saudara semua, di depan kita ada
’satrio piningit’. Lihatlah, ia sakti, matanya terarah lurus ke pintu
Istana Merdeka, ialah Ratu Adil yang akan memimpin negeri ini.”
Laki-laki itu menjawab: ”Amin”.
Dari langit yang biru cerah,
terdengar raungan suara helikopter. Setelah berputar-putar selama empat
kali, heli itu merendah, lalu mendarat di halaman Istana Merdeka.
Turunlah kemudian beberapa laki-laki yang berperawakan biasa, berwajah
biasa, berkulit biasa, rambutnya tak ketahuan biasa atau tak biasa,
sebab tertutup topi. Pakaian dan sepatunya juga biasa, tetapi di di
pundak dan di dada mereka tertempel tanda-tanda pangkat. Salah satu di
antara mereka membawa tongkat komando, mendekati laki-laki yang duduk
bersila itu, lalu bertanya: ”Anda ini siapa dan maunya apa?” Dijawab:
”Amin”. ”O, jadi nama saudara Amin?” Dijawab: ”Amin”. ”Saudara Amin,
Saudara telah melanggar Perda Nomor 8 tentang Ketertiban Umum dan juga
Pasal 6 UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
Di Muka Umum. Apakah Saudara bisa mendengar saya?” Dijawab: ”Amin”.
Laki-laki
bertongkat komando itu kesal hatinya. Dia mencabut pistolnya, ia
kokang, ia arahkan laras pistol itu ke pelipis laki-laki di depannya,
lalu pelatuk ia tarik: Dor! Laki-laki yang duduk bersila itu menyambut
tembakan pistol dengan ucapan: ”Amin”. Ucapan ”Amin” itu ternyata telah
membuat kalap laki-laki bertongkat komando dan berpistol yang berdiri di
depannya. Dia segera memberi aba-aba agar panser, tank, dan buldoser
mendekat. Maka tank berjalan di depan seraya menembakkan senapan mesin.
Batang pohon trembesi yang berdiri kokoh itu bolong-bolong. Tank terus
melaju mendekati laki-laki yang duduk dengan takzim itu. Massa yang
menyemut di sekitar Jalan Silang Monas merangsek maju: ”Amin, Amin,
Amin.” Laki-laki itu tetap duduk, bersedekap, dan memandangi Istana
Merdeka dengan pilar-pilarnya yang kokoh bercat putih.
Tank maju
naik ke trotoar, menabrak dan melindas laki-laki yang duduk bersila di
trotoar itu, lalu disambut dengan ucapan: ”Amin”. Buldoser menyerok
laki-laki yang telah diberondong senapan mesin dan dilindas tank itu,
dan juga dijawab: ”Amin”. Massa terus maju diiringi teriakan: ”Amin,
Amin, Amin.” berulang kali terus-menerus susul-menyusul. Kawat duri,
pita kuning garis polisi semua ditabrak dan dilindas massa. Mereka
melingkari laki-laki yang tetap duduk dengan takzim itu, dan massa juga
ikut duduk bersila menyedekapkan tangan, dan mata mereka memandang ke
Istana Merdeka. Laki-laki itu menyambut kedatangan massa yang
ikut-ikutan duduk di sekitarnya dengan ucapan: ”Amin”. Dan massa
melanjutkannya dengan gema yang menggemuruh: ”Amin, Amin, Amin!”
Panser, tank, buldoser, semua capek dan pegal-pegal. Sekrup-sekrup dan baut terasa ngilu. Mereka lalu minggir
dan berteduh di bawah tajuk angsana yang rimbun. ”Kami ini sudah
terlalu tua,” kata tank memelas. Disambut panser: ”Gua juga agak
gemetaran karena tadi belum sarapan.” Buldoser mendekam dekat pagar
besi, dan laki-laki itu menjawab: ”Amin”.
Berikutnya, laki-laki
itu menarik napas agak panjang, berkedip-kedip, menengok ke kiri dan
kanan, tangan ia rentangkan, lalu ia berdiri. Pelan-pelan ia berjingkat
melangkahi massa yang duduk bersila itu, lalu berjalan di antara
orang-orang, anak-anak muda, kaus merah, celana putih, seragam polisi,
baju tentara, ia terus berjalan, sementara angin dari Laut Jawa
melompati atap Istana Merdeka, menggoyang-goyang dahan angsana dan
ranting trembesi. Laki-laki itu terus saja berjalan dan hilang ditelan
kerumunan massa: ”Amin”.
Sumber :
Kompas Cetak, 21 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar