1. Sajak Buat Puan
Jauhmu kurengkuh lewat sebuah kayuh, pikirku;
Mestilah berlabuh sesuatu yang kelewat sepuh. Ada
Sajen yang dilarung tanpa tandan. Banyak Raden yang
Bertarung karena cinta yang berkelindan.
Kalau kau seumpama sajak, maka akulah abjad yang
Tak berjejak. Dihidu oleh rindu yang paling tabu. Jadi
Konsonan ke konsonan. Teman segala vokal. Pelengkap
Syair mesti kerap kali tak kekal.
Di batas aspal, di deru kapal, rindu tebalku mengekal.
Menujumu, bagiku, adalah lagi-lagi perjalanan yang
Mahabakal. Tak sandar kapal jika tak melaju.
Puanku, puanku, lamasabachtani..
(180912)
2. Sajak Buat Puan 2
Rinduku ini telah lama amuk pada setiap umbar waktu.
Dipasak sesak, dihujam rajam. Rinduku riuh.
Menggemuruh jadi sesuatu yang rikuh. Kita bersipeluk
Pada sajak-sajak yang takluk.
Di kelangkelang mega, di lengkung gradasi warna
Bianglala, doa kita acap jadi gurau ketimbang di hirau.
Kerap kali jatuh tapi tak sampai aduh. Kerap kali jatuh
Tapi tak pernah rapuh. Karena cinta tak sampai hati
Sepuh.
Puanku, kaulah rinai, kaukah andai.
(180912)
3. Tentang Perempuan yang Merindu
WAJAHMU
tenang kini. Tak ada lagi isak. Tak pula jerit. Seperti kebiasaan
lamamu, kau mulai berdandan. Memilih baju, celana, sepatu serta
oleh-oleh apa yang akan kau bawa. Sejak hari itu aku tahu bahwa ada
rindu yang tak pernah pudar. Ada rindu yang tak berubah. Dia hanya
berbeda. Kau tersenyum. Anggun. Memesona. Di tempat ini--entah tahun
yang keberapa--aku menyaksikan kesetiaanmu jadi bentuk rindu yang paling
rumit. Lalu kau bersihkan nisanku dari bunga-bunga yang gugur.
***
INI
TERLARANG. "Tapi aku tak bisa berhenti," katamu sendu. Begitu pun aku,
yang hanya kuucap dalam hatiku. Air mukamu berubah setiap kali kita
berbincang akan hal ini. Ketakutanmu adalah ketakutanku. Rindumu itu
juga adalah rinduku. Menolak kehadiranmu berarti membunuh separo akal
dan hatiku. Tapi sungguh, pertemuan ini--kalau bisa--tidak kita
lanjutkan. "Kau adalah ibu dari keponakan-keponakan manisku, sayang."
(040811)
Biodata
penulis: Rico Mangiring Purba, Alumnus FH Unila, Dilahirkan 2 Agustus
1985. Mulai menulis sajak setelah belajar jurnalistik di Lampung Post.
Saat ini bermukim di Bumi Dipasena.
Sumber: Kompas, 12 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar