Pages - Menu

11 Oktober 2012

Masa Lalu

Cerpen Vira Cla

Aku mengirup aroma laut yang tajam. Aku benamkan kedua kakiku ke dalam pasir yang basah. Kubiarkan  ujung ombak menggulung kaki hingga pahaku. Aku menyauk setetes laut dengan tangan mungilku. Kupandang bentangan kaki langit nun jauh di sana. Aku memanjakan mataku dengan keindahan luasnya angkasa dan menjulangnya bukit-bukit dari pulau-pulau yang menghias samudera. Aku memejamkan mataku supaya kenikmatan itu merasuk abadi ke dalam jiwaku.


Tidak. Aku tak seketika menjadi puitis di dalam ruang ini. Tapi, bayangan itu memang tak pernah hilang dari kepalaku. Apa-apa yang bagus dan kusuka memang bertahan lebih lama dalam memoriku. Sungguh kebiasan yang baik.

Aku meniti pematang sawah dengan hati-hati biar tak terjerembab ke dalam beceknya tanah dan merusak batang padi yang baru ditanam oleh petani. Aku berjalan sambil membetangkan tangan lebar-lebar seakan aku terbang di khayangan. Lalu aku berlari seolah ingin mengejar angin. Dan tiba-tiba aku berhenti di satu titik, di mana aku melihat orang-orangan sawah. Ia begitu kuat menahan sengatan panas mentari di kala siang yang terik, tapi ia tetap tersenyum seakan tak ada duka yang patut dirutuki. Dan ia tetap tersenyum walau bagaimanapun petani menggerak-gerakkannya.

Oh, masa itu, ketika aku pulang ke rumah nenek yang di depannya terbentang sawah yang luas. Di dalam ruang ini, masa yang tak terlupakan memang bisa menghibur diri. Aku tahu aku bukanlah orang-orangan sawah. Tapi, aku bisa memilih, untuk tetap tersenyum walau bagaimanapun nasib menjatuhkanku.

Hidup tenang di pantai atau sawah nenek telah memberiku inspirasi untuk berkarya. Lukisan-lukisan indah yang lahir dari tempat itu telah mengantarku ke jagad pelukis nusantara. Para kurator sangat senang dengan karyaku. Galeri mereka selalu didatangi oleh penikmat seni yang mencari karyaku. Sedangkan aku tetap berada dalam ketenangan surga dunia. Dan inilah awal petaka itu.

Aku cukup risih ketika salah seorang kurator mengantarkan pembeli karyaku ke tempat peristirahatanku. Aku pikir hubungan antara lukisan dengan pembelinya cukuplah sampai di galeri. Tapi kurator itu bersikeras karena pembeli itulah yang sering memborong karyaku. Dan pembeli itu bersikeras bahwa pasti ada lukisan-lukisan lain yang lebih berharga yang tak dibawa ke galeri. Pembeli itu benar, memang tak semua lukisan kulepas begitu saja. Banyak pertimbangan untuk memilih mana yang pergi dan mana yang tetap berada di dekatku. Lukisan itu adalah anak-anakku—ada anak yang memang pergi walau pasti berat hati yang dirasakan ibu.

Leo, nama pembeli itu, merasa senang bisa mengenalku langsung. Aku tak pintar berbasa-basi, kata-katanya kutanggapi seperlunya. Leo pun tak sungkan menyatakan keanehanku yang tak mau hadir di galeri. Tak banyak pelukis yang seperti aku. Leo bilang kadang penikmat lukisan ingin mendapatkan cerita mengenai karya itu langsung dari pelukisnya. Kubilang saja, tidakkah lukisan itu telah bercerita dengan sendirinya? Leo hanya tergelak menanggapi ketidak-acuhanku. Setelah itu, Leo berjanji akan datang lagi ke tempatku setelah memaksaku menjual satu lukisan natural yang menggambarkan orang-orangan sawah. Ya, ia memaksaku. Ia negosiator yang ulung.

Aku cukup lega setelah beberapa minggu sejak kedatangan pembeli sialan itu, aku tak diganggu lagi oleh kejadian serupa. Aku berharap dengan lagakku yang cuek, Leo kapok untuk datang lagi. Janji itu biarlah sekadar basa-basi yang tak perlu ditepati. Namun, harapanku meleset. Leo itu datang lagi sebulan setelah kedatangan pertamanya—dan kali itu ia datang sendiri. Aku ingin membanting pintu tepat di mukanya seketika kutahu ia yang terus memencet bel rumah. Tapi, begitu kubuka pintu, ia tanpa permisi langsung menerobos masuk ke dalam lalu ke luar lagi lewat pintu belakang. Di halaman belakang yang menghadap lembah itu, transaksi di antara kami pernah terjadi.
Ada saja lukisan yang—katanya—menarik baginya. Kali kedua itu, lukisan yang ia pilih memang akan kukirim ke kuratorku. Tak ada lagi negosiasi yang panjang dan melelahkan ketika Leo menginginkan lukisan itu—seorang perempuan memangkul anak dengan latar petak-petak sawah. Kupikir dengan cepatnya transaksi, ia juga akan cepat pergi dari tempatku. Nyatanya tidak, ia terus saja menyerocos hal-hal yang tak penting bagiku—alasan-alasan ia menyukai lukisanku. Sesekali ia bertanya tentang diriku. Oh, apa perlunya kujawab?! Aku tetap bersikap dingin. Aku tak ingin ranah privasiku diketahui mereka—para pembeli lukisan yang angkuh.

Lagi, perkiraanku meleset. Kupikir dengan sikapku yang demikian, Leo akan berpikir ulang untuk datang lagi dan datang lagi. Yang membuatku semakin terganggu, Leo juga mengetahui tempat peristirahatanku yang lain di tepi pantai. Kurator sinting itu pasti memberi tahu dirinya. Ketika aku mengusirnya, Leo memaksa ingin melihat koleksiku. Ia tetap tidak mau pergi ketika pintu—akhirnya—kubanting tepat di mukanya. Dan, sungguh aku telah berada dalam bahaya, Leo bertahan di depan pintu itu hingga pagi.

Leo akhirnya mengaku bahwa ia menyukaiku. Ia ingin menikahiku. Ia ingin menebus kesalahannya yang dulu. Dulu yang telah sangat lama berlalu. Dulu yang sesungguhnya dengan susah payah kulupakan.

Di sumur belakang rumah nenek, aku berusia belia. Sore itu, aku mandi dengan kain basah. Seng-seng pembatas itu tidak cukup untuk melindungi tubuhku. Tapi, mungkin sudah nasib juga yang membawa lelaki itu terus mengintipku tanpa kusadari. Ketika kain basah itu kulepas mungkin nafsu lelaki itu semakin memburu. Ujungnya... aku tak perlu ceritakan lagi. Tapi, aku tahu siapa lelaki itu. Ali—teman sepermainanku di kampung.

Luka itu kubawa sendiri hingga dua puluh tahun. Seketika aku tahu Leo adalah Ali, amarahku memuncak ke ubun-ubun. Amarah yang terpendam begitu lama, yang menggumpal di kedalaman hati, yang sesak menyesak hingga meledaklah ia. Pisau dapur yang tajam menjadi saksi amarah itu. Leo, Ali, lelaki jahanam itu mati lewat tanganku.

Andai waktu bisa kuputar kembali, aku akan kembali ke usia belia dan akan melawan Ali sekuat tenaga. Tapi tentu saja itu tak mungkin. Kalaupun waktu hanya bisa diputar ke masa yang lebih dekat, tentu aku akan menjauhi pisau dapur. Namun, buat apa aku harus memutar waktu kembali ke masa yang telah berlalu. Kejadian itu barangkali akan tetap mengendap dalam memoriku. Ingatan yang akan terus membayangiku supaya tidak begini tidak begitu. Andai waktu bisa kuputar kembali, aku tak akan mengikutinya. Aku akan tetap di ruang sempit ini, di balik jeruji, perlahan mengobati luka sendiri—seperti dulu yang telah lama berlalu.

Sumber: Kompas, 10 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar