Cerpen Vira Cla
Aku mengirup aroma laut yang tajam. Aku benamkan kedua kakiku ke
dalam pasir yang basah. Kubiarkan ujung ombak menggulung kaki hingga
pahaku. Aku menyauk setetes laut dengan tangan mungilku. Kupandang
bentangan kaki langit nun jauh di sana. Aku memanjakan mataku dengan
keindahan luasnya angkasa dan menjulangnya bukit-bukit dari pulau-pulau
yang menghias samudera. Aku memejamkan mataku supaya kenikmatan itu
merasuk abadi ke dalam jiwaku.
Tidak. Aku tak seketika menjadi
puitis di dalam ruang ini. Tapi, bayangan itu memang tak pernah hilang
dari kepalaku. Apa-apa yang bagus dan kusuka memang bertahan lebih lama
dalam memoriku. Sungguh kebiasan yang baik.
Aku meniti pematang
sawah dengan hati-hati biar tak terjerembab ke dalam beceknya tanah dan
merusak batang padi yang baru ditanam oleh petani. Aku berjalan sambil
membetangkan tangan lebar-lebar seakan aku terbang di khayangan. Lalu
aku berlari seolah ingin mengejar angin. Dan tiba-tiba aku berhenti di
satu titik, di mana aku melihat orang-orangan sawah. Ia begitu kuat
menahan sengatan panas mentari di kala siang yang terik, tapi ia tetap
tersenyum seakan tak ada duka yang patut dirutuki. Dan ia tetap
tersenyum walau bagaimanapun petani menggerak-gerakkannya.
Oh,
masa itu, ketika aku pulang ke rumah nenek yang di depannya terbentang
sawah yang luas. Di dalam ruang ini, masa yang tak terlupakan memang
bisa menghibur diri. Aku tahu aku bukanlah orang-orangan sawah. Tapi,
aku bisa memilih, untuk tetap tersenyum walau bagaimanapun nasib
menjatuhkanku.
Hidup tenang di pantai atau sawah nenek telah
memberiku inspirasi untuk berkarya. Lukisan-lukisan indah yang lahir
dari tempat itu telah mengantarku ke jagad pelukis nusantara. Para
kurator sangat senang dengan karyaku. Galeri mereka selalu didatangi
oleh penikmat seni yang mencari karyaku. Sedangkan aku tetap berada
dalam ketenangan surga dunia. Dan inilah awal petaka itu.
Aku
cukup risih ketika salah seorang kurator mengantarkan pembeli karyaku ke
tempat peristirahatanku. Aku pikir hubungan antara lukisan dengan
pembelinya cukuplah sampai di galeri. Tapi kurator itu bersikeras karena
pembeli itulah yang sering memborong karyaku. Dan pembeli itu
bersikeras bahwa pasti ada lukisan-lukisan lain yang lebih berharga yang
tak dibawa ke galeri. Pembeli itu benar, memang tak semua lukisan
kulepas begitu saja. Banyak pertimbangan untuk memilih mana yang pergi
dan mana yang tetap berada di dekatku. Lukisan itu adalah
anak-anakku—ada anak yang memang pergi walau pasti berat hati yang
dirasakan ibu.
Leo, nama pembeli itu, merasa senang bisa
mengenalku langsung. Aku tak pintar berbasa-basi, kata-katanya
kutanggapi seperlunya. Leo pun tak sungkan menyatakan keanehanku yang
tak mau hadir di galeri. Tak banyak pelukis yang seperti aku. Leo bilang
kadang penikmat lukisan ingin mendapatkan cerita mengenai karya itu
langsung dari pelukisnya. Kubilang saja, tidakkah lukisan itu telah
bercerita dengan sendirinya? Leo hanya tergelak menanggapi
ketidak-acuhanku. Setelah itu, Leo berjanji akan datang lagi ke tempatku
setelah memaksaku menjual satu lukisan natural yang menggambarkan
orang-orangan sawah. Ya, ia memaksaku. Ia negosiator yang ulung.
Aku
cukup lega setelah beberapa minggu sejak kedatangan pembeli sialan itu,
aku tak diganggu lagi oleh kejadian serupa. Aku berharap dengan lagakku
yang cuek, Leo kapok untuk datang lagi. Janji itu biarlah sekadar
basa-basi yang tak perlu ditepati. Namun, harapanku meleset. Leo itu
datang lagi sebulan setelah kedatangan pertamanya—dan kali itu ia datang
sendiri. Aku ingin membanting pintu tepat di mukanya seketika kutahu ia
yang terus memencet bel rumah. Tapi, begitu kubuka pintu, ia tanpa
permisi langsung menerobos masuk ke dalam lalu ke luar lagi lewat pintu
belakang. Di halaman belakang yang menghadap lembah itu, transaksi di
antara kami pernah terjadi.
Ada saja lukisan yang—katanya—menarik
baginya. Kali kedua itu, lukisan yang ia pilih memang akan kukirim ke
kuratorku. Tak ada lagi negosiasi yang panjang dan melelahkan ketika Leo
menginginkan lukisan itu—seorang perempuan memangkul anak dengan latar
petak-petak sawah. Kupikir dengan cepatnya transaksi, ia juga akan cepat
pergi dari tempatku. Nyatanya tidak, ia terus saja menyerocos hal-hal
yang tak penting bagiku—alasan-alasan ia menyukai lukisanku. Sesekali ia
bertanya tentang diriku. Oh, apa perlunya kujawab?! Aku tetap bersikap
dingin. Aku tak ingin ranah privasiku diketahui mereka—para pembeli
lukisan yang angkuh.
Lagi, perkiraanku meleset. Kupikir dengan
sikapku yang demikian, Leo akan berpikir ulang untuk datang lagi dan
datang lagi. Yang membuatku semakin terganggu, Leo juga mengetahui
tempat peristirahatanku yang lain di tepi pantai. Kurator sinting itu
pasti memberi tahu dirinya. Ketika aku mengusirnya, Leo memaksa ingin
melihat koleksiku. Ia tetap tidak mau pergi ketika
pintu—akhirnya—kubanting tepat di mukanya. Dan, sungguh aku telah berada
dalam bahaya, Leo bertahan di depan pintu itu hingga pagi.
Leo
akhirnya mengaku bahwa ia menyukaiku. Ia ingin menikahiku. Ia ingin
menebus kesalahannya yang dulu. Dulu yang telah sangat lama berlalu.
Dulu yang sesungguhnya dengan susah payah kulupakan.
Di sumur
belakang rumah nenek, aku berusia belia. Sore itu, aku mandi dengan kain
basah. Seng-seng pembatas itu tidak cukup untuk melindungi tubuhku.
Tapi, mungkin sudah nasib juga yang membawa lelaki itu terus mengintipku
tanpa kusadari. Ketika kain basah itu kulepas mungkin nafsu lelaki itu
semakin memburu. Ujungnya... aku tak perlu ceritakan lagi. Tapi, aku
tahu siapa lelaki itu. Ali—teman sepermainanku di kampung.
Luka itu
kubawa sendiri hingga dua puluh tahun. Seketika aku tahu Leo adalah Ali,
amarahku memuncak ke ubun-ubun. Amarah yang terpendam begitu lama, yang
menggumpal di kedalaman hati, yang sesak menyesak hingga meledaklah ia.
Pisau dapur yang tajam menjadi saksi amarah itu. Leo, Ali, lelaki
jahanam itu mati lewat tanganku.
Andai waktu bisa kuputar kembali,
aku akan kembali ke usia belia dan akan melawan Ali sekuat tenaga. Tapi
tentu saja itu tak mungkin. Kalaupun waktu hanya bisa diputar ke masa
yang lebih dekat, tentu aku akan menjauhi pisau dapur. Namun, buat apa
aku harus memutar waktu kembali ke masa yang telah berlalu. Kejadian itu
barangkali akan tetap mengendap dalam memoriku. Ingatan yang akan terus
membayangiku supaya tidak begini tidak begitu. Andai waktu bisa kuputar
kembali, aku tak akan mengikutinya. Aku akan tetap di ruang sempit ini,
di balik jeruji, perlahan mengobati luka sendiri—seperti dulu yang
telah lama berlalu.
Sumber: Kompas, 10 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar