Judul Buku: Minamoto no Yoritomo
Penulis: Eiji Yoshikawa
Penerbit: Kansha Books
Cetakan: I, Februari 2012
Tebal: 386 Halaman
Memperbincangkan sastra Jepang, sangat sulit dilepaskan dari sosok bernama Eiji Yoshikawa. Dua karya utamanya; Musashi dan Taiko, menjadi bacaan wajib bagi para pecinta kisah Samurai khususnya, dan sastra Jepang pada umumnya. Kedua buku tersebut juga dianggap mampu menginspirasi dan memotivasi para pembacanya.
Pria bernama asli Hidetsugu Yoshikawa ini dikenal memiliki gaya penulisan yang khas, ia kerap mengekspresikan pandangan-pandangan pada masanya dengan menggunakan setting masa lampau Jepang, era ketika para Samurai dan Shogun berperang menumpahkan darah untuk meraih kehormatan dan kekuasaan. Hasilnya, karya-karya Eiji seakan tak lekang oleh zaman.
Salah satunya karya berjudul Minamoto no Yoritomo ini. Berkisah tentang anak-anak Sama no Kami Yoshitomo, pemimpin klan Minamoto, yang kalah telak dalam Perang Hougen Heiji di Rokujo-Kawara melawan Taira no Kiyomori. Yoshitomo beserta seluruh keluarganya terbunuh, dan hanya menyisakan empat orang anak; Uhyoe no Suke Yoritomo, Otowaka, Imawaka, Shanaou Ushiwaka dan seorang gundik bernama Tokiwa.
Jatuh-Bangun Rezim
Nasib kelimanya jauh lebih beruntung dibanding dengan anggota keluarga klan Minamoto lainnya yang mengalami akhir tragis, mati di ujung pedang para samurai klan Taira. Yoritomo misalnya, anak bungsu Yoshitomo dari istri sah ini, selamat dari hukum pancung berkat hati Kiyomori, yang tidak seperti biasanya, melunak atas bujukan dari ibu tirinya, Ike no Zeni, dan putra sulungnya, Shigemori untuk mengampuni anak musuh bebuyutannya.
Sedangkan Tokiwa dan ketiga anaknya dapat selamat dikarenakan hati Kiyomori yang memang mata keranjang, kepincut oleh kecantikan gundik mendiang Yoshitomo ini. Akhirnya, hukuman yang ddapatkan oleh anak-anak tersebut hanyalah pengasingan, sedangkan Tokiwa sendiri harus rela dinikahkan dengan salah satu anak buah Kiyomori, sebagai siasat pemimpin klan Taira ini mengelabui publik.
Meski menceritakan semua tokoh utamanya hampir secara berimbang, namun kisah Yoritomo dan Ushiwaka-lah poros dari semuanya. Yoritomo, yang diasingkan ke Izu, kemudian mulai menyusun kekuatan dari sisa-sisa pasukan keluarga klan Minamoto. Sedangkan Ushiwaka yang dibuang ke Kuil Kurama, secara diam-diam mendapatkan perhatian dan dukungan dari mantan anak buah ayahnya yang masih setia. Keduanya memiliki misi yang sama; meruntuhkan rezim Taira yang tengah berkuasa.
Ketegaran dan semangat yang pantang menyerah, nampaknya menjadi spirit yang hendak dihembuskan oleh penulis yang paling disukai seantero Jepang ini kepada para pembacanya. Sikap demikian tergambarkan dengan sangat jelas melalui karakteristik tokoh utamanya, Yoritomo. Spirit seorang samurai yang patut diteladani.
Sebagaimana buku-bukunya yang terdahulu, karya ini pun tergolong cukup tebal, meskipun dalam versi Indonesia dibagi menjadi dua jilid, dan semakin mengerek namanya sebagai novelis dunia dengan spesialisasi fiksi histori Jepang. Namun, sebagai sebuah kisah yang lahir dari perkawinan antara fakta sejarah dan imajinasi penulisnya, ketebalan tersebut tidak membuat jenuh pembaca.
Teladan dari Sejarah
Sebagai sebuah fakta sejarah, kisah yang ditawarkan Eiji tersebut dapat kita ketahui melalui lembaran resmi sejarah yang ada, namun bagaimana imajinasi Eiji yang penuh warna sangat menarik untuk dinikmati. Mengingat karya fiksi sebagai hasil dari proses imajinasi, bukan catatan sejarah yang harus menitikberatkan pada data-data faktual. Sehingga ia memiliki dunianya sendiri, yang bisa saja dibengkokkan dari mainstream sejarah.
Menjelajahi halaman demi halaman buku ini, akan membuat kita merenung dan mencoba membandingkan antara masa lalu dan masa kini Jepang dan Indonesia. Ada keterkaitan yang erat antara Jepang modern dengan Jepang masa silam terutama abad ke-12. Jepang hari ini masih kental memperlihatkan pengaruh dari ajaran Bushido, atau kode etik samurai. Namun mereka sukses mentransfer nilai-nilai tersebut ke dalam sikap kerja yang lebih riil, sehingga tidak gamang mengarungi modernitas dan sukses menjadi negara maju.
Sebaliknya, meski memiliki kebudayaan dan akar sejarah yang jauh lebih panjang, di Indonesia semuanya hanya berujung pada mitos-mitos yang jauh dari realitas. Bagaimana kebesaran Majapahit, Sriwijaya, Padjajaran maupun sosok Ratu Adil, sekedar berfungsi meninabobokan masyarakatnya untuk terus menunggu Godot, tanpa memahami filosofinya dalam konteks kekinian. Bahkan kondisi geografis dan demografis yang jauh lebih unggul daripada Jepang pun seolah menjadi mubazir. Sebuah kegagalan yang melahirkan keterbelakangan berkepanjangan.
Peresensi:
Noval Maliki, Pemerhati Buku, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar