Terang Bulan dan Kembang Kesepian
ada sepi dan luka yang kuingin terbaca:
olehmu- bulan yang menyimpan seri kelanggengan
di mataku- mata kelopak kembang ungu
yang mekar liar di antara gemertap batu
oh, betapa di sini aku berpilin dengan akar ulin
tergeriapkan sepi nun dingin
menakjubi segugus bintang terandai angin
menjatuhkan cahaya ke tingkaptingkap labirin
di mataku- malam terlihat seperti pemakaman tua
hampa- tersingkir dari kitab zikir dan doa
kecuali kau, yang pada rumahrumah dengan cahaya paling lemah
takdirmu merambah, membagi kerinduan merah
maka dari itu kusebut kau ksatria langit berwajah cahaya
penggenap harapku di waktu tersulit menempuh baka
oh, di malam yang membuatku tak henti tengadah
biarlah kuresapi kesepian ini
jadilah oh jadilah
keheningan terindah
dan semoga kau- bulan pewujud seri kesucian
tidak berlanjut menaruh sangka padaku:
bahwa akulah si kembang yang tumbuh dari akar-akar karma
kuncup yang rekah dari berkecup-kecup dosa
janganlah oh janganlah
kau turut menoreh luka
di kelopak sakitku yang telah leleh di tinggal aroma
maka sebelum kau mengemas cahaya
memintas batas akhir gulita
ajarlah aku oh ajarlah:
biarlah embun tak lagi sedia membasuh petal putikku yang layu nun kering
biarlah lebah dan kupukupu jadi sekutu berpaling
asalkan akulah yang nantinya memenangi kesepian ini
menyenangi lukaluka ini
menjadikannya takdir yang indah
memaknainya sebagai hakekat tabah
2011
Mata Senja
dan hingga kini
aku tak bisa melupa
seperti itu tatapmu
melepasku kelana
seperti mata senja
di ujung terjauh pantai
seperti lambaian rindu
yang tak mampu kugapai
begitulah, hingga ke lubuklubuk kegetiran
kucari keberadaanmu
dan di setiap akhir penanggalan
kukitari kembali jalan menujumu
namun kau seperti hilang:
lesap- bagai desir pasir diserap gelombang
senyap- bagai bulir hujan dihisap akarakar kembang
hingga datang segerumbul
kunangkunang menyembul
dari telaga yang hening
memegungkan air, membasuh keruh kening
kembali di akhir penanggalan
kutelusuri jejakmu
sungguh, untuk menemu wujudmu
harus membuatku berputarputar
menakar seberapa luas daratan sabar
melewati tumbuh benih matahari
melucuti peluh perih sekujur diri
agar meluruh duri dengki, daundaun benci
ke musim yang lebih tenang, ke duka yang lebih lapang
begitulah, dan bukankah memang begitu hendaknya
kita mengajar diri
seperti kini,
menghikmat matamu
mengingatkanku kepada waktu
yang telah hilang
satusatu
yang takkan kembali
menjawab panggilan sesalku
serupa bulubulu yang lepas
dari sayapsayap terkibas
sayap yang kau dekap dalam doa perih
siap menjelma megamega putih
kerudung bagi langit biru jernih
maka ajarlah aku cara melara, mengembarai sabda
serupa ketabahanmu yang sempurna:
cahaya bagi hitam luka
Jakarta, Oktober-Desember 2011
Tembang Ilalang
akhirnya sampailah aku di senja itu
menemuimu
menggemakan tembang
rinduku padang ilalang
dan di penghujung November itu
pusaran angin meriuh
dari arah lembah yang jauh
mengantar hujan yang tiba-tiba derai
sejumput hinggap pada pipiku
menggelincirkan sedan
oh, seanggun embun
mengecup batang-batangmu yang merimbun
lalu sampailah aku di pagi kini
biarkan kutitipkan lagi tembang
padamu ilalang
dalam kabut, dalam kenang
2011-2012
Biodata:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar. Menulis puisi, cerpen, dan menikmati karya sastra. Saat ini bekerja di Jakarta.
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar