Pages - Menu

01 Agustus 2012

Puisi-puisi Edu Badrus Shaleh

DIALOG REMANG DI SURUT JENDELA
Adakah sejauh ini kita biarkan hujan
Jatuh begitu saja? Dan senantiasa kita
beradu kabut di kubang malam
Sembari menukar empun mimpi
menyadap silam matahari?

Psst… jangan katakan itu lagi
Aku tak ingin merah muda itu sirna dari pipimu
Larik cinta yang kutoreh berkecup khusyuk
Komedi dan elegi yang mengatup rindu yang mabuk

Saat ini kita tak memiliki sehelai sepi
Di antara runtuh dedaunan dan gigil ilalang
Di antara gempa berkepanjangan dan letus senapan
Kita hanya punya sebaris angin dari serakan syair

Wahai remang di surut jendela
Hujan mengetuk pintu-pintu jantung yang perlahan retak
Gundah mengasah legenda setangkai edelwis
Serasa elu Laila mengaum di dada
mengamini jarum jam usia bergusaran dalam nyenyak tidurku

Oh, jangan biarkan merah kenangan memadam bara dalam dekapan
Langkah kaki kita masih butuh kata pada ruang waktu

Hanya mataku menatap hitam rambutmu sepenjuru malam
Mengingatkan murung purnama yang menyaksikan Dewi Shinta yang menjerit
Menggedor-gedor pintu langit

Rembang, Januari 2008

MUHAMMAD
Kalau tak ada engkau, o, Muhammad
Masihkah dunia menganggap manusia sebagai pecinta?
Rembang, 2008

WAHAI MATAHARI
Padamu wahai matahari
Kutitipkan rindu dan sajak
Meski berat sungguh
Terbakar dadaku oleh gemuruh
Di antara himpitan besi dan bebatuan
Kucoba menahan serangan
Di antara resah yang berdetak
Kupertahankan cinta dan kata-kata
Padamu wahai langit cahya
Kupasrahkan seluruhnya
Hamparan hatiku
Bersama kubit gemintang

Rembang, 2008

CATATAN LANGGAR PETENG
Bukan kampus megah
Lantai kaca dengan mesin udara
Tempat kami mengeja huruf waktu
Dan jejak cahaya
Mengaji air mata
Mengeja kitab-kitab tua
Yang tergadai dari kisah-kisah menjelang malam
Bertelungkup sakit, melumpuh di atas dampar sempit

Rembang, 2008
AKU BERHARAP
Tenang wajahmu takkan menyesatkanku sebagai pemburu bayang-bayang
Karena cinta takkan hina tatkala kau menangis atasnama rindu

Rembang 2008

ANGIN
Entah geliat angin mana telah mengirim silir berbeda, seumpama ia dapat bersuara, kesiurnya meraung-raung di tenggorokan dan dada. Ia hanya mengisyaratkan satu nama, nama yang selalu ragu kuterima sebagai sbuah ketetapan yang sesungguhnya telah membongkar ingatanku tentang hidup, nama itu bahkan menyala-nyala dengan sendirinya tanpa kuhidupkan terlebih dahulu.
Angin manakah yang telah mengirimkan nama dirimu ke dalam ruangku yang pengap?
Saat ini aku akan menyatakan kegelisahan yang nikmat seutuhnya, walau tak pernah kulihat wajahmu seujung pangkal rambutpun. Aku merasa hilang di dalam diri.
Rembang, 2008

KOPI TUBRUK
Secangkir kopi tubruk
Mengiringi lamunan yang amuk

Rembang, 2008

DI HADAPAN MBAH MUN1
Di jantungku yang basah, berdegub dingin nan pasrah
Kibas sorbanmu memoles jiwa
Keringlah sejarah kelam yang terkapar deru hujan
Mengkhatamkan pasal perih dan murung nazam
E, co! dadi wong iku kudu duwi kelambi jobo lan kelambi jeru, ujar engkau.
Aku sunyi, seperti jantungku.
2
Takkan usai malam mengisahkan percakapanku ini, Mbah
Antara sepi dan keramaian, antara letih dan kekuatan
Tawa dan airmata, henti dan lari
Juang dan pasrah, rindu dan dendam
Cinta dan benci, kobar dan api
Atau apa-apa
Antara baqa dan fana

Ataukah antara barisan airmata di halaman sendumu
Aku masih tertawa-tawa tentang lampias luka lalu?
Sedangkan uban alis tebalmu mengipas-ngipas wajahku
Bagai sorban embun
Aku berharap engkaulah jembatan nafas ini
Meniti derap langkahku kepada Lailaha illallah…
Rembang, 2008
LORA Tak usah menunggu langit merah
Atau matahari bersinar darah
Sorban sejarah akan jatuh ke kepalamu
Ruang berputar, waktu bergelar

Walau berjalan ke arah malam
Walau bersusur ke jarah siang
Ia takkan berhenti memerbali kepalamu

Sebab ia tak kemana-mana, ia senantiasa ada
Mengikuti gerak kalbu.

Di padang hampa, kau boleh berkata selaksa terompa
“Tak Ada yang hidup abadi selain waktu”
Tapi di sini, ruang menggugurkan sumbu zaman.
Sebab sepi melacuri kesejatian naluri.
Dan kau akan berdesah,
“Malam ini panjang sekali”

Tak usah menunggu bumi terguncang
Denyut jantung akan merobohkan setiap riwayat perjalanan
Dan kau akan terbirit di dalam remang ruang
Sambil berzikir sesal
Menorehi melodi kegetiran

Rembang, 2008
DIK
Jangan, katamu
Seperti tercekik hujan
Dalam badai yang tak membuat orang menangis
Dalam pelukmu yang tak mencipta ruang haru
(aku sekeping sampah jauh berlari menangkup sepi)

Jangan, katamu lagi
Mencipta suara retak di telinga
Bagai kambangan sampan yang terkoyak
(dan aku adalah lautan yang mengaramkan kisah-kisah ke dalam dada)
Rembang, 2008

SEHINGGA KAU PUN TAHU
Hanyalah ngangaku yang lebur
Menyahut batu-batu rindu bergugur
Sorban mencatat cerita lama
Mendekam—memaksa mataku menapuk lesung waktu
Pistol plastik dan cermin baja, berpasangan akik dan zamrud
Sehingga kaupun tahu
Aku adalah penyair yang terlahir dari sepi
Rembang, 2008

AYAT MATAHARI
Kudaki gunug-gunung hingga puncaknya
Kuselami lautan hingga dasarnya
Kukitari gulungan bumi sampai hilang katulistiwa
Hingga lepas dua kutubnya
Tetapi di langit cita-cita
Terasa senja masih jauh
Dan aku senantiasa…

Rembang, 2008

BUNGA EMOSI
Bakarlah kesepian karena detik ini aku tak pernah menunggu
Aku sedang berlayar di langit
Kau terbanglah di lautan
Kini, suaramu bukan suaraku
Kata-kata yang diam sama saja dengan api
Panas nyeri berteriak sama saja dengan api
Sampai kita terbakar ambisi sendiri
Rembang, 2008


DIK 2
Hadza min fadhli rabbi, Langit bumi tercipta. Hiduplah makhluk selanjutnya. Berjubaku, beritus jenta, benda-benda terlahir. Ini bukan sihir, oi, tetapi takdir
Masa berderat selesat pacuan badai. Menghimpun waktu. Zat berkelebat bergerak cepat. Gumpalan petala dan magma menyipta halimun, menempati kamar-kamar kerja.
Ruang-waktu bagi manusia tercinta. Akal dan ahati berjumuk, jantung-nafas bersiuk, dengar dan kata menerobos di sela-sela lempengan debu dan detakan siber. Atasykur, hai manusia?
Seakan kita punya halilintar sendiri untuk menjatuhkan hujan. Seakan kita yang telah membuat langit dan bumi serta menghip-matikan manusia. Kemudian kita coba-coba menghakimi tuhan dengan meragukan kebenaran?
Rembang 2008

ILIR
Kerikil-kerikil membentur dinding pikir
Kerikil-kerikil bertulis batu takdir
Melesak ia ke jantung ketir
Menyisir semesta jiwa
Menembus lubuk terdalam bergetar menyelir zikir

Udara bersemilir meriuhi seribu pujangga
“Pertahankan dunia dengan syair!” Mulut langit berseru
Bagai tatangar badai

Kerikil kerikil menghujan dari antah
Bagai peluru Ababil memusnahkan tentara fil
“Tapi tak ada sekepak burung pun.” Sahut lautan.
“Ada apa ini?” bumi menganga.

Rembang, 2008

MENERUNG DI MAQBARAH

Dalam gentar, sepasang tangan dungu mengukus lepasan hujan
Mencubit-cubit kenakalan senyum masa lalu

Rembang 2008
Edu Badrus Shaleh. Lahir di Bilapora, Sumenep, 3 Juni 1988. Saat ini berkegiatan di PP Darussalam, Bilapora, Sumenep, Madura.
Menulis Puisi dan Cerpen. Puisinya pernah dimuat majalah sastra Horison, Sabili, Surabaya Post, Radar Madura, dll. Serta 12 buku antologi bersama.
Pemenang Sayembara Penulisan Puisi Tingkat Nasional Pusat Bahasa, Depdiknas RI, 2006. Juara II Cipta Puisi di Taman Budaya Jawa Timur, 2006. Menerima penghargaan Agrinex Indonesia dalam lomba cipta dan baca puisi nasional Institut Pertanian Bogor dan HIPMI, 2007. Juara Baca Puisi se-Jawa Timur di Al-Amien Prenduan Madura, 2007. Meraih Piala Walikota Surabaya dalam Cipta Puisi di SMAN 6 Surabaya, 2007. Juara Cerpen Mahasiswa se-Indonesia BEM Instik Annuqayah Guluk-guluk Madura, 2012. Menjadi nomine Cerpen di Taman Sastra dan STAIN Purwokerto..

Sumber: Kompas, 1 Agustus 2012
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar