Cerpen Sobih Adnan*
Selepas hujan yang mengguyur sepanjang siang, semuanya masih terasa basah, tapi tak begitu dingin. Air-air hujan itu merangkul pucuk dedaunan di sebuah kebun sederhana milik bocah yang bernama Udin. Daun-daun pun masih basah, lembab, bahkan kuyup, persis seperti cerita keyatim-piatuannya yang masih tersiram deras air matanya yang belia.
Menelang sore yang lengang itu, masih terngiang dalam ingatannya, bahwa dia hanyalah bocah yang sepi, dungu, dan tak pernah menyentuh pembahasan sosial apapun. “Bocah murung yang hampir bisu”, hanya itu yang terekam ketika obrolan-obrolan antar tetangga sedikit terusik oleh langkahnya yang lembut.
Kali ini dia kembali menghabiskan waktu sorenya di sebuah kebun yang sangat sederhana, kebun warisan Bapak, tak tertanami apa-apa selain belukar yang saling melilit tentunya. Sesampainya pada sebuah pojok kebun, Udin dungu membaringkan tubuh keringnya di sebuah pohon kelapa bengkok, dan dia pun terlelap dalam khayalan-khayalan seperti sore-sore sebelumnya.
Tapi kali ini berbeda, dia sedikit cerdas. Senja ini tak sekedar mengkhayalkan betapa ajaib dan bahagianya jika si kucing doraemon berkenan untuk hidup bersama dan menuruti semua keinginannya, atau si centil Jerry yang selalu menanggapi gelak tawa kedunguan Tom, si kucing nakal dengan segala kesialannya. Tapi sekali lagi, sore ini berbeda, dalam keterbaringannya yang lelah karena rutinitas nganggur itu, ada yang melompati tangan legamnya, seekor serangga kuning dengan dua titik hitam kecil di sayap, sekedar melompat, meraba kepolosan hayal, dan kembali terbang entah kemana.
Udin sedikit tersenyum, kemudian mencoba kembali memejamkan mata, sedikit menarik nafas, dan memulai khayalannya yang baru untuk episode sore itu. Kali ini daya khayalnya begitu kuat, terbangun oleh kegenitan serangga yang tak sempat mengajaknya berbincang. Ternyata Udin merasakan bekas gigitan yang berbintik di pergelangan tangan, merasakan panas yang sangat, memerahkan wajahnya, dan sedikit tersungkur ke dalam tumpukan rumput pendek sisa penggembala yang mengabdi pada kerumunan hewan piaraan. Angin berhembus, memusar kencang di atas kepala, membuat putaran pening yang silau, hingga menurunkan suara gema dari langit yang semakin memetang,
“Udin, berubahlah, serangga tadi telah menyuntikkan chip heroic dalam tubuh keringmu, maka berubahlah, lalu berbuat baiklah, untuk sesama manusia, tolonglah mereka yang membutuhkan, kini kau merupakan manusia super power, tapi bukan sebagai Spiderman, melainkan sebagai Bapak Pucung-Man, sosok pahlawan yang sangat dibutuhkan oleh keterpurukan Indonesia, berubahlah…!!!”
Seperti tersambar petir, Udin diam, kemudian perangkat latahnya berteriak, “Berubah…!!!”, hingga tubuh kucelnya sedikit menegak, dari punggungnya tergerai seperi kain, berwarna kuning, dengan dua bulatan yang menyerupai mata, mungkin sebagai sayap. Kepalanya terdapat sebuah topi prisma, sedikit runcing, seperti kostum pelengkap saat perayaan ulang tahun, tanpa sepatu, hanya dilengkapi kacamata tipis dengan paduan warna yang tak sejajar, kanan merah, dan sebelah kiri biru, konon sebuah kacamata tiga dimensi.
***
Udin sedikit kecewa dengan kostum super yang tak segagah idola-idolanya, Spiderman, Superman, ataupun Batman, bahkan tak mampu menunjukkan sama sekali kesuper-powerannya, lebih pas untuk dikatakan sebagai sosok badut dalam tempat rekreasi murah, yang kurang diminati wisatawan karena kekumuhannya. Namun dia cukup gembira, karena impiannya telah tercapai, sebagai manusia super, siap menolong siapa saja yang tertindas.
Masih dalam ketermenungan tentang kostum yang dipakainya, Udin memandangi selokan kecil berisi kubangan air keruh namun cukup mampu menjelaskan kedunguan kostum yang dipakainya. Tak lama dia bercermin, tiba-tiba suara misterius itu kembali mendengung, “Wahai manusia super, kuberikan tugas pertama untukmu, dengan kesaktianmu, tolonglah Indonesia, pergilah ke ibu kota, tuntaskan PR terbesar negeri ini, selesaikan kasus skandal Century”. Kemudian hilang, seiring udara yang semakin malam.
Lagi-lagi Udin merasa gembira. “Inilah manusia super yang tak lagi Udin, Tapi sebagai Bapak Pucung-Man, siap menolong semua manusia”. Gumamnya dalam hati.
***
Dengan gemetar, Udin mencoba pasang kuda-kuda, tangan kiri berkacak-pinggang, dan hitam lengan kanannya menegak ke arah langit, dengan gagahnya, dia berharap untuk terbang. Tapi ternyata tubuh ringannya tak terangkat sama sekali, atau berharap jari dengan kuku-kukunya yang hitam itu dapat mengeluarkan jaring-jaring sakti seperti Spiderman, dan lagi-lagi ... tidak bisa. Lalu apakah kesaktian seorang Bapak Pucung Man? kemudian dia berlari lamban, menuju tepian jalan raya, dan ternyata di sanalah kesaktiannya sedikit nampak, dengan lengan pendeknya, dia mampu menyetop laju lambat mobil truk yang melintas, dan mempersilahkannya menumpang sampai ke Jakarta.
***
Matahari menunaikan janji berikutnya. Dalam bak truk yang putih karena tepung-tepung yang diangkutnya bertebaran dari sobekan karung, sang pahlawan kembali membuka matanya, setelah tertidur lelap dalam perjalanan yang penuh misi kali ini.
“Hai badut, bangun, kau sudah sampai di Jakarta, turun dan berhati-hatilah di sini, mungkin kau akan langsung terciduk oleh petugas satpol PP, karena kota ini sudah terlalu penuh sesak dengan gelandangan sepertimu,” ujar supir truk dengan garangnya.
Udin tak mampu mendengar dengan penuh, matanya masih terasa sepat untuk teromeli. Dia turun dan langsung meneduh ke sebuah pohon, dan kembali mengingat misinya ke Jakarta. “Bank Century?”
Dalam sengatan kulit matahari, Udin melangkah menuju tengah kota Jakarta, dia mencari dan mengendus di manakah lokasi titik pusat dari fenomena skandal yang sangat merugikan negara ini. Dan ketika sampai pada sebuah gang jalan sudut kota, terdengar teriakan orang-orang seperti sedang mengejar sesuatu, dan benar, mereka sedang mengejar copet pasar, menuju gang buntu tepat di hadapan Udin sang pahlawan, hingga ... Brakkk..!!! tabrakan keras menghantam tubuh sial Bapak Pucung-Man, dia terjatuh, diiringi hujaman pukulan masyarakat yang geram, pukul rata, dan Udin juga merasakan itu semua.
Kini kostum kebanggaan Udin nampak compang-camping karena robekan dan pukulan warga, seketika dia ambruk, tanpa ditemani si pencopet yang masih bertahan dan lari diiringi kejaran massa.
Dalam keterpurukannya, suara langit dalam hayalnya kembali bergaung,”Pulanglah, kembali ke markas, tugasmu terlalu ringan, kau tidak gagal, hanya sebuah ketertundaan”. Sang hero dengan misi tertundanya ini kembali mengayunkan langkah menuju sebuah terminal bus, berharap kendaraan baik hati kembali membawanya pulang dengan tanpa pungutan. Namun sayang, belum tuntas perjalanan pulangnya terwujud, bimbingan tersembunyi itu kembali menitahkan untuk melakukan perannya sebagai seorang pahlawan.
“Wahai manusia super, pergilah ke arah timur pulau Jawa, dengarkan teriak tangis saudara-saudaramu, pergilah ke Porong-Sidoardjo, hentikan luapan lumpur yang merampas kebahagiaan mereka, cepat laksanakan tugasmu...!!!”.
***
Ini kali harus tergiring dengan kesemangatan lebih, jangan sampai gagal kembali, sang Bapak Pucung-Man pun melompati tumpangan dari satu kendaraan ke kendaraan berikutnya, mobil truk, kereta barang, bahkan sampai kendaraan pengangkut sampah.
Setibanya di pintu kota tujuan, dengan kostum yang masih sama, Udin Bapak Pucung-Man menuju ke sebuah perkampungan, dengan penuh kesemangatan, dia sedikit berlari mencari tahu lokasi semburan lumpur Lapindo, hingga ternyata “Krasaaaakkkk!!!” terprosok sebuah septic tank milik seorang warga, sial…!!! Sederhana sekali warga-warga di sini yang hanya membuat jamban dengan ditutupi bambu-bambu rapuh dan dilapisi dengan sobekan karung-karung bekas.
***
Terus begitu, dari hari ke hari masa tugasnya, dari kasus satu ke kasus lain yang diembannya, atau dari kota satu ke kota berikutnya, Sang Bapak Pucung-Man tak pernah tuntas untuk mewujudkan label kepahlawanan yang dicita-citakannya. Sampai ketika dengan sisa-sisa kesemangatan yang ada, dia mengemban tugas untuk menyelidiki pelaku pengeboman dua hotel berbintang di Jakarta, dan sekali lagi, dia justru harus berhenti saat mata merahnya terlempar petasan anak-anak jalanan kala menyambut kemeriahan bulan Ramadlan.
***
Di ujung keputus-asaannya sebagai seorang pahlawan yang tak pernah pahlawan, Bapak Pucung-Man sudah tak lagi bergairah untuk menerima perintah, dia bertekad untuk menanggalkan segalanya, kostum lucunya, misi dan tugas-tugasnya, bahkan cita-cita kepahlawanan yang sangat dia idam-idamkan dalam setiap hayalan.
Namun hal tersebut harus berhenti kembali, saat udara tersembunyi itu kembali bersuara
“Jangan pernah putus asa wahai manusia sakti, bagaimanapun kau adalah manusia super yang diciptakan sebagai seorang pahlawan, hanya saja kau kutempatkan untuk di sini, di suatu negeri yang sangat sesuai dengan nasib dan kemampuanmu, negeri Indonesia, sebuah negeri dengan masalah-masalahnya yang tak pernah selesai.”
Setelah itu, Udin terbangun, dalam suatu Maghrib yang pekat, masih di sebuah kebun yang sangat sederhana, dan tanpa kepedulian masyarakat sekeliling terhadap kesendiriannya.
Cirebon, Juli 2010
Bapak Pucung : Hewan serangga yang biasa hidup di ladang-ladang warga kampung, berwarna kuning, dengan sayap yang memiliki dua titik hitam. Dengan nama latin Dysdercus cingulatus
* Penulis adalah cerpenis kelahiran Cirebon, masih tercatat sebagai mahasiswa Fak. Ushuluddin Jur. Pemikiran Islam di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon. Aktif di Lembaga Kebudayaan RUMBA GRAGE dan Komunitas Seniman Santri (KSS) Cirebon. Cerpen dan puisi-puisinya banyak dimuat oleh media cetak dan online, serta buku yang pernah ditulisnya adalah Antologi Sastra: Nyanyian Gagang Telepon (Wedatama Widya Sastra, Jakarta Selatan : 2009).
Sumber: Kompas, 31 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar