Pages - Menu

26 Juli 2012

Mbah Jo dan Pesta Demokrasi

Cerpen Rudi Setiawan
Mbah Jo masih asyik memunguti botol-botol plastik bekas minuman yang berserakan di sekitar tong sampah di pinggir jalan protokol di tengah kota itu. 

Pagi sudah beranjak mendekati siang, tetapi di jalan protokol itu masih ramai lalu lalang kendaraan yang hampir memadati seluruh bahu jalan. Seperti layaknya kota-kota besar yang lain, kemacetan merupakan pemandangan lumrah sehari-hari. 


Mbah Jo terus berjalan menelusuri trotoar sembari matanya terus menatap liar mencari-cari sampah-sampah bekas yang mungkin masih bisa didaur ulang. Jepitan kayu ditangannya tangkas memunguti satu demi satu sampah lalu dimasukan kedalam keranjang yang tergantung dipunggungya. 

Ketidak disiplinan para pengguna jalan yang membuang dengan seenaknya sampah-sampah di pinggiran jalan justeru menjadi rejeki bagi para pemungut sampah seperti Mbah Jo. 

Mbah Jo lelaki 65 tahun itu, masih cukup kuat berjalan jauh dari tempat tinggalnya di sebuah pemukiman kumuh di bantaran kali untuk mengais rejeki di jalan-jalan protokol  di tengah kota besar itu. Sudah sepuluh tahun dia tinggal disana, sebagai seorang urban setelah rumah dan sepetak sawah lahan mata pencahariannya di kampung pinggiran kota tergusur oleh pabrik tekstil dengan ganti rugi yang tidak seberapa. Demi untuk sekedar bertahan hidup dia langkahkan kakinya ke kota mencoba mencari peruntungan dan mengais rejeki. 

Siang sudah semakin dekat, matahari hampir melintas tepat di atas kepala. Keringat dan peluh mbah Jo telah membasahi kaos oblongnya yang sudah kumal itu. Perlahan dia berjalan ke bawah pohon rindang di tepi jalan itu untuk sejenak berteduh melepas lelah. Duduk dia di bawah pohon itu, sembari termenung matanya menatap gedung-gedung pencakar langit yang tinggi menjulang, yang dengan angkuhnya seolah mengejek kekumuhan dan kemiskinan yang berserakan tersembunyi dibalik gedung-gedung tinggi, di bantaran-bantaran kali dan di pinggiran-pinggiran rel kereta api. 

Dari kejauhan Pardi, rekan seprofesinya sesama pemulung dan juga tetangga yang tinggal dekat dengan gubuk reotnya di sebuah pemukiman kumuh di bantaran kali, berjalan menghampirinya kemudian duduk di samping mbah Jo. 

“Mbah, sudah dapat banyak ya kok sudah istirahat ?”, tanya Pardi.
“Ya alhamdulillah lumayanlah Di, lagian sudah mulai panas ini cuacanya,” jawab mbah Jo sambil mengipas-ngipas peluh dilehernya dengan sobekan kardus bekas. 

“Mbah, nanti sore di tanah lapang dekat bendungan akan ada kampanye Pilkada!”.
“Nanti sepulang setor barang ke juragan Anas kita mampir ke sana ya mbah !”, ajak Pardi kepada mbah Jo.
“Ngapain kita mesti ke sana Di, wong orang pidato kok dilihat paling yang diomongin janji-janji doang”, sungut mbah Jo. 

“Lho seperti biasanya nanti kan pasti ada pembagian sembako gratis, kaos dan juga uang tho mbah”.
“Kan lumayan kaosnya bisa kita pakai untuk mengganti kaos kita yang sudah kumal ini dan sembako serta uangnya bisa membuat dapur kita ngebul untuk tiga hari ke depan”, rayu Pardi.
“Ah enggaklah, aku nggak akan pergi ke sana, aku takut dosa “, tolak mbah Jo. 

“Dosa bagaimana sih mbah, kita kan tidak mencuri atau mencopet”, sanggah Pardi.
“Uang dan sembakonya kan di berikan secara cuma-cuma alias gratis, ya anggaplah sebagai sedekah pada kita kaum miskin ini”, lanjutnya. 

“Lha kalau uang dan sembakonya itu adalah hasil dari korupsi bagaimana ?”, Kalau kita ikut menikmatinya berarti kita bagian dari korupsi itu dong, alias secara tidak langsung kita ini koruptor juga !”, jelas mbah Jo.
“Ah ya jangan berpikir sejauh itulah mbah, lha wong Pilkada kan hanya tiap lima tahun sekali dan jarang-jarang lho kita dapat uang dan sembako gratis kalau toh itu memang hasil dari korupsi, ya kita pura-pura tidak tahulah mbah”, sanggah Pardi lagi. 

“Meski kita pura-pura tidak tahu, tetapi Tuhan kan Maha Tahu Di !”, jawab mbah Jo. 

“Oalah mbah mbah, mbok ya jangan sok-sokan seperti itu. Kita kan kaum miskin untuk bisa makan sehari-hari saja susah dan keluarga kita lebih sering laparnya dibanding kenyangnya”, rutuk Pardi.
“Di, meski kita ini miskin kita harus tetap punya prinsip dan harga diri”, nasehat mbah Jo. 

“Punya prinsip, punya harga diri, lalu kalau keluarga kita mati kelaparan bagaimana ?”, tanya Pardi dengan ketus. 

“Bagiku lebih baik mati kelaparan daripada makan dari rejeki yang tidak halal, dan  bukankah kematian orang miskin seperti kita ini adalah hal biasa, semakin banyak orang miskin yang mati maka berkuranglah angka kemiskinan di kota ini” nasehat mbah Jo selanjutnya. 

“Ah sudahlah mbah, aku nggak mau berdebat lagi, kalau memang mbah Jo nggak mau datang aku akan datang sendiri dengan keluargaku”, jawab Pardi sambil berlalu meninggalkan mbah Jo yang masih terduduk diam di bawah pohon itu. 

Matahari telah tepat berada di ubun-ubun kepala dan perlahan-lahan mbah Jo pun beringsut dari tepi jalan itu menuju sebuah surau kecil di ujung gang sempit di celah-celah gedung-gedung pencakar langit itu.
****************
Sore hari di sebuah tanah lapang di pinggir bendungan, sebuah panggung besar lengkap dengan sound systemnya berdiri kokoh tepat di tengah-tengah lapangan. Seorang lelaki perlente berjas mewah sedang berorasi menggebu-nggebu diatas panggung, disekelilingnya sekumpulan orang berambut cepak dan bertubuh kekar berdiri mengawalnya. 

Sementara di bawah panggung, serombongan orang-orang miskin tua muda, laki-laki perempuan berbaris antre di depan beberapa meja. Para anggota tim sukses sibuk membagi-bagikan bungkusan sembako dan amplop uang pada para pengantri tersebut. Tampak pula Pardi dan isterinya ikut mengantri dalam barisan itu, ada sekulum senyum di bibirnya, ada binar kebahagiaan di rona wajahnya. 

“Alhamdulillah minimal dalam tiga hari kedepan keluargaku tidak kelaparan dan aku bisa tenang dalam bekerja”, bisiknya dalam hati. 

Sementara itu di kejauhan, dari balik gubuk reotnya mbah Jo mendengar sayup-sayup suara seseorang sedang berpidato dari sebuah pengeras suara.
“Jangan lupa, pilih lagi saya, coblos tanda gambar saya !”.
“Saya jamin, bantaran kali ini tidak akan banjir lagi !”.
“Saya jamin, akan ada jaminan kesehatan dan pengobatan gratis bagi anda semua !”.
“Saya jamin, biaya sekolah gratis bagi anak-anak anda semua !”.
“Sekali lagi jangan lupa, pada hari pemilihan datang ke TPS terdekat di rumah anda, buka kertas suaranya dan coblos tanda gambar saya !”.
“ Janga lupa, saudara-saudara !”.
“Jangan lupa, pilih lagi saya, bersama kita bangun kota ini menjadi lebih sejahtera !”.
Masih terngiang-ngiang di telinga mbah Jo, lima tahun yang lalu orang yang sama berpidato dengan janji-janji yang sama pula.
 
Dan di musim penghujan kampung-kampung kumuh di bantaran kali itu tetap kebanjiran, banyak anak-anak yang putus sekolah karena orang tuanya tak sanggup membayar biaya sekolahnya, beberapa warganya mati karena sakit dan tak sanggup membayar biaya pengobatannya.
Dan masih terus terngiang-ngiang di telinga mbah Jo, lima tahun yang lalu orang yang sama berpidato dengan janji-janji yang sama pula.
Diapun lalu tersenyum sembari mengurut dadanya, kemudian diapun berujar:
“Gusti Allah tidak tidur, Dia Maha Tahu dan kelak di akherat akan menagih semua janji-janjimu”.
 
Jakarta, awal Ramadhan 2012.
Rudi Setiawan, lahir di Kertosono – Jawa Timur, buku kumpulan cerpennya :”Kang Soleh Naik Becak Menuju Surga” telah diterbitkan oleh PT Elex Media, Jakarta.

Sumber: Kompas, 26 Juli 2012  
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar