Pages - Menu

11 Mei 2012

Puisi-puisi Lailatul Kiptiyah

Ke Ladang Tebu

pagi-pagi sekali ia telah rapi
langkahnya cukup hati-hati
jalanan yang dilewatinya adalah
sebuah jembatan bambu di atas kali dangkal berbatu
ah, dilihatnya seekor ikan mengambang di permukaan bayangnya
seperti takjub
mengecupi lumut
yang membuatnya terus hidup
lumut itu seperti kekasih
membagi dalam perih


menurutnya cuaca kali ini sungguh tak terkira
sebentar hujan berpendar sebentar terik membakar segala yang kena
di tikungan ia lihat seekor kadal kecil
melesat ke bawah  serimbun kemangi
dulu,  ia selalu menunggu seseorang datang ke sini
membawa aroma jerami

angin terasa lembut merandai
langkah hati-hatinya telah sampai
--oh, hanya padang kelabu
hanya sisa-sisa bonggol yang mengabu
dangau itu juga sepi

nyata telah lama ditinggal penghuni
kemana tebu-tebu yang dulu berjajar rapi
seekor prenjak hinggap di sebatang ketela
selain itu tak ada siapa-siapa
benar seperti kata ayahnya
ketika semalam ia tiba:
“tak ada lagi siapa-siapa

orang-orang itu pergi
terbawa malaria yang meninggi”
dan orang tua itu selamat
kini ia hanya duduk menafakuri waktu
yang meninggalkannya bersama kerapuhan itu
Jakarta, 2011

Ke Pemakaman
ia berangkat dengan sepeda tuanya
menyisiri selajur lurung raya
yang sepi
di tepi kiri-kanan jalan, pohon asam dan akasia
telah menjadi tua dan purba
serupa penunjuk lama yang mudah terabai
dalam peta
ia baru melewati
tugu kecil di kanan jalan
-kilometer sembilan
ketika dilihatnya gelombang burung datang
merambah di atas sawah-pematang
terus menuju ke barat
mengingatkannya kepada jamaah
betapa mereka saling dekat dan rapat
-merengkuh kiblat
ia terus mengayuh sepedanya
hingga mata tuanya mulai menangkap
geriap pelan dedaun kamboja
kerlap-kerlip bintang senja
yang semakin memperpendek jaraknya
Jakarta, November 2011
Ke Dusunku
Suatu hari nanti
kau akan kubawa ke sana
ke dusunku yang sunyi
di lembah senja kala
Sepucuk gunung kapur berkilau di tepi barat
gelombang burung melayang menuju kiblat
Di hari pagi sawah-sawah bermandikan halimun
jalan-jalan setapak beralaskan sajadah daun
di sisi pematang berjajar lanjaran bambu
rambatan bagi kacang panjang yang di tanam ayah-ibu
Sedikit ke timur akan kita temui seorang tua
dengan sabit hening menyiangi rumput pusara
di sana telah berbaring leluhurku
di bawah teduhan  nisan-nisan kayu
Tiba di jelang dzuhur
kita cukupkan memetik dan menabur
untuk bertindak pulang
lewat jembatan melintang
di ujung dusun
di mana pegagan dan capung mengapung
di bening kali
tempat kita mencuci, segala luput dan benci
yang pergi dan yang              selalu kembali
23-24 Februari, 2012
Ke Sebuah Kota
Suatu hari nanti aku akan ke sana
ke sebuah kota
di mana cinta bermula
Di dermaganya yang sepi
kubawa layarku menepi
lalu daun-daun ketapang yang gugur
menyambut kedatanganku
bersama salam dan doa yang terulur
satu demi satu
Lalu kubawa langkahku
ke sebuah halaman rumah kayu
di mana aroma buku dan perdu
meruap menyatu
Dari situ akan kulihat panorama senja
wajah Senggigi yang tersaput jingga
serupa cinta yang telah di takdirkan
sejak lama
Jakarta,  2012
Biodata:
Lailatul Kiptiyah, lahir dan besar di Blitar. Menikmati dan mencintai karya sastra. Saat ini bekerja di Jakarta

Sumber: Kompas, 10 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar