Cerpen Fredy Wansyah
“Masuk. Tumben pagi-pagi gini kemari,” kata Naya kaget di depan pintu kamar kosnya.
“Ada perlu, Nay,” sahutku.
“Perlu apa? Pinjem duit?”
“Bukan,” kataku kepada Naya sambil duduk ke atas kasurnya.
Kuceritakan semua kejadian semalam. Aku dan Naya duduk di atas kasur seperti orang naik perahu yang menjaga keseimbangan, dan Naya sesekali menaikturunkan alis matanya. Seakan dia paham tentang semua yang aku ceritakan. Mungkin juga dia benar-benar paham, sebab aku kenal lelaki itu dari Naya. Ya, seminggu yang lalu di sebuah cafe, Naya datangi aku lalu menunjukkan seorang lelaki yang ingin tidur. Seorang lelaki yang gigih dan gagah. Lelaki yang berprofesi sebagai pebisnis. Waktu itu, Naya tidak langsung mempertemukan kami. Baru semalamlah kami bertemu. Lalu tidur.
“Tadi dia juga ke sini. Dia minta nomor rekeningku. Lalu dia juga titip sesuatu untukmu,” kata Naya sambil bergerak ke lemarinya, seperti ingin mengambil sesuatu.
“Cuma itu, Nay? Dia titip apa?” tanyaku penasaran.
“Sebentar,” Naya membuka lemari kecilnya, satu-satunya teman kasur di ruangan kecil yang dikontraknya.
Naya menunjukkan dua lembar kertas. Satu lembar foto. Satu lembar lagi tulisan kecil. Tulisan itu berisi pesan dan nomor henfon.
//
Lampu-lampu kendaraan di jalanan mulai nyala. Lampu-lampu tepi jalan dengan gagahnya pun ikut menyala. Sore hilang, gelap terang datang.
Seadanya perawatan wajah. Di depan cermin aku bertaruh hidup, sebab hanya cermin yang polos di dunia ini, sampai ia berkata apa adanya tentang keburukan wajahku. Cermin itu menunjukkan luka, ceria, sedih, kerut, muda, dan tua di wajah. Dengan jujur. Perlahan wajahku mencermati cermin. Seakan ia sedang berkata, di belakang punggungku ada bayi gadis tertidur pulas.
Rias wajahku selesai. Kutinggalkan bayi gadis itu tidur sendiri di kamar yang cukup kecil. Kutitip jaga ke kamar sebelah. Seperti biasa, bila ia menangis, tetangga sebelah akan datang menjaganya sampai bayi gadisku tidur kembali.
Sepertinya malam ini banyak rezeki, keluhku dalam hati. Sekeluarnya aku dari gang, banyak berdiri mobil-mobil gagah. Berplat “B”. Orang-orang Ibu Kota berdatangan. Katanya mereka ingin berbelanja dan berlibur di kota ini. Aku juga tak tahu, mengapa di kota ini dibilang kota belanja. Padahal di sini cuma kawasan kumuh dari kota yang disebut Kota Kembang. Di sela-sela Kota Kembang itulah Saritem ini berdiri kumuh. Oh, aku ingat, ternyata hari ini tanggal merah, wajar bila mobil-mobil gagah itu berdiri serupa angkatan bersenjata yang siap tempur.
“Woi, mau ke mana?” seorang berteriak samar-samar dari seberang jalan raya yang riuh.
Kulihat arah arah. Dia teman seperjuanganku. Kujawab pertanyaannya dengan menunjuk ke arah tujuanku.
“Ngapain ke sana? Gak kerja?” sambutnya.
Kujawab pula dengan lambaian tangan. Apalah arti bekerja tanpa cinta. Aku jenuh, bekerja tanpa cinta. Serupa sendok di dalam gelas air putih. Seakan tiada guna, pikirku. Ah, itulah pilihan malam ini, cinta.
//
Aku dan dia tertawa. Di atas meja kami masih tersisa sedikit bir. Ada empat meja di ruangan ini. Semua terisi. Hanya di meja kami yang banyak berdiri bir.
Sayup-sayup kupandang wajahnya. Perlahan-lahan semakin dekat. Kudekati tubuhnya. Semakin dekat tubuh kami. Ah, ternyata tubuhnyalah yang mendekati tubuhku. Bangsat, hampir aku mabuk cuma karena bir!
Malam parti selesai. Bukan parti besar. Cuma parti kecil. Aku berjalan perahu ke lorong gang yang dijajari kamar-kamar. Dan, kamar-kamar itu bermesin mengantarkan aku dan dia ke kamar yang kami pesan berdua di awal.
Kamar ini kecil. Kecil sekali. Sampai-sampai kamar ini mendorong tubuh lelaki yang di depanku semakin terdorong. Terdorong mendekat ingin mendekap. Terus, dan terus dinding mendorong tubuhnya ke tubuhku. Semakin kecil. Semakin gelap. Semakin sayup. Dan, ah...
Kulihati ia berjalan kecil. Membersihkan tubuhnya. Merapikan entah apa yang melekat di tubuhnya. Kukuliti tubuh itu.
“Makan nasi uduk itu. Tadi aku beli dari depan gang sana.”
“Terus?” kataku tegas.
“Aku mau pergi. Dua jam lagi aku ada perlu.”
“Terus?”
“Semuanya udah aku transfer.”
“Apanya? Transfer apa?”
“Ke teman kamu”
Dia pergi. Kukuliti langkah kepergiannya. Melangkah ke luar kamar.
//
Lama. Ke mana dia? Ah, mungkin dia telat. Aku tunggu saja. Ini kan wiken. Seperti biasa, bukan rahasia lagi, kalau di kota ini wiken selalu macet.
Sejam. Dua jam. Ke mana dia? Aku tak tahu, ah. Yang kutahu, aku harus tunggu. Biar berapa puluh batang rokok ini habis aku akan tetap tunggu. Pasti.
Itu dia, pikirku, melihat lelaki yang dari kejauhan mendekat ke tubuhku. Ah, mungkinkah dia? Tidak. Bukan dia, keluhku saat melihat lelaki itu semakin dekat.
Aku sudah tidak sabar menunggu kedatangannya. Mungkin, kali ini dia akan membawakan sesuatu yang berbeda dari yang biasanya. Dia akan membawakan aku hadiah, makanan, atau apalah itu yang mungkin berbeda.
Seperti suatu malam yang kukenang itu ketika dia membawa makanan, dia memberikannya langsung ke mulutku. Getar bibir. Getar segala tubuhku dibuatnya. Aku habis tenaga karena getaran itu. Seperti mayat, aku beri tubuhku seisi-isinya. Tidak seperti biasanya kepada lelaki yang menyewa tubuhku.
Mana ada di dunia ini lelaki yang mau menyulangi makanan ke depan bibirku, kecuali dia. Kata orang-orang, lelaki yang paling sayang sama kita ialah ayah. Tapi tidak untukku. Ayah tidak pernah memberikan sesulang makanan pun untukku. Ah, benci aku dengan lelaki itu, yang sering memukuli ibuku.
Sudah habis sebungkus rokok. Sisa-sisanya tumpang tindih. Untunglah warung rokok dekat-dekat dari sini belum tutup. Padahal sudah menjelang subuh.
“Mang, rokok putih biasa sebungkus,” ujarku ke pedagang rokok.
Sudah kayak apa aku ini. Beli rokok, datang lagi ke tempat tadi. Menunggu lagi. Sungguh, aku tidak mau pikir apa-apa. Aku hanya tidak sabar menunggumu, sayang.
“Gak pulang?” tanya seorang teman yang melintas begitu saja.
//
Kenapa dia pergi begitu saja? Ah, entahlah. Aku mau cuci muka saja langsung sarapan nasi kuning. Aku tidak mengerti, kenapa air begitu dingin mengalir ke kulitku. Apa mungkin karena semalam? Mungkin air itu seperti dia.
Segera. Ya, dengan segera aku harus habisi nasi ini. Aku mau pergi ke kontrakan Ratna. Katanya dia sudah transfer.
Oh ya. Aku sekarang tahu. Dia pasti sudah transfer uang ke Naya. Semoga saja dia kasih uang yang cukup.
Aku ingin membeli banyak barang, kalau dia beri banyak. Toh aku sudah banyak kasih waktu. Dengan cinta. Kata orang, cinta itu mengorbankan waktu. Semalaman dengannya. Mudah-mudahan aku tidak dihargai dengan harga murah.
//
Di balik tong sampah ini aku bersumpah. Sampai lebih dari waktu subuh pun. Aku tunggu janjimu. Aku cuma ingin bertemu denganmu malam ini. Mungkin malam ini, entah malam seperti apa, ketika nanti kita bertemu.
Kamu beri janji. Kita akan menikah. Kamu bilang, dunia malamku tidak baik bagi anakku yang masih berumur setahun. Kamu juga bilang, kehidupanku seperti ini sama saja seperti bunuh diri perlahan-lahan. Mati di mata orang-orang, tapi tidak mati raga. Itulah arti pelacuran yang kau ajari kepadaku.
Bukan lagi janji, bukan lagi uang, bukan lagi waktu. Aku cuma butuh cinta. Aku rasa, aku cuma seperti lalat atau kucing atau anjing yang saban hari mencari makan dan kawin. Aku kawin untuk cari makan. Kulitku ingin kulit yang dicintai.
Sejak kamu ucap janji, kamu ucap kasih, kamu lukis kasih di kulitku, aku rasakan perlahan keinginan kulitku. Kamu lembut. Kamu hati-hati sekali. Seakan kamu pandang diriku selayaknya kaca yang tidak ingin tergores.
Waktu sudah setengah empat lewat. Sebentar lagi azan. Kamu di mana? Apa kamu tidak rindu kepada anakmu?
Waktu terus jalan. Sudah hampir habis rokok sebungkus yang tadi kubeli. Kalau begitu, lebih baik aku pulang. Maaf aku harus pulang. Aku tidak bisa tunggu kamu di sini sampai kita bertemu. Aku tidak salahkan dirimu. Sejak awal bertemu, sejak kamu titip pesan dan berani titipberi fotomu, sejak setahun yang lalu, aku tidak pernah berpikir untuk menyalahkan dirimu. Kali ini yang aku salahkan, mengapa harus ada perkawinan? Mengapa aku bangga saat kamu menjanjikan perkawinan? Sangat bangga, apalagi ketika kamu berikan janji, malam ini kita seharusnya merencanakan waktu dan persiapan lainnya untuk pernikahan kita.
//
“Ibu, ini kekasihku. Mungkin selama ini aku takut beritahu kepadamu, Bu. Sekarang, ini kutunjukkan fotonya, Bu.”
Mirip. Ah, mungkin hanya mirip.
“Dia janji, tahun depan akan menikahi aku, Bu.”
Kuinjak kuat-kuat lantai. Kugenggam kuat-kuat fotonya. Kulangkahkan kaki ke depan ambang jendela. Kucampakkan foto di tanganku, sekuat-kuatnya. Berharap esok foto itu ada di tong sampah!
“Nak, duduklah sebentar. Ibu mau cerita kisah tentang foto dan tentang janji pernikahan Ibu sembilan belas tahun yang lalu, sampai Ibu harus mengurusmu sendiri seperti ini,” kataku.
Sumber: Kompas, 11 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar