Pages - Menu

19 Maret 2012

Sanib Hanya Ingin Menikah

Cerpen: Adi Toha

Sambil mengelus-elus jenggotnya yang menjuntai, Sanib memeriksa satu per satu lembaran kertas di hadapannya. Lembaran berisi sehelai foto dan secuil daftar riwayat hidup itu dia amati dengan saksama sambil mengerutkan kening.

Satu lembar dia tepiskan lalu beralih dengan lembaran yang lain. Terkadang dia berhenti lama pada satu lembar, menelusuri tulisan-tulisannya dengan telunjuknya, atau menatap lekat-lekat foto yang menempel di atasnya.


“Ini saja. Saya mau yang ini. Lekas sampaikan ke Pak Kapten, papa saya, untuk segera mempersiapkan lamaran.” Akhirnya Sanib berkata.
“Tuan Sanib, Anda serius dengan pilihan kali ini?” Sang ajudan memeriksa kembali lembaran yang diberikan Sanib.


“Ya, saya serius. Saya kan aktivis dakwah, wajar jika istri saya nanti bercadar seperti dalam foto itu,” kata Sanib dengan penuh percaya diri.

“Meski begitu, Pak Kapten kan Kepala Koramil, apa kata dunia nanti kalau menantunya ternyata potensial untuk diduga, disangka, dan dicurigai sebagai teroris atau anggota aliran sesat.”

“Usulkan dulu kepada Pak Kapten. Kalau dia setuju, kita bergegas bergerak. Kalau dia tidak setuju, maka tugasmu untuk mencari lagi kandidat-kandidat lain. Dari tumpukan kandidat yang kamu berikan kali ini, hanya dia yang menurutku layak.”

Sanib menggeliat dan menegakkan punggungnya di sofa. Matanya menerawang entah ke mana. Sudah beberapa bulan ini hampir setiap minggu dia menerima setumpuk lembaran berisi daftar riwayat hidup perempuan-perempuan yang disiapkan oleh ajudannya entah dari mana. Semua itu mulai terjadi ketika Pak Kapten, ayahnya memintanya untuk lekas menikah.

Meskipun berasal dari keluarga tentara, Sanib bukanlah tentara. Dia memilih untuk menjadi guru dan aktivis dakwah di sebuah ormas, sebuah pekerjaan yang gajinya tidak seberapa dibandingkan dengan ayahnya. Pada awalnya, Sanib mendapat tentangan keras. Namun, dengan lihai Sanib melontarkan hadis demi hadis yang dipelajarinya selama berorganisasi di kampusnya perihal keutamaan bekerja melayani umat. Maka orangtuanya pun luluh dan merestui pilihan hidup anaknya itu.

Pekerjaannya melayani umat menjadikannya tidak memikirkan tentang dirinya sendiri sampai-sampai kedua orangtuanya harus mengingatkan bahwa usianya sudah cukup tua untuk menikah. Lagi pula, Pak Kapten sudah berharap dapat menimang seorang cucu. Kakak perempuan Sanib yang digadang-gadang untuk lekas menikah, malah jadi depresi karena belum juga menemukan pasangan yang cocok dan sepadan.

Sebelum bangkit dari tempat duduknya, dia melihat kembali sekilas pada tumpukan kertas di hadapannya. Dia menyeringai kecil, entah untuk alasan apa. Kemudian dia mengambil tumpukan kertas itu dan menyatukannya dengan tumpukan lain yang lebih dulu diperiksanya dan tidak lolos seleksi.

Terlalu lama duduk, dia merasa burungnya menegang dan posisinya tidak mengenakkan. Setelah melihat ke kiri kanan memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di ruang tamu itu, dia membetulkan posisinya senyaman mungkin.

“Sabar, sebentar lagi kamu akan punya sarang,” ujarnya dengan penuh pengharapan. Lalu dia masuk ke ruangan dalam dan menenggelamkan diri di meja kerjanya, di hadapan setumpuk data penerimaan zakat.
Keesokan paginya, sang ajudan yang telah ditugaskan Pak Kapten untuk membantu urusan sehari-hari anaknya—temasuk urusan cari-mencari jodoh—itu kembali datang.

“Benar kan, apa yang saya bilang, Pak Kapten tidak mau punya menantu perempuan yang berpotensi diduga, disangka atau dicurigai sebagai anggota teroris atau aliran sesat,” kata sang ajudan dengan penuh kecewa.
Sanib yang sedang bersandar di sofa itu menghela napas panjang.

“Tapi saya juga membawa satu profil yang menurut saya Anda pasti suka. Saya dapatkan dari anak saya yang sempat mengikuti pelatihan motivasi dan pengembangan diri di sekolahnya. Kebetulan, tempat tinggal perempuan itu dekat dari sini. Saya akan kirimkan anak buah saya untuk melakukan investigasi,” ujar sang ajudan dengan penuh percaya diri.

Sanib menerima lembaran yang diberikan oleh ajudannya itu dan memeriksanya dengan saksama. Terlampir di lembaran itu sebuah foto seorang gadis berjilbab merah muda mengenakan jas hitam sedang memberikan pengarahan di depan anak-anak sekolah. Wajah gadis itu bundar, bermata sipit dan postur tubuhnya agak gemuk. Dari data yang disertakan, Sanib tahu bahwa gadis itu pernah berkeliling ke beberapa kota, termasuk Bali, untuk menghadiri berbagai macam kegiatan bergengsi.

“Ehm. Sabina. Nama yang indah. Ini yang aku suka. Energik, atraktif, keibuan, dan cantik. Montok lagi. Segera usulkan kepada Pak Kapten,” ujarnya, kemudian menyerahkan kembali kertas itu kepada sang ajudan.

Keesokan paginya iring-iringan kendaraan militer tiba di depan rumah Sanib. Dengan berseragam lengkap, Pak Kapten turun dari salah satu truk dan melangkah masuk ke dalam rumah. Sanib sedang bercermin dan mengepaskan posisi kacamatanya. Begitu dia melihat ayahnya itu, dia langsung menyambutnya, menjabat, dan mencium tangannya.

“Sudah siap, Anakku? Hari ini kita akan bertempur,” sapa Pak Kapten kepada anaknya.

“Insya allah siap, Papa. Semoga pilihan kali ini adalah yang terbaik,” jawab Sanib dengan khidmat.
Iringan-iringan kendaraan militer pun meluncur di jalanan kota. Sirenenya meraung-raung membelah mobil-mobil yang sedang melintas di tengah jalan. Belokan demi belokan terlewati, tikungan demi tikungan dilintasi, menyusuri sungai, menembus jalanan desa yang masih jarang penghuni, dan tiba di sebuah rumah yang di depannya terbentang sawah padi yang cukup luas. Beberapa orang tentara bergegas turun dari truk dan berdiri tegap mengamankan jalan bagi Pak Kapten dan putranya.

Seorang pria paruh baya keluar dari rumah itu dan terpukau melihat siapa yang bertandang ke rumahnya. Sekilas bertatapan, pria itu selintas mengenal wajah pria berseragam yang mendekatinya itu.
“Sabni?” tanya pria itu ragu-ragu.

“Bukan, tapi Kapten Sabni. Saya datang kemari untuk meminang putrimu untuk putraku.”
“Ya, Anda Sabni, yang dulu sekolah di SMA Budi Pekerti, kan?” tanya pria itu lagi.
“Betul. Jadi Anda juga dulu bersekolah di sana?” tanya Pak Kapten.

Pria itu mengangguk. Keduanya lalu berangkulan, masuk ke dalam rumah diikuti oleh Sanib dan beberapa orang tentara pembawa perlengkapan lamaran. Di dalam rumah, setelah kedua kawan lama itu saling bercerita mengenang masa lalu, Pak Kapten memulai mengutarakan maksud kedatangannya. Sanib harap-harap cemas dan deg-degan untuk bertemu dengan sosok Sabina.

Gadis itu keluar membawakan makanan dan minuman suguhan. Betul-betul seperti yang diharapkan oleh Sanib. Sanib merasa kali ini dia benar-benar jatuh cinta.

Orangtua Sabina kemudian menyeret putrinya untuk masuk ke dalam kamar.
“Nak. Itu teman Papa yang datang melamar. Papa sarankan kamu menerima lamarannya. Pertama, ayahnya kepala koramil sekaligus teman Papa. Kedua, anaknya juga kelihatannya baik dan cukup bisa diandalkan. Sekilas, Papa yakin dia bisa menjadi suami yang baik buatmu.”

“Tapi, Papa …” Sabina ingin membantah.

“Tolong sekali ini saja turuti permintaan Papa. Papa ingin kamu menikah dengan dia, demi Papa. Papa tidak ingin menanggung malu karena kamu menolak lamarannya. Kamu tahu sendiri, Papa mengidap penyakit ginjal, kencing manis, saluran empedu, TBC, dan darah tinggi.

“Tapi, Papa, aku sudah …” lagi-lagi Sabina ingin membantah.

“Sudahlah, sudah berkali-kali kamu menolak orang-orang yang sudah Papa pilihkan kepadamu. Tapi kali ini, tolong hargai Papa sebagai orangtuamu.” Papa Sabina mulai naik darah.

Dan Sabina pun akhirnya menerima pinangan Sanib. Sanib sumringah bukan main. Dan acara pertunangan pun lekas dimulai. Tanggal pernikahan pun ditetapkan sudah. Tidak sampai menunggu bulan baru.
“Supersemar. Surat pernikahan sebelas Maret,” kata Pak Kapten dengan bangganya.

“Oke, karena kamu sudah menjadi tunanganku, maka kamu harus mematuhi syarat-syarat dariku. Celana panjang, haram; harus pakai rok atau baju kurung. Pergi-pergi tanpa izinku, haram; dekat-dekat dengan lelaki lain, haram. Papa saya akan menyebarkan mata-matanya di sepenjuru kota untuk mengawasi.“ Sanib mengatakan persyaratan yang dimintanya. “Ini saya serahkan cincin pertunangan dan uang belanja, juga perlengkapan lainnya. Kalau ada kebutuhan lain yang harus saya penuhi, tinggal bilang saja.” Sanib mengakhirinya dengan senyuman tak kalah bangga dengan papanya.

“Baiklah, semoga ikatan pertunangan ini bisa kukuh dan pernikahan putra-putri kita nanti berjalan dengan lancar,” ujar orangtua Sabina.

“Oke. Kami pulang dulu. Saya titip Sabina. Tolong jaga dia sebaik-baiknya untuk anak saya,” balas Pak Kapten.

“Tentu. Saya sangat senang, ketemu kawan lama sekaligus calon besan,” kata orangtua Sabina.
Sanib dan Pak Kapten pun keluar dari rumah itu. Di ambang pintu, Sanib berbalik dan menatap Sabina, kedua matanya berkedip-kedip seolah merayu gadis itu. Sabina hanya membalas dengan senyuman sesaat kemudian tertunduk lesu, seolah kepalanya terlihat terlalu berat untuk batang lehernya, entah apa yang ada di dalam kepalanya itu.

“Ini yang Papa tunggu-tunggu dari dulu. Kamu akan menikah dengan seseorang yang sepadan denganmu, dan seseorang yang Papa pikir sangat layak untuk menjadi suamimu. Kamu pasti akan bahagia dengan pernikahan ini,” ujar Papa Sabina selepas Sanib dan papanya pergi.

“Tapi, Papa …” Sabina hendak membantah.

“Sudahlah, Nak. Papa lihat, Sanib itu orangnya baik dan agamanya juga baik. Masih ada waktu satu bulan bagi kalian untuk saling mengenal. Papa yakin, kalian akan cocok.”

“Tapi, Papa …” lagi-lagi Sabina tidak bisa meneruskan ucapannya, menyadari bahwa papanya sudah menunjukkan tanda-tanda akan kembali naik darah.

Kabar pertunangan itu pun segera tersiar luas ke sepenjuru kota. Orang-orang membicarakan keberuntungan Sabina yang segera akan menjadi istri dari Sanib, putra satu-satunya kepala Koramil; dan keberuntungan Sanib, yang akan segera memperistri kembang desa yang pintar dan cantik jelita tersebut.

Di setiap persimpangan kota, di terminal-terminal, di pasar-pasar, Pak Kapten telah menempatkan anak buahnya untuk mengawasi, berjaga-jaga agar Sabina tidak sampai keluar kota. Sebaliknya, Sanib malah pergi ke desa terpencil di luar pulau karena mendapat tugas dari kantornya untuk mendirikan cabang ormas di sana. Bahkan, pada tanggal pernikahan yang telah ditetapkan pun, Sanib tidak mengambil cuti. Dia hanya memanfaatkan libur mingguannya. Sabina lemas mengetahui ini, bagaimana tidak, untuk peristiwa sebesar dan sepenting pernikahan, calon suaminya itu lebih mementingkan pekerjaannya daripada istrinya sendiri.

Hari pernikahan pun tiba. Iring-iringan kendaraan militer keluar dari markas koramil menuju kediaman Sabina. Dengan baju pengantin yang necis dan elegan Sanib turun dari mobil pengantin dan melangkah memasuki kediaman Sabina, kemudian langsung duduk di depan meja penghulu. Sanib menebarkan senyumnya kepada orang-orang yang duduk di sekelilingnya. Jenggotnya berkedut-kedut gelisah menunggu Sabina yang sedang dirias di dalam kamar pengantin.

Hampir satu jam berlalu semenjak kedatangan Sanib dan rombongan, tetapi Sabina tidak kunjung keluar dari kamar pengantin, padahal sebelumnya penata rias bilang bahwa riasan Sabina sudah selesai. Pintu kamar Sabina tertutup rapat. Hadirin mulai gelisah. Seseorang mengetuk pintu kamar itu berulang-ulang, tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Dengan panik beberapa orang mendobrak pintu kamar Sabina.

Kelak, semua orang yang hadir di pernikahan itu, dan semua orang yang mendapat cerita dari orang yang hadir di pernikahan itu, tahu bahwa pada pagi itu selepas pintu didobrak, orang-orang menyaksikan Sabina terbujur kaku dalam balutan baju pengantinnya, mendekap satu bingkai foto. Dalam foto itu terlihat Sabina yang mengenakan baju kebaya biru duduk berdampingan dengan bahagia dengan seorang lelaki berkemeja batik. Foto itu entah diambil di mana dan dalam momen apa, tidak ada orang yang tahu. Dan lelaki dalam foto itu, setelah pengusutan beberapa hari setelahnya, diketahui bernama Sanibudin, kekasih Sabina. Sementara itu, Sanib, dalam kekalutan dan demi menutupi rasa malunya, merampas salah satu senapan milik seorang tentara pengiringnya dan memberondongkan peluru ke segala arah, menewaskan Pak Kapten dan puluhan hadirin, kemudian menodongkan senapan itu ke dalam mulutnya sendiri.
-----
Adi Toha, lahir di Pekalongan. Novelnya berjudul Valharald. Buku kumpulan cerpennya berjudul Kalarupa dan Dongeng untuk Allea.

 Sumber: Kompas, 16 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar