Cerpen Venny Mandasari
Imar tiba-tiba berjalan menghampiriku, saat aku duduk membaca koran pagi di teras depan rumah.
“Mau kemana kau Mar, pagi-pagi sudah cantik?” tegurku basa-basi. Tidak dihiraukannya pertanyaanku. Dia hanya diam, sampai akhirnya mendekatiku. Rumah Imar tepat di depan rumahku.
“He, kau lihat si Nora pagi ini?” Suara Imar berbisik di samping telingaku. Nora adalah tetangga sebelahku tapi jarang sekali aku memperhatikannya. Aku bukan orang yang peduli dengan urusan orang lain. Aku menggeleng sambil kulipat lembaran surat kabar yang kupegang, lalu kuperhatikan Imar dengan raut yang serius.
“Kenapa dia?” tanyaku penasaran. Kelihatannya ada sesuatu yang terjadi dengan Nora.
“Dini hari jam tiga aku lihat dia baru pulang sama suaminya,” bisik Imar.
“O, kukira sama laki-laki lain. Biarkan sajalah kalau memang sama suaminya,” jawabku enteng.
“Ih, kau ini tak tahu ya, mereka kemana?” Imar mencibir. “Mm.., akulah yang tahu mereka itu ke mana,” lanjutnya membanggakan diri.
“Mana pula aku tanya mereka setiap saat, mau ke mana,” gumamku. “Apa yang kau tahu?” tanyaku kemudian, yang sebenarnya tidak terlalu berminat. Kalau sudah begini aku sudah tahu arah pembicaraanya. Apalagi kalau bukan gosip.
“Aku tahu semua tentang mereka.” Dia tetap berbisik di sampingku tanpa menambah volume suaranya.
“O..,” jawabku singkat. Aku tidak ingin memperpanjang.
“Kenapa cuma o? Kau sudah tahu tentang mereka?” Dia merasa tidak puas dengan jawabanku.
Aku menggeleng polos.
“Ini ya, kuceritakan,” katanya semakin bersemangat.
Niatku tadi membaca berita di surat kabar. Mengapa jadinya mendengarkan gosip? Aku tersenyum getir padanya.
Imar semakin mendekati mukanya padaku. Kurasa dia belum menyikat giginya. Bau mulutnya mengganggu indera penciumanku.
“Suamiku kan sudah lama berteman dekat dengan suaminya.” Imar memberi jeda sejenak. “Si Nora itu pecandu sebenarnya. Dia juga PSK.”
Mataku membulat tidak percaya, tapi aku tetap diam, tidak ingin berkomentar.
“Dulunya, Nora dan Faisal itu bertemu di Night club. Nah, awalnya si Faisal ‘memakai’ si Nora. Karena cintanya si Faisal sama Nora, dilamarlah dia jadi istri. Mereka pun menikah tapi tetap saja Nora jadi PSK, makanya mereka sering pergi sore pulang pagi. Mereka ke Night club dan si Faisal malah menemani Nora menjual diri.”
Aku tercengang mendengar cerita Imar, tidak percaya ada suami yang seperti itu. Apalagi Faisal, yang kulihat sangat pendiam dan kelihatan romantis pada Nora. Mereka jarang sekali bertengkar meskipun belum dianugerahi seorang anak setelah empat tahun menikah.
“Mereka juga sama-sama pemakai,” sambung Imar.
“Kerja apa suaminya, Mar?” Aku cuma ingin memastikan. Nora pernah bilang, kalau suaminya bekerja di PLN, tukang pasang listrik. Kulihat nyatanya tidak pernah dia pergi bekerja.
“Itulah, suaminya itu ‘pengedar’. Mereka sama-sama ‘pemakai’. Kalau si Nora sedang melayani tamu, Faisal menjual sabunya, makanya si Faisal tidak perlu bekerja. Sudah banyak uang mereka dari sana. Dari si Nora jual diri, dari si Faisal jual sabu. Ha! Sudah banyak kali itu. Ngaku si Nora saja suaminya tukang listrik. Padahal mana pula!”
Aku mengangguk-angguk kecil, sambil memikirkan dosaku mendengarkan ceritanya yang belum tentu benar, dan memikirkan bau mulutnya yang semakin tercium. Dari tadi aku menahan nafas, lalu menjauh sejenak untuk menghirup udara.
“Sudahlah dulu ya, Mar. Aku mau belanja dulu ke kedai Bu Minah. Takutku habis pula nanti sayurnya.” Kupotong sebelum dia melanjutkan ceritanya. Tidak tahan rasanya mencium aroma mulut tidak sedap Imar dari tadi.
“O, iyalah. Aku juga mau belanja. Kemarin aku masak jengkol, kugulai. Enak kali kurasa. Mau kubeli lagi jengkol untuk lauk hari ini.”
Aih, ternyata makan jengkol dia kemarin. Pantaslah.., rutukku dalam hati. Aku hanya nyengir di depannya.
Saat mengenakan sandal ingin pulang, Imar menunjuk Nora dengan mulutnya. Aku melihat ke arah Nora. Dia sedang membuka pintu pagarnya. Wajahnya tampak baru bangun tidur. Dia tersenyum ramah padaku dan juga Imar.
“Baru bangun, Nor? Mau ke mana? Belanja sama, yuk?” tegur Imar sok ramah. Padahal baru saja dia menceritakan Nora. Munafik!
“Iya, ke kedai Minah saja,” jawab Nora. “Kakak mau ke Minah juga?” lanjutnya pada Imar.
“Iya.”
“Ayolah, sama.”
“Zana, ayo,” ajak Imar padaku.
“Duluan sajalah, aku menyusul,” jawabku setengah berteriak. Ujung-ujungnya aku tahu kalau pergi sama mereka pasti menggosipkan orang.
Di kedai Bu Amsah, seperti yang kuduga, mereka menggosip. Dari masalah artis Luna Maya dan Ariel Peterpan, merambat ke masalah tetangga. Masalah sepele. Dewi, tetangga kami yang disebut pelit, mengenakan baju baru. Mereka heran, karena biasanya kalau ada tukang kredit dia tidak mau membelinya. Padahal baju Dewi tidak ada yang bagus. Menurut mereka Dewi pelit, berhitung sama uang. Kalau menurutku, Dewi begitu karena dia hemat. Dia tahu susahnya mencari duit. Apalagi dia cuma pegawai swasta di sebuah pabrik.
Kulihat sekarang, Imar dan Nora sangat dekat.
“Kakak mau ikan apa? Ambillah, biar aku yang bayar. Aku minta sepiring nanti ya, Kak. Aku malas masak ikan. Masak sayur saja aku.” Dari jauh kudengar Nora bicara pada Imar.
Saat membayar pada Minah, Imar kekurangan uang. Dilihatnya Nora.
“Nor, kasihlah uang sepuluhmu dulu. Uangku kurang. Nanti k ubayar.”
Nora dengan wajah tulus mengeluarkan uang dari dompetnya, memberikannya pada Imar. Padahal uang ikan satu kilo sudah dibayarkan Nora. Aku menggeleng kepala melihatnya.
Siang itu aku sedang mengayun anakku yang akan tidur. Nora datang dari pintu belakang karena pintu depan kukunci. Tanpa mengucap salam dia langsung masuk ke ruang tengah, tempatku mengayun. Aku terkejut dengan kehadirannya. Di rumah cuma ada aku dan anakku kalau siang, suamiku pergi bekerja.
“Sepi kali, Kak?” sapa Nora, basa-basi.
“Ya, beginilah memang kalau pagi sampai sore. Cuma kami berdua di rumah,” balasku sekenanya.
“Kak, Kakak tahu tidak kalau si Imar itu tukang hutang?” Tiba-tiba Nora berkata. Aku hanya menjawab dengan senyum tipis sambil menggeleng. Masih tetap sambil mengayun anakku yang belum juga tidur.
“Hati-hati Kakak sama dia. Kakak lihat tadi kan, waktu di tempat Minah? Sudah aku bayar ikannya, minjam uang pula lagi sepuluh. Katanya sampai rumah mau dibayar. Padahal mana ada!” cerita Nora.
“Mungkin nanti,” potongku berpikir positif. Anakku tidak jadi tidur mendengar suara Nora.
“Alah, mana ada, Kak. Tahu kalilah aku, Kak. Sudah lama aku berkawan sama dia. Katanya saja hutang, tapi tak pernah dibayarnya. Tak Kakak lihat hutang koperasinya saja sudah menumpuk. Satu hari ada kurasa lima koperasi yang menagih. Tadi saja, Kak. Kakak tahu berapa ikan yang dikasihnya sama aku?”
Aku menggeleng polos.
“Tiga ekor, satu piring. Itu pun kecil-kecil. Padahal aku belikan satu kilo,” umpat Nora.
“Tapi kau yang kudengar minta sepiring, tadi,” kataku mengingat pembicaraan mereka tadi.
“Iya, maksudku jangan sampailah cuma tiga ekor sepiring. Setengah kilo juga bisa sepiring.”
Dalam hati aku tertawa mendengar ucapannya.
“Kakak tahu kenapa suaminya jarang pulang, Kak?” lanjut Imar menuju cerita selanjutnya.
“Main judi.” Kali ini aku menjawab karena Imar juga pernah mengaku begitu padaku.
“Iya, tapi dia main perempuan juga, Kak. Apalagi kalau menang. Pergi dia ke Night club. Mabuk-mabuk dan tidur sama perempuan. Ish, kok adalah suami seperti itu ya? Untung saja suamiku tak seperti itu.”
“Night club? Dari mana kau tahu?” Mataku menyelidik menatapnya. Berarti benar cerita Imar tentang Nora.
“Suamikulah yang bilang, Kak. Suaminya kan teman dekat suamiku,” jawabnya santai.
“Kalau suamimu pernah ke Night club?” tanyaku lagi.
“Tidaklah, Kak. Mana mungkin. Suaminya cerita sama suamiku.”
“Terus, dari mana kalian pulang pagi beberapa hari ini?” tanyaku asal. Aku pun tidak sadar kenapa jadi banyak bertanya dengannya.
“O, itu. Saudaraku sedang sakit keras di rumah sakit, Kak. Jadi kami yang menjaganya.” Jawaban Nora begitu lancar tanpa memerlukan jeda untuk berpikir. Aku jadi bingung memilah mana yang benar dan yang salah.
Beberapa detik kemudian terdengar suara jejak kaki dari samping rumahku. Tidak lama mucullah wajah Imar.
“Ngapain kalian?” sapanya langsung, yang juga tanpa mengucap salam. Sama seperti Nora tadi.
“Tak ada. Ini, menemani si Zana tidurkan anaknya,” jawab Nora. Wajahnya tiba-tiba penuh senyum pada Imar. Padahal baru saja dia menceritakan kejelekan Imar. Aku terus mengayun anakku, tidak peduli dengan kemunafikan mereka masing-masing.“Ma, jalan-jalan yuk. Sudah lama tidak jalan-jalan sama Aira,” ajak suamiku suatu malam.
“Sudah malam, Pa. Nanti Aira masuk angin. Kalau Papa libur saja kita jalan-jalan,” tolakku.
“Ayolah, Ma. Kita kan pakai mobil. Dari mana jalannya masuk angin?”
Akhirnya aku mengalah. Kami pergi.
Di perempatan jalan, kulihat suami Imar berjalan merangkul perempuan berpakaian seksi. Mereka menuju hotel. Kusuruh suamiku mendekati mereka. Untung saja kaca mobil kami dari riben. Jadi tidak kelihatan dari luar dan aku bisa leluasa melihatnya.
Ketika sudah dekat dan tampak jelas siapa perempuan yang bersama suami Imar, mataku melotot melihatnya.
“Nora?!” jeritku tak terdengar oleh siapa pun.
Pernah dimuat di Analisa Medan.
Sumber: Kompas, 17 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar