Pages - Menu

15 Februari 2012

G e r b o n g

Cerpen Nancy Meinintha Brahmana

Entah sudah berapa lama saya duduk di halte stasiun kereta itu. Pegawai-pegawai mulai melirik namun tidak ada yang berani menyapa. Hari semakin sore dan peron semakin berkabut namun saya tetap menunggu.

Bukan salah saya apabila mempunyai kelebihan untuk mengetahui kematian seseorang. Saya sendiri sudah gerah dengan keadaan ini. Saya seakan mampu melihat guratan mata yang aneh itu tidak berapa lama lagi akan membawa pergi segala rajutan usia yang sudah dipintal selama ini. Bagaimana mungkin anak serapuh ini, yang berjalanpun harus di topang dengan tongkat dapat mengetahui hal-hal yang luar biasa? Apakah karena keseriusan hidup dan berpikir mempengaruhi otaknya bekerja sehingga mampu menembus rahasia waktu?


Saya semakin takut untuk tertidur sebab mimpi-mimpi itu begitu mempengaruhi dan membuat batin tersiksa karena dia menjadi hidup pada waktunya, nyata senyatanya dan saya hanya mampu terpekur dan menyesali diri. Mengapa saya, apa yang mampu saya lakukan?

Peron itu semakin berkabut, namun saya tidak perduli. Saya tidak lapar dan tidak ingin pulang. Dari kejauhan terdengar suara dengusan kereta api terakhir yang membawa suara semakin sunyi dan diam, kabut menemani malam itu.

Dua tahun lalu saya melihat guratan aneh itu pada mata abah. Abah baru berumur enam puluh tiga tahun kala itu namun keletihan dan perjuangan hidup tiba-tiba menunjukkan wajah yang tua pada raut mukanya. Saya kaget, abah tidak seperti ini sebelumnya. Saya semakin tercekat melihat lingkaran itu ada di matanya. Abah akan meninggal. Mulai detik itu setidaknya saya yang rapuh ini berusaha menyenangkan hati abah dengan perilaku yang manis. Kesedihan ini berlanjut ketika abah pamit agar kembali ke kampung dengan alasan lebih tenang, adem ayem, tentrem dan sebagainya. Hati saya ciut. Bagaimana nanti kalau abah meninggal dan saya tidak berada di sisinya? Hati saya kacau luar biasa. Namun abah menjadi seperti seorang anak kecil yang merengek meminta sesuatu agar dikabulkan. Akhirnya keluarga menyetujui. Saya kesal, mentang-mentang rapuh suara saya tidak didengarkan.

Tahun lalu, hari itu kala istirahat siang, saya melompat dari tempat tidur. Saya bermimpi abah didorong di sebuah lorong, hanya itu, lalu mimpipun lenyap. Saya panik lalu memutar nomor telepon rumah di kampung.

"mak, abah sehat?"
"sudah baikan"
"Maksudnya?"
"Iya, seminggu yang lalu di ugd, sekarang di rumah."

Kurang ajar! Tidak ada yang memberitahu saya mengenai ini. Saya dianggap apa?

"Saya bermimpi, mak"
"Mimpi apa"
"Abah didorong di rumah sakit"
"Iya."

Saya menutup telepon dengan pedih. Saya tahu hari-hari tidak akan lama lagi. Yang dapat saya perbuat adalah menelponnya setiap hari dan menanyakan kesehatan, berbicara padanya dan menunjukkan rasa sayang serta hormat saya kepadanya. Sebelum abah pergi saya telah mempersiapkan tangisan perpisahan jauh sebelumnya.

Inilah tahun kedua. Pendapatan saya dari merenda baju yang tidak seberapa saya kumpulkan dan hari ini saya berniat mengirimnya buat abah. Uang tidak seberapa, namun cinta dan sayang seorang anak buat orang tuanya tidak mampu diukur oleh uang seperti kasih sayang orang tua terhadap anaknya. Jam sebelas siang.

Dering telepon membangkitkan saya dari tempat tidur. Baru saja saya terlelap siang itu.

"War, sehat?" suara abang saya.
"Sehat."
"Abah pergi."
"Ke mana?"
"Ke surga."
"Meninggal?"
"Iya."
"Jam berapa?"
"Barusan."
"Tapi saya barusan transfer uang buatnya!"
"Yah, nambah-nambahi untuk uang penguburan."
"Saya tidak akan pulang!"

Siang menjadi jungkir balik. Saya tidak akan pulang. Bagaimana saya sanggup melihat wajah abah? Saya bisa histeris. Ketidakinginan saya pulang terdengar di telinga keluarga besar. Mereka membujuk agar saya pulang. Baiklah, saya pulang. Sebelumnya saya perteguh iman berdoa tiada henti.

Ini bukan peron kereta, namun bandara. Banyak penjemput kami di antara para penjemput lainnya. Saya menyiapkan hati sesungguh-sungguhnya. Rumah terang, banyak orang. Emak menyambut kami dalam tangis. Saya berdiri melihat abah dan tersenyum.

"Ssst.., emak, lihat abah ganteng ya, dia tersenyum!"

Emak mengangguk. saya duduk di sebelah raga yang ruhnya telah pergi itu, melipat tangan saya di atas tangan abah, menutup mata dan berdoa. Ketenangan saya luar biasa. Saya tersenyum pada banyak orang dan keluarga di rumah itu, menghibur emak dan mencium pipinya, mengelus dadanya dan menemaninya bernyanyi sembari memeluknya dengan hangat dari samping.

Peti akan ditutup. Banyak yang menyiram abah dengan bunga di dalam tangisan yang disertai nyanyian perpisahan. Saya bersandar di pilar rumah tua itu. Saya tidak mampu menangis.

Peron itu kini sudah semakin gelap dan sunyi. Beberapa gelandangan tidur di bangku-bangku yang kosong. Mungkin saya salah satu dari gelandangan itu, tiada uang dan tiada makanan. Kabut memberi saya waktu untuk bercengkerama dengan malam. Hidup begitu singkat dan kabut yang datang bukanlah kabut yang kemaren. Angka pada jam yang berdetak adalah sama, namun waktu tidaklah sama. Tiap detik adalah berbeda, pemikiran bertumbuh, usia bertambah. Saya menanti gerbong itu, sebentar lagi datang dan kami akan pergi bersama kabut malam.

16 Januari 2012

Sumber: Kompas, 14 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar