Oleh : Romi Febriyanto Saputro*
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam survei yang melansir tren penegakan hukum kasus korupsi menyebutkan, tersangka berlatar belakang pegawai negeri sipil (PNS) menempati urutan teratas selama tahun 2011. Jumlah tersangka PNS mencapai 239 orang. Diikuti oleh direktur atau pimpinan perusahaan swasta sebanyak 190 orang serta anggota DPR/DPRD sebanyak 99 orang. Tingginya angka korupsi PNS konsisten dengan tahun 2010, yakni sebanyak 336 orang.
Koordinator Divisi Investigasi ICW Agus Sunaryanto mengatakan, masih tingginya korupsi PNS disebabkan kegagalan badan-badan pengawas internal pemerintah pusat atau daerah seperti Bawesda, Irjen dalam mengantisipasi berbagai penyimpangan. Kebijakan renumerasi dalam kerangka reformasi birokrasi ternyata masih belum efektif mereduksi berbagai perilaku korup PNS.
Korupsi menurut bahasa Latin yaitu corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Akar korupsi yang paling kuat memang berada di lembaga birokrasi. Birokrasi tak ubahnya mesin korupsi yang tak akan pernah berhenti memproduksi koruptor. Selama ini yang banyak dicurigai melakukan tindak pidana korupsi adalah PNS golongan tua alias para pejabat dengan eselon yang relatif tinggi. Kini, para koruptor muda sudah banyak belajar dari para koruptor tua tentang ilmu merampok uang negara.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keungan (PPATK) menyatakan ada 50 persen pegawai negeri sipil (PNS) muda yang kaya tapi korupsi. Indikator kaya menurut PPATK adalah bergaya hidup mewah, mempunyai barang mewah, dan memiliki rekening tidak wajar. Modus korupsi dilakukan dengan mengalirkan dana yang diindikasikan dari penyelenggaraan negara berupa proyek fiktif, gratifikasi, dan suap kepada keluarga
Dalam ilmu psikologi kita mengenal teori behavioral atau lebih dikenal dengan teori belajar. Teori ini memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Para PNS muda ketika datang pertama kali di sarang koruptor tentu tidak pernah punya pikiran sedikit pun untuk mencuri uang negara. Pengalaman dan interaksi dengan sistem yang korup membuat pertahanan diri mereka runtuh. Korupsi yang dipraktikkan secara teroraganisir membuat abdi negara muda ini tanpa disadari menjadi bagian dari kejahatan terhadap negara.
Tak sendiri
Para PNS muda tidak mungkin melakukan praktik kotor ini sendiri. Mereka hanya menjadi kaki tangan para koruptor yang telah berpengalaman puluhan tahun menghindari jerat hukum. Birokrasi adalah sistem, tidak mungkin seseorang tanpa menduduki jabatan penting tiba-tiba menjadi sasaran suap dan gratifikasi. Semua tentu ada hirierkinya. Menjadi tugas KPK untuk menangkap aktor intelektual dibalik temuan ini.
Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, seperti sebuah meja lilin yang siap dilukis oleh pengalaman. Menurut John Locke(1632-1704), salah satu tokoh empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan. Idea dan pengetahuan adalah produk dari pengalaman. Secara psikologis, perilaku PNS muda ini ditentukan “warna mental” selama menjadi kaki tangan pejabat korup.
Tiga hukum
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “connectionism”. Thorndike menemukan hukum-hukum. Pertama, hukum kesiapan (Law of Readiness). Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
Dorongan untuk melakukan korupsi dalam diri PNS muda akan semakin menguat tatkala mereka memiliki “bibit-bibit” korupsi yang dalam istilah Sigmund Freud disebut dengan “Id”. Id merupakan libido murni atau energi psikis yang bersifat irasional. Id merupakan sebuah keinginan yang dituntun oleh prinsip kenikmatan dan berusaha untuk memuaskan kebutuhan ini. Keinginan untuk menjadi kaya dengan cara instan tetapi bisa selalu lolos dari jerat hukum.
Kedua, hukum latihan. Semakin sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat. Semakin sering PNS muda dilatih untuk korupsi, maka mereka akan semakin terampil menguasai 1000 jurus korupsi tanpa ketahuan. Bahkan bisa jadi kemampuan dan kesaktian sang murid kini melebihi sang guru. Mereka telah menjelma menjadi monster koruptor yang sakti mandraguna.
Ketiga, hukum akibat. Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Selama ini akibat korupsi selalu menyenangkan bagi pelakunya. Bergelimang harta dan kemewahan tatkala belum ditangkap KPK, dan setelah ditangkap pun mereka masih punya peluang untuk hidup mewah di penjara. Ketika dipenjara pun masih punya peluang untuk mendapatkan remisi.
Hal ini tentu akan semakin menyuburkan praktik korupsi oleh PNS. Koruptor muda akan semakin merasakan nikmatnya korupsi seperti kisah Bakir dalam novel berjudul Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer. Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra.
Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir yang melakukan korupsi. Awalnya, ia melakukan korupsi karena desakan ekonomi keluarga, namun lama kelamaan ia semakin rajin melakukan korupsi sehingga ia menjadi kaya raya. Ia terjerumus ke dalam pergaulan tingkat atas yang penuh kepalsuan dan kemewahan tanpa makna, yang membuat jiwanya kian hampa. Pada akhirnya, segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam penjara.
Dalam karyanya ini Pramoedya menggambarkan dengan jeli dalam gaya satir yang memikat bagaimana penyakit korupsi bisa mewabah secara luas menjadi kebiasaan sosial. Setelah nyaris setengah abad, ternyata novel ini masih sangat relevan dengan problema sosial-politik Indonesia dewasa ini.
Pramoedya menulis cerita ini di tahun 1953—hanya delapan tahun setelah kemerdekaan republik ini diproklamasikan—dan kini, di awal abad 21, kita masih saja menghadapi persoalan serupa: para pejabat korup kian menggerogoti uang negara dan rakyat banyak mesti menanggung akibatnya. Seakan-akan, korupsi tak pernah mati.
Sumber : Harian Republika, 13 Februari 2012
*Romi Febriyanto Saputro, S.IP adalah Kasi Pembinaan, Penelitian dan Pengembangan Perpustakaan (Binalitbang) di Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Sragen. Juara Pertama Lomba Penulisan Artikel Tentang Kepustakwanan Indonesia Tahun 2008 yang diselenggarakan oleh Perpusnas RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar