Judul Buku : Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia
Penulis : Dr. Ainur Rafiq al-Amin
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : xxiv + 228 hlm.
Peresensi : Joko Wahyono*
“HTI pantas mendapat piala sebagai penghayal terbesar abad ini, karena proyek palsunya mewujudkan negara Islam Indonesia”. Pernyataan ini bukan suatu bentuk infiltrasi ataupun postulasi tanpa dasar teori yang secara emosional-ideologis ditujukan untuk memprovokasi dan melemahkan sebuah gerakan (Islam) tertentu (baca: Hizbut Tahrir Indonesia/HTI). Melainkan didasarkan pada riset yang mendalam melalui survei dari berbagai literatur, pengamatan serta keterlibatan secara langsung sejak tahun 1990-an. Meskipun pernah terlibat sebagai aktivis (hizbiyyin), obyektivits dan netralitas hasil temuan serta argumen yang mendasarinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan moral. Adalah Ainur Rafiq al-Amin yang berhasil membongkar secara logis-filosofis mengenai konsep negara Islam versi Hizbut Tahrir, konsep yang juga dikenal dengan khilafah atau al-Daulah al-Islamiyah.
Di tengah hiruk pikuk proses demokratisasi beserta pernak perniknya, gerakan-gerakan militan Islam semakin menancapkan kuku pengaruhnya. Mereka aktif berdemonstrasi menentang rezim yang berkuasa dan menuntut pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia. Lebih dari itu, untuk melancarkan aksinya, mereka tak segan melakukan razia-razia dan menggelar aksi kekerasan atas nama Jihad. Khilafah dan negara Islam menjadi keniscayaan di tengah carut marutnya kondisi negara yang semakin hari tak kunjung memperlihatkan keberpihakannya kepada rakyat. Wacana negara Islam (khilafah) kemudian beresonansi secara luas di tangah kegagalan rezim yang berkuasa dalam mewujudkan janji-janji menghadirkan keadilan, akses ekonomi politik yang merata bagi kesejahteraan masyarakat. Alih-alih, mereka terkubur dalam kubangan lumpur korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga nasib jutaan rakyat menjadi bias tak menentu.
Dalam konteks inilah sistem khilafah dan penerapan syari’at Islam diperjuangkan oleh HTI. Sistem ini ditawarkan untuk menggeser, menggantikan sistem demokrasi yang dianggap sekuler, rawan dimanipulasi dan disalahgunakan oleh segelintir elite demi kepentingan rezim yang berkuasa. Autokrasi dinilai sebagai sistem yang bersifat sakral dan transendental. Dalam logika HTI, sakralitas dan transendensi semacam itu menutup kemungkinan manipulasi kekuasaan. Adanya campur tangan Tuhan diharapkan untuk membersihkan sistem kekuasaan politik sekuler yang manipulatif. Dengan otoritas dan intervensi Tuhan ini pula, dipercaya peluang penyalahgunaan dan manipulasi kekuasaan menjadi berkurang.
Kehadiran buku yang diberi judul Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia dihadapan pembaca ini menjadi signifikan dalam konteks untuk menjelaskan fenomena di atas. Melalui analisisnya, penulis mengajak kepada pembaca untuk menelusuri secara epistemologis dan ideologis mengenai konsep revitalisasi khilafah dan penerapan syari’at Islam yang sampai saat ini masih menjadi diskursus dalam percaturan politik di Indonesia. Tidak hanya melengkapi literatur tentang HTI, penulis menawarkan pembacaan secara kritis melalui upaya pembongkaran inkonsistensi dan inkohensi di balik wacana tersebut dengan menggunakan berbagai pendekatan dan analisis.
Ditopang pengalaman dan persentuhannya yang intens dengan HTI sebagai mantan aktivisnya, penulis mencurigai bahkan berani bertaruh bahwa gerakan khilafah yang diklaim sebagai kewajiban agama sebenarnya merupakan cermin dari proses komodifikasi dan politisasi agama (Islam) dalam proses sosial. Secara sederhana, ia bisa dibaca sebagai gerak dinamika masyarakat muslim yang tengah menghadapi arus deras perubahan sosial akibat saluran demokrasi tersumbat. Komunikasi antara rakyat untuk menuntut keadilan dan hak untuk mendapatkan kehidupan bermartabat dengan penguasa terbungkam oleh ambisi kuasa dan kemewahan. Dari perspektif Foucaultian, isu ini merupakan strategi wacana (discursive strategies) yang mengemuka dalam konteks relasi-relasi kuasa yang tidak berimbang dan manipulatif.
Sebab, pada hakikatnya konsep negara Islam khilafah yang given dan applicated tidak ditemukan pembenarannya, baik secara normatif, filosofis, historis dan sosial. Tidak dijumpai referensi normatif dan historis tentang kewajiban itu, sekalipun itu adalah Negara Madinah pada masa Nabi Muhammad saw dan Khulafa ar-Rasyidin yang diklaim oleh kalangan hizbiyyin sebagai model ideal negara Islam. Demikian pula dengan nash-nash agama tidak menyebutkan secara eksplisit dan transparan tentang hal itu, selain kewajiban menegakkan amr ma’ruf nahy munkar dengan cara-cara yang damai dan toleran. Pendek kata, angan-angan mendirikan khilafah saat ini tak lebih dari romantisme sejarah, interpretasi yang gegabah dan ahistoris, atau tak lebih dari proyek Islamisasi negara yang dibungkus oleh dalil-dalil agama untuk kepentingan politik-ekonomi.
Gerakan khalifah dan syari’at dari HTI tak lebih dari upaya untuk merajut kembali puing sisa-sisa peninggalan rezim patrimonial yang otoriter, korup dan menindas rakyat atas nama Tuhan. Selain itu, penulis juga menemukan terjadinya pergeseran strategi (displacement strategies) dari HT/HTI yang semula anti sistem demokrasi menuju sistem partisipasi – salah satunya – melalui keinginan untuk turut serta dalam pemilu. Pergeseran ini disinyalir sebagai strategi mereka untuk beradaptasi dengan konteks demokrasi di Indonesia. Tak pelak keinginan untuk berpartisipasi ke dalam sistem demokrasi modern ini berarti pengkhianatan terhadap doktrin revolusioner dari khilafah itu sendiri.
Buku ini memberikan cakrawala baru, rujukan dalam mengkaji khilafah versi HTI secara kritis, sehingga pembaca bisa bersikap lebih bijak dan tidak terjebak dalam kubangan romantisme sejarah belaka. Beberapa kesimpulan yang cukup mengejutkan dalam buku ini juga mengundang para pembaca untuk mendiskusikannya.
*Pecinta buku, tinggal di Jogja.
Sumber: Kompas, 17 Februari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar