Cerpen Odi Shalahuddin
Sebutir peluru, kerap disebut sebagai timah panas, kini tengah menggigil kedinginan. Ia terjatuh di sebuah sudut ruang di balik lemari. Sendirian. Bersatu dalam kegelapan. Bermain dengan debu-debu yang berebutan melekatkan diri padanya.
Pada kesunyian, terdengar hiruk-pikuk di atas. Di tempat semula ia tersimpan bersama kawan-kawan yang satu per satu pergi menunggu giliran. Berganti kawan-kawan baru. Ah, ia mendengar kisah dari sebutir peluru, entah siapa yang tengah bercerita dalam lelah. Tentang butiran-butiran proyektil peluru yang telah melesat, bukan pada sebuah pelatihan.
Apakah ada perang? Tanya sebutir peluru di sudut bawah yang tak bisa terjawab sendiri. Bila benar terjadi peperangan, maka para proyektil peluru akan merasa gagah untuk melesatkan diri dan menunjukkan jati dirinya yang mampu menembus dinding kulit manusia, menghujam daging-daging manusia dari para lawannya.
Kematian demi kematian dalam sebuah peperangan dari masing-masing pihak, menjadi pertanda perhitungan atas kemenangan ataupun kekalahan. Nyawa seakan menjadi hitungan angka-angka. Tapi, apakah benar memang ada perang? Tak mungkin, ia menjawab sendiri dalam gamang. Tiada desas-desus sebelumnya, dari mulut-mulut manusia ketika memainkan dan menghitung butiran-butiran peluru di gudang simpanan.
Ia pekakan pendengaran. Terlalu pikuk. Mungkin kawan-kawan lainnya juga sibuk bertanya, dan kawan-kawan yang baru datang juga berebutan saling bercerita. Melebihi pasar tradisional dengan beragam pedagang yang menawarkan dagangan.
Peluru itu, dengan proyektil runcing di ujungnya, terlapisi tembaga dengan warna kuning keemasan yang manis terlihat, semakin memaksakan diri untuk menangkap kisah di atas. Samar terdengar. ”Bukan, bukan perang. Tapi perang juga. Ah, bukan... itu namanya bukan perang,” sebuah peluru gagap mengungkapkan peristiwa.
”Lantas,”
”bukankah perang merupakan pertarungan meraih atau mempertahankan kemerdekaan? Mempertahankan kedaulatan dari pihak-pihak yang akan menyerang atau menggerogoti dari dalam. Sahabat-sahabat kita telah melesat bukan pada sosok-sosok yang memiliki peluru-peluru macam kita,” sahut peluru lainnya.
”Lantas?”
”Entahlah. Manusia memang aneh. Tampaknya mereka bersaudara. Mereka yang menolak sebuah proyek yang mengancam keberlangsungan hidup mereka,”
”Pasti ada provokator di balik ini semua,”
”Atau sang komandan salah memberi perintah,”
“Atau anak buah serentak salah kaprah,”
“Atau......?”
Tiba-tiba hening kembali. Sama dengan keheningan sang peluru yang berada di sudut bawah. Sebuah peluru manis yang jauh berbeda dengan peluru sebelum senjata api diciptakan. Bola logam atau bola batu untuk berburu. Peluru yang masih berbentuk bulat lebih sempurna pada periode tahun 500-800. dan mulai mengerucut bentuknya, hasil cipta Kapten John Norton dari Angkatan Darat Inggris pada tahun 1823 dan tersempurnakan hasil cipta William Greener pada tahun 1836. Percobaan demi percobaan yang semakin sempurna, yang terawali dengan ditemukannya peluru berselebung tembaga oleh MayorEduard Rubin di tahun 1882. Permukaan timah pada peluru yang ditembakkan dapat meleleh karena suhu panas dan gesekan dengan laras senapan. Karena tembaga memiliki titik lebur yang lebih tinggi dan lebih keras, peluru terselubung tembaga dapat ditembakkan dengan kecepatan yang lebih tinggi. Semakin waktu berjalan semakin sempurna saja, bentuk dan kekuatan peluru yang tercipta. (lihat sejarah peluru dan perkembangannya: http://www.berbagaihal.com/2011/06/sejarah-peluru.html)
”Atau..” ia mendesis sendiri. Teringat kisah-kisah kawannya, kumpulan peluru yang tercipta secara gelap ataupun tercuri dan jatuh di tangan-tangan manusia jahat yang bisa dengan mudah melesatkan proyektil peluru ke sosok-sosok manusia jahat juga kepada sosok-sosok yang sebenarnya tidak berurusan dengan dunia mereka. Sosok-sosok yang merasa menjadi penguasa dunia dan memainkan perputaran uang yang sangat dahsyat. Peluru-peluru yang menjadi senjata penjaga kestabilan kepentingan mereka.
”Ah, tidak mungkin. Ketika kawan-kawan kembali, berdiam di tempat ini, maka keamanan-lah yang terutama, demi menjaga sebuah bangsa dan negara. Tapi apa arti kisah dari kawan-kawan di atas sana?” tak habis pertanyaan menggantung menjadikan kepenasaran yang teramat sangat.
Ah, sang peluru teringat, ketika ia pernah terbawa oleh seorang perwira, ia pernah menyaksikan sebuah senjata tanpa peluru dengan suara letusan untuk membuat kejutan yang bisa digunakan untuk memecah konsentrasi aksi masa tanpa harus merebut nyawa. Atau teringat perbincangan yang ia dengar tentang peluru karet.
Ya, peluru karet, peluru yang dirancang tidak untuk mematikan kecuali digunakan pada jarak dekat atau mengenai bagian vital seperti kepala. Peluru-peluru jenis inilah yang digunakan oleh tentara Israel ketika menembaki aksi masa orang Palestina atau yang dilakukan tentara Bolivia kepada para petani yang melakukan aksi protes perusakan tanaman koka. Ya, peluru jenis ini yang digunakan oleh Amerika untuk meredam aksi demonstra anti perang dan hak-hak sipil pada tahun 1960-an. Namun, setelah beberapa kematian akibat peluru karet, bukankah penggunaannya sudah ditinjau ulang? (lihat tentang ini di SINI http://www.slate.com/articles/news_and_politics/explainer/2000/10/what_are_rubber_bullets.html)
Lantas, peristiwa macam apakah, sehingga kawan-kawan yang sejenis dengannya telah dilesatkan dan mengakibatkan kematian? Peluru itu semakin menggigil kedinginan dalam sunyi, sama halnya dengan hirup pikuk yang telah berhenti dari atas sana.
Sumber: Kompas, 13 Januari 2012
Yogyakarta, 26 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar