Cerpen: AK Basuki
untuk Bu Zuh, juga semua ibu/1/
dia perempuan.
urai panjang rambutnya selamanya menghitam malam, sepasang matanya bertoreh baskara, tangan kanan menggenggam fajar yang kiri menadah ranah buritan. kakinya mengayun angin di atas dipan -dinikmati itu seumpama candu- dan bila waktunya datang, ia langkahkan kemana berjalan.
kini jalannya melesat tak terhambat: baginya cuma satu, cabang dan ranting itu semu; maju. katanya kematian tak jemu menunggu.
Suara-suara memanggil namanya sayup sampai di telinga Tugirah, meninggi dan melambat berganti-ganti lalu seperti merambat dalam air dan menggelitik cuping telinga. Bebunyian yang bertahun-tahun dia kenali melebihi pengenalannya akan jumlah usia yang selalu lalai dihitungnya. Sebentar lagi pasti ada yang datang, pikirnya. Dia bangkit, dipan kayu berderit.
“Sudah waktunya. Tapi aku bersumpah, ini yang terakhir,” dia berkata pada refleksi diri yang memantul sehadap cermin. Rambut panjangnya di sisir lalu digelung.
Seorang sepertinya tidak membutuhkan citra, hanya ketulusan, dia bergumam. Satu-satu, perhiasan yang ada pada tubuhnya terlepas: kalung, anting, gelang dan cincin. Perhiasan toh cuma pemanis belaka, tak dibawa mati. Maka tidak patutlah itu bersinggungan dengan orang mati. Hanya perasaan jangan sampai mati.
Diambilnya air wudhu. Tubuhku memang masih hidup, karenanya harus pula suci, kata hatinya ketika dingin air padasan mencapai ujung sikunya. Tak didengarnya ketukan di pintu yang memanggil-manggil namanya. Tapi ketika anak tertuanya pergi membukakan pintu, dia telah selesai sama sekali dalam bersiap. Dapat didengarnya orang yang datang dan kini telah duduk di kursi ruang tamu itu berkata:
“Pamularsih dan anaknya.”
/2/
bila saja mampu, bukan pada alam ini nyawanya berdiri.
ia lebih tenang jika menyanding matahari dalam kisar galaksi. sebab ia bisa merajuk dayagunanya agar planet dan bintang mungil itu berpijar wajar atau melebur gentar. selaik keindahan tanpa rintih yang menyuara gelegar, begitu tenang dan tenteram.
apalah daya, tetap saja ia kumpulan debu dengan senyawa yang juga diburu. ia bersaksi itu tiap kali akan menggerutu.
Sampai di rumah yang sepi pelayat itu, Tugirah bergerak cepat. Dipintanya beberapa orang membentangkan kain jarit sepanjang yang ada, sebanyak yang ada untuk membunikan pekerjaan yang dilakukan pada mayit. Kali ini ada dua dan seperti yang lalu, hatinya masih saja bergetar. Kematian selalu mendirikan bulu roma.
Selalu ada cerita di baliknya, setidaknya sebuah ikhtisar hidup dan lonceng tanda bersiap-siap bagi yang hidup. Seperti dia, kematian baginya adalah agung hingga tak dapat lagi dibedakannya antara mayit-mayit dengan buah hatinya. Mayit adalah anak-anaknya juga dalam satu perbandingan tanpa kesenjangan. Karena jika telah sampai tangannya yang gemetar menyentuh bagian tubuh mereka yang beku, dia selalu dapat merasakan sensasi yang mendesak rahimnya, bagai menjelang sebuah kelahiran.
Dia mencintai mereka seperti orang-orang tamak mencintai mestika.
“Siapa denganku?” tanyanya. Seseorang di luar naungan kain-kain jarit yang dibentangkan memutar pada tiang-tiang bambu secara darurat menjawab dan menyebut nama dua orang. Dua orang yang baru disebut memang beberapa menit kemudian masuk. Tugirah mengenal mereka.
Salah satu dari mereka, yang lebih tua, menyapa basa-basi. Di matanya Tugirah tidak menemukan keikhlasan, hanya pandangan enggan dan jijik. Pada yang seorang lagi pun demikian. Terlihat sinar mata itu meredup dan bergerak-gerak aneh mencari obyek yang lain selain mayit si janda kembang dan anaknya itu. Tugirah mafhum. Dia toh hanya butuh saksi.
/3/
dipersiapkan berlapis gelombang putih untuk dilaraskan. ruah bening dari berbagai mata air dikumpulkan serta digenangi penggal-penggal dunia selebar kelor. tak luput wewangi alam yang bernafas dihimpun sampai nanti dihembus salam.
beruntun, kepada sebujur jasad, ia kabungkan kesemua lapis gelombang itu setelah tetumpah mata air dibasuhkan dan ditiupi salam wangi. sesungguhnya ia tahu, berkali ia menyaksi nyawa mengambang di sela berkasih dan bersayang dibalutkan.
Ada yang harus dibasuh, pikirnya, tak hanya sekedar tubuh yang meriah dengan lebam mayit, tapi bau yang meriap. Diucapkanlah doa, lalu minyak wangi pada buli-buli dituangkan. Tubuh diam Pamularsih dan anaknya yang baru berusia dua tahun itu dijejerkannya dalam satu barisan rapat. Kata orang yang memanggilnya tadi, mayat mereka berdua ditemukan tadi pagi setelah hilang sejak kemarin sore.
Diliriknya kedua orang yang bersamanya. Saat itulah tangan mayit Pamularsih mencengkeram ujung lengan bajunya.
“Selalu yang punya rahasia. Apa yang hendak kau sampaikan, Nduk?” tanya Tugirah. Selalu begini. Apakah karena mayit-mayit yang berada dalam urusannya adalah juga anak-anaknya? Benarkah begitu hingga semua rahasia mereka akan diadukan kepadanya?
Dia melirik kembali kembali kedua orang yang bersamanya. Mereka tengah sibuk mempersiapkan beberapa kebutuhan lain sekaligus memasukkan dan mengeluarkan beberapa yang telah tak digunakan atau yang akan digunakan dengan orang-orang di luar bentangan kain-kain jarit.
Pamularsih berkata memelas, “Nyawaku belum sampai tempatnya, Bu.”
“Lha, kok bisa?” tanya Tugirah. Dimiringkannya mayit ke arah kiri, salah satu dari dua orang yang bersamanya tanggap untuk memercikkan kembali air dari wadahnya. Kening orang itu terlihat berkerut keheranan.
“Bu, “ panggilnya ragu-ragu. Tugirah menggeleng dan memberi isyarat padanya untuk diam saja.
“Sebenarnya aku belum mau mati,” kata Pamularsih saat Tugirah menggosok punggungnya dengan lembut. Sentuhan kasih seorang ibu kepada anak tercinta.
“Tapi sudah terjadi,” kata Tugirah seperti bergumam saja.
“Dia mengajak kami berdua. Katanya akan dibawa minggat diam-diam. Ternyata, belum juga keluar dari jalanan desa ini, dia khianat. Ada anaknya dalam rahimku ini, Bu.”
Tugirah diam. Sudah banyak diketahuinya dari seluruh kematian yang pernah dia temui dan dia tidak ingin menambahnya lagi, sebenarnya. Dia sudah terbiasa mendapati kenyataan yang sebenarnya dari berbagai rahasia tanpa mampu untuk membuat suatu akhiran yang dapat mengubah. Dia tidak punya kemampuan untuk itu. Dia hanya mampu memberikan keseluruhan yang dia mampu untuk menyucikan mayit, bukan menjadi penuntut atau bahkan seorang hakim.
Mayit Pamularsih dan anaknya memanglah dia agungkan benar-benar. Dibuatnya mereka laksana patung-patung pualam yang lolos dari cela dan melimpah dengan kasih sayang darinya karena mayit-mayit itu adalah juga anak-anaknya, buah hatinya. Boleh jadi di kehidupan dunia nama mereka telah tidak tercatat, tapi Tugirah adalah orang yang percaya bahwa kesucian jasad adalah kunci pertama menghadapi siksa kubur.
“Bu Tugirah ingin tahu siapa dia?” tanya Pamularsih ketika tubuhnya telah tertutup kain kafan sepenuhnya. Tugirah menggeleng.
Kedua tangannya terangkat. Berdoa.
/4/
barangkali tak ubahnya seorang musafir. setelah lelah menempuh safar; mengikuti kaki hilir dan memutar badan, ia bujur keseluruh tubuh tanpa mengacuh kiri kanan. yakin ia sudah kumuh. apa peduli dengan selembar tanah yang baru ia gelar. merebah saja dan segala pemandangan dipejam.
Suara-suara itu sayup sampai kembali di telinga Tugirah. Dia bergeming. Dia merasa cukup dan enggan, pun telah bersumpah bahwa kemarin adalah yang terakhir buatnya. Dia merasa sudah cukup mulia dan tak ingin rakus menelannya seorang diri. Toh akan muncul orang selain dirinya, yang lebih fasih dari sekedar membasuh dan menyucikan mayit, yang mempunyai kemampuan lebih untuk mendengar dan mengerti isyarat-isyarat yang ditunjukkan, rahasia-rahasia sebalik kematian. Semoga.
Ketukan-ketukan di pintu rumah tak digubrisnya. Dia tahu, anaknyalah yang akan menemui dia, siapapun yang datang ke rumahnya. Tapi memang suara-suara di kupingnya masih saja memanggil-manggil, dia tidak tahu sampai kapan. Mungkin sampai dia mati.
Cukup, bisiknya. Lalu dengan ketenangan yang luar biasa dia merebahkan dirinya pada dipan kayu di pojok kamar, menghadap tepat kepada jendela yang terbuka. Keseluruhan indera dia padamkan.
Di depan pintu, anak tertua Tugirah menghadapi tamunya.
“Ada lagi yang meninggal?” tanyanya.
Cigugur, 12 November 2011
- Berdasarkan puisi Naim Ali, “Perawat Jenazah”
Sumber: Kompas, 17 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar