Cerpen M. Nurcholis
Kau tahu? Semestinya kota ini sudah punya polisi kota sendiri. Jalanan sudah macet, mobil-mobil susah diatur, motor apalagi. Truk-truk dari kota-kota besar sudah meruah, membawa bahan baku untuk industri kota kita. Angka kriminal meningkat tajam. Kau tau, kan, berita kemarin? Perampok menggasak toko emas di pasar siang hari bolong. Menggunakan senjata lengkap laras pendek maupun panjang. Tidak ada yang berani menolong. Kemana polisi-polisi kita itu? Masih sibuk mengurusi terorisme, mungkin. Apa sih yang kamu lakukan di pos jaga?
Mungkin menarik bila kubuka kantor konsultan detektif di kota ini. Maraknya kriminal di kota kita merupakan lahan yang potensial untuk profesi detektif. Tentu sangat mengasyikkan. Sebagai awal, tidak usah kupecahkan kasus perampokan toko mas itu. Biar kasus-kasus yang ringan saja dahulu. Seperti misteri percintaan. Misteri siapa yang telah bersemayam di hatimu.
Malam minggu ini ramai sekali, tidak seperti malam-malam minggu sebelumnya. Di area Gereja mobil-mobil berparkiran sepanjang jalan, banyak juga sepeda motor. Ada Misa Malam Pekan Suci rupanya.
Di depan Gereja seorang kakek berambut putih, berjenggot putih berpakaian kaos putih dan bercelana katun putih berdiri di tengah jalan. Menadahkan topinya kemudian bersenandung kepada para pengunjung: "Semoga Tuhan memberkati! Semoga Tuhan memberkati!". Beberapa pengunjung melemparkan uang logam atau uang kertas pecahan kecil ke dalam topinya. Semoga Tuhan memberikan berkah kepada amalan mereka.
Aku limbung, hampir jatuh dari motor. Setelah di kelokan depan berpapasan dengan ibu biarawati yang hendak menyeberang. Beliau tergopoh meninggalkan Gereja saat Misa sedang berjalan. Mungkin mendapat kabar yang mengejutkan hingga tidak bersiaga di jalanan kota kita yang makin ramai saja. Tuh,kan, kota kita makin tidak aman.
Kutunggu kau di bawah pohon Akasia di samping pos jaga polisi, Va. Apa sih yang kamu lakukan di dalam Gereja?
Mempelajari kejahatan itu mengasyikkan. Kau ingat, kan, tentang masa remaja kita dahulu. Di ruang tengah kita bermain bersama. Bermain tebak-tebakan bersama ibuku. Ibuku sangat baik. Beliau menemani kita, supaya tidak terjadi hal-hal yang buruk, katanya. Beliau juga yang membuat kita menyukai kriminal. Koleksi buku detektifnya luar biasa. Kaungat percakapan ini, "Eva jika besar nanti mau jadi apa?" tanya ibuku waktu itu.
"Polisi!" kaujawab mantap.
"Mengapa Eva mau jadi polisi?" tanya ibuku selanjutnya.
"Biar Eva bisa menangkap penjahat! Biar Ibu sama Mustafa aman!" begitu jawabmu.
Ibuku tersenyum waktu itu. Selanjutnya dia membacakan serial-serial detektif dari koleksi novelnya. Sampai kita hafal betul, dan setelahnya kita bisa menebak penyelesaian kasus-kasus baru dari serial yang baru saja keluar di pasaran. Kita berujar mengenai cita-cita dan kita menjawab sama, "Detektif."
"Hampir semua hal di dunia ini bisa dijelaskan dengan logika. Bagaimanapun tanggapanmu terhadap suatu hal, itu adalah hasil dari olah pikirmu, Fa. Dari endapan pemikiranmu. Termasuk Tuhan." tiba-tiba Engkau berbicara kepadaku, Va, selepas menyelesaikan kuliahmu di Sepolwan itu.
Dan saranku, "Agamaku adalah agamaku, Agamamu adalah agamamu. Betapa muskil keduanya bisa disatukan. Sama saja engkau menjadi musuh dari keduanya. Engkau sahabatku, dan aku merasa lebih dari itu. Engkau yang aku inginkan untuk selalu di sampingku. Namun terdapat sekat yang teramat kuat, serta rapat."
Aku berpikir mungkin engkau bertambah relijius, dan tentu aku turut senang. Meski kita berseberangan keyakinan, ada satu yakin yang membuat kita tetap berhubungan. Cinta mereka bilang.
Percayakah kau akan rahasia rintik hujan yang mengguyur kota kita malam ini? Ada sesuatu yang turun bersamanya. Seperti menyanyikan kidung kerinduan yang mendalam. Ada sesuatu yang melekat bersama molekulnya. Mungkin dari rindu yang menguap berbulan-bulan lalu, kemudian menggumpal bersama awan, lalu jatuh menimpaku. Di bawah pohon Akasia ini.
Aku jadi teringat perdebatan dengan ayah sepekan silam setelah aku pulang mengantarmu bertugas. Aku didudukkan di ruang tamu. Ayah duduk di hadapanku, kemudian ibu di sampingnya. Engkau tau, aku disidang malam itu.
“Mustafa, darimana kamu?” Ayahku bermuka serius. Jarang-jarang beliau begitu. Beliau biasanya bersikap tenang yang sangat mencerminkan bahwa beliau seorang dosen di Universitas ternama di Yogyakarta. Kau tentu jarang bertemu dengannya karena beliau sibuk mengajar disana. Sedangkan aku tinggal bersama Ibu di kota tercinta kita, Cilacap Bercahaya.
“Sehabis mengantar Eva dari pos jaga, Pak.”
“Evangelin Kristanti?”
“Iya, Pak.”
Ayah mendesah, membuang pandangannya ke lukisan rumah gubug di tengah-tengah sawah yang terlihat sangat reyot dan sebentar lagi mungkin rubuh.
“Mustafa, sadarkah kamu? Kita ini orang Muslim yang terpandang. Bapak berprofesi sebagai dosen Jurusan Syariah di Universitas Islam ternama. Bagaimana tanggapan orang jika melihat anaknya bepergian dengan wanita yang bukan muhrim? Beragama lain pula.”
Aku hanya terdiam mendengar bapak berbicara. Di dalam hati, aku ingin membela diri. Namun Bapak masih melanjutkan pidatonya.
“Berapa umurmu sekarang? Dua puluh lima, kan? Ya, kau sudah cukup umur untuk menikah. Segeralah menikah. Tentang pekerjaanmu di kantor advokat biar nanti Bapak carikan kenalan di Yogyakarta. Kau cari pengalaman hidup di kota pelajar itu.”
“Iya, Pak. Tapi Mustafa sudah menentukan pilihan. Mustafa sudah mantap.”
“Siapa gadis itu?” Bapak sangat penasaran. Sedang ibu terdiam biasa saja.
“Eva, Pak. Mustafa memutuskan untuk menikahinya supaya tidak terjadi fitnah.”
Bulan malam itu enggan menampakkan diri. Mungkin tidak ingin menjadi saksi tentang kemarahan pertama sang Ayah kepada anak laki-laki satunya ini. Langit kelam tertutup awan hitam yang sekelam suasana rumahku kemudian.
“Astaghfirullaah! Sadarlah kau, Fa! Mengapa kau ambil ia sebagai calonmu?! Istighfar! Ingat asalmu, jangan sampai kau terperosok ke jalan yang sesat!” Nada bicara ayah meninggi. Di sampingnya ibu mengusap-usap halus punggung Ayah.
Aku mencoba tenang. Mencoba menata pikiranku. Beginilah dilema yang pernah kubayangkan sebelumnya. Mencintai seseorang yang berseberangan dengan keyakinanku merupakan hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Aku harus menerjang orang-orang yang kusayangi, keluargaku sendiri.
“Tapi, Ayah, aku seorang laki-laki. Seorang pemimpin rumah tangga nantinya. Aku telah mencari ketentuan dalam kitab suci kita dan tuntunan Nabi bahwasannya seorang lelaki muslim boleh menikah dengan seorang perempuan ahli kitab. Sebagian ulama pun membolehkannya.” Aku mencoba membela diriku. Aku tahu, ini adalah sikapku yang kurang ajar. Selama ini apa yang dikatakan ayah dengan takzim akan kupatuhi. Bagiku, beliau adalah lubuk akal tepian ilmu. Orang yang berilmu dunia dan akhirat. Namun, hatiku telah terhias oleh perasaan yang telah diciptakan Tuhan begitu indah, begitu mulia.
Ayah tetap pada pendiriannya. Beliau sangat terpukul dengan sikapku. Semenjak pertemuan malam itu, aku belum bertemu ayah sampai kini. Beliau menyibukkan diri dengan urusannya di Yogyakarta. Ibu, sebagai pengayom keluarga menjadi mediator bagi kami tinggal bersamaku di kota kelahiran. Aku melihat beberapa kali beliau menangis. Aku memahami, beliau merasakan kepadihan dalam hati. Beliau memahami perasaanku karena beliaulah yang sedari kecil mengerti hubunganku dengan Eva. Aku mengerti bahwasannya hidup adalah kumpulan dari kosistensi.
Semestinya engkau-pun tahu, Va, bahwa kita telah menjalani cinta yang salah. Sebagaimana engkau yang telah diberi kecaman oleh ibumu. Tapi cinta rupanya tak terikat pada logika, seperti yang engkau pernah ucapkan saat kita dahulu mendiskusikan bahan bacaan Sherlock Holmes yang kupinjam pada ibu. Kita sama-sama tergelitik dengan perkataannya: when you have eliminated the impossible, whatever remains, however improbable, must be the truth. Sebuah acuan teori eliminasi yang telah membawamu meretas kasus-kasus kejahatan secara gilang-gemilang. Ya, pegangan yang membuatku memenangkan beberapa kasus dari klien yang kutangani. “Jika kita mengeliminasi hal yang tidak mungkin, apapun yang tersisa, bagaimanapun juga mustahilnya, itulah kebenaran”, begitu terjemahanmu.
Kita terbahak kala membahas kalimat Holmes yang telah membawa kita sukses dalam bidang kita masing-masing. Aku suka derai tawamu, rahangmu yang keras, mengisaratkan kau wanita yang berpendirian tegas.
Namun matamu yang sendu mengisyaratkanmu sebagai wanita yang penuh dengan kelemah-lembutan.
Saat itu kau membuat sebuah kuis, “Apa ingkaran dari pernyataan Holmes ini, Fa?”
“Ah, entalah. Dia detektif sialan. Hasil dari yang kita singkirkan ketidakmungkinannya meskipun mustahil memang biasanya benar. Itu yang selalu kutemui. Menurutmu, Va?”
“Sama, Fa. Akupun begitu. Sering kupecahkan kasus dengan mengeliminasi ketidakmungkinan-ketidakmungkinan yang ada. Baiklah, mungkin misteri ingkaran Holmes ini akan menjadi kuis abadi kita. Hal apa yang tidak sesuai dengan teorinya.”
“Hehehe..”, dan tawa kita-pun berderaian bersama.
Kau tahu, Va, aku telah menemukan jawabannya. Di bawah deraian gerimis ini. Aku telah menemukan sesuatu yang bahkan aku tidak bisa menemukan kesimpulan sebab ia ada. Sebab ia telah membuatku selalu merindu. Aku telah mengeliminasi kemungkinan cantiknya parasmu karena di luar sana banyak wanita yang lebih rupawan darimu, bahkan berjilbab yang sesuai dengan ajaran agamaku. Aku telah menghapus kemungkinan restu orangtua karena jelas-jelas orang tua kita tidak sepakat dengan hubungan kita. Aku tidak mengerti, Va, apa yang membuatku jatuh Cinta.
Kulihat jam tangan, jarum jam sudah bungkuk ke angka 20.30 namun ibadahmu belum saja selesai. Menunggu itu memang membosankan, namun aku tahu hasil yang aku peroleh setelahnya akan mengobati kepenatan yang telah kulalui sebelumnya.
Bangunan Gereja Tua St. Stephanus terlihat perkasa, meski di sana-sini menyiratkan kemuraman karena musim yang sudah mengikis putihnya cat-cat yang menempel padanya. Lonceng Gereja berdentang tiga kali ketika tiba-tiba aku melihat seberkas sinar keluar dari pintu Gereja. Sinar kuning yang menyilaukan dan tiba-tiba saja menghempas udara di depanku. Dentuman serupa meriam membahana membelah malam di kota kita. Orang-orang berlarian. Jemaat-jemaat berusaha menyelamatkan diri. Petugas polisi segera pontang-panting mengangkat tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Kota kita meriah. Kamu dimana, Va?***
Jakarta, September 2010
Catatan:
Sherlock Holmes: Tokoh detektif rekaan Sir Arthur Conan Doyle.
M. Nurcholis, penikmat sastra, tinggal di Kalibata, Jakarta Selatan. Twitter: @n_choliz
Sumber: Kompas, 6 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar