Pages - Menu

10 Januari 2012

Mantra Sandal Jepit Anak Gunung

Oleh M. Hari Atmoko

Caping berhias tempelan beberapa pasang sandal jepit menutup kepala anak itu hingga wajahnya tak tampak, tetapi kedua tangannya menengadah di depan dadanya, saat memainkan performa "Mantra Sandal Jepit".
Empat kawan lainnya anak Gunung Andong, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah tersebut, memainkan peran performa lain dengan properti beberapa pasang sandal jepit sudah lusuh juga, dua di antaranya memainkan gerak tarian gunungan wayang.

Iringan  tiga bende ditabuh lirih oleh sejumlah kawan mereka yang berasal dari Dusun Mantran Wetan, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak, Kabupaten Magelang itu.


Sore itu, puluhan anak remaja Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) mementaskan repertoar bertajuk "Sandal Gunung" di panggung terbuka Taman Metamorfosa Studio Mendut, di tepian alur Kali Pabelan Mati, Kelurahan Mendut, Kabupaten Magelang, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur.

Panggung beralas tanah, di bawah pepohonan hijau, dan berbagai patung batu, dengan instalasi antara lain kain hitam, tiga kursi kuno dengan balutan kain hitam, patung kepala buto di atas papan setinggi 1,5 meter berbalut kain hitam dengan gantungan kelinting antik serta palu besi, menghiasi arena pementasan anak-anak KLG selama satu jam.

Mereka bersolider terhadap AAL (15), seorang siswa sekolah menengah kejuruan di Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, yang menghadapi proses hukum atas kasus pencurian sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brigade Mobil Kepolisian Daerah Sulteng.

Jaksa mendakwa menggunakan Pasal 362 KUHP tentang Pencurian dengan ancaman hukuman lima tahun penjara terhadap AAL, sedangkan hakim pengadilan setempat memvonis AAL bersalah pada sidang Rabu (4/1) meskipun tidak menjatuhkan hukuman kurungan. Hakim memerintahkan agar anak itu dikembalikan kepada orang tuanya untuk pembinaan.

Saat pergelaran "Sandal Gunung" di Studio Mendut dengan ditonton puluhan anak anggota komunitas seniman petani itu, lelaki yang wajahnya tertutup caping tersebut, Prayogo (17), duduk bersila membacakan untaian bernada doa menggunakan bahasa Jawa yang disebutnya sebagai mantra terkait dengan kasus sandal jepit di Palu.

"Niat ingsun dongo, ora ndongani negoro, kawulo lan panguoso. Ingsun ndongani srandal. Srandal kang mung digawe slemek mlaku sikile panguoso kang murko, wedi marang kabeneran. Aku ndongo, dongane aku ora kanggo wong duroko kang duwe watak murko koyo dene bethoro kolo, kang ora rumongso warek mangan bondho donyo nganti gelem nguntal marang sakpodo-podo. Aku ndongo ora kanggo panguoso kang gelem cidro. Dongaku kanggo srandal kang mulyo, dongaku kanggo srandal kang utomo, dongaku mbesok ono srandal mlebu ing wetenge panguoso sing wis kantean bondo lan donyo. Srandal, srandal, srandal. Iki dongaku".

Dengan latar belakang gerak kibasan dua gunungan yang juga berhiaskan masing-masing dua pasang sandal jepit lusuh dan tabuhan tiga bende dari balik layar hitam berproperti gantungan sandal jepit warna-warni, remaja itu menguntai kalimat yang lain, memaknai kasus hukum sandal jepit.

"Goleke gampang tor irit, ora ngenteke duwit, werno abang, ijo, biru, putih, ireng, ono komplit. Kenopo dadi soal sing rumit. Mung ilang sandal jepit kok jerat-jerit. Kok ino, sandal olo tekan perdoto kono. Kok ino, ora eman dadi punggowo negoro. Kok ino, hukum perdoto kok yo nompo. Kok ino, diece disurak poro kawulo. Kok ino, ra rumongso duwe roso. Kok ino, mung sandal jepit ngilangke wibowo".

Pimpinan komunitas seniman petani Gunung Andong "Sanggar Andong Jiwani", Supadi Haryono, menyebut untaian kalimat itu sebagai kepedulian dan sikap kritis anak-anak lingkungan setempat.

Mereka, katanya, mengungkapkan solidaritasnya melalui jalan budaya, berupa pentas ritual itu dan menyikapi persoalan sandal jepit di Palu yang telah menjadi kabar mendunia tersebut.

"Kasus sandal itu telah membuat anak-anak mengkritisi hukum. Mereka peduli untuk teman kita di Palu. Sandal yang hanya alas kaki tetapi telah menghebohkan sampai pengadilan. Bukan sekadar masalah sandal, tetapi mengapa dari sisi hukum, cuma sandal bisa merepotkan negara," katanya.

Lain lagi dengan suguhan kolaborasi empat remaja putri yakni Sekar Arum Mawarni Agatha (16), anggota grup Teater Gadung Mlati Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Sinta Vitri Noviah (12) dan Aliva Enggar Rahayu (12), keduanya komunitas seniman petani Padepokan "Tjipto Boedojo Tutup Ngisor" Desa Sumber, Kecamatan Dukun, di kawasan Gunung Merapi, serta Atika (15), remaja korban banjir lahar Gunung Merapi melewati Kali Putih di Desa Sirahan, Kecamatan Salam.

Sinta dan Aliva yang masing-masing mengenakan pakaian anak adat Jawa, berselempang kain batik memainkan gerak tari bertajuk "Tembang Sandal", serta Sekar mengenakan rajutan sandal jepit berbagai ukuran, memegang tongkat dan bermahkota sandal, serta mengenakan sayap berbentuk sepasang sandal raksasa, memainkan tarian "Joget Sandal".

Dua performa gerak tari itu seakan berkolaborasi dengan Atika melalui pembacaan secara beruntun dua karya puisi bertema sandal jepit. Sajian nomor pentas kolaborasi itu juga diiringi tabuhan rebana secara tunggal oleh seorang lainnya korban banjir lahar melalui desa setempat, Miftah (15).

Sepenggal puisi Atika berjudul "Lahar Sandal Buset!" isinya, "Busett!!! Tahun ini sandal bisa membawa anak seumuran kami masuk terali besi. Anak yang tidak tahu hukum, seperti kami. Hai penguasa negeri. Inikah yang dimaksud keadilan? Dia hanya anak seumuran kami. Yang sekadar mencari sensasi. Untuk mengetahui jati diri, seperti kami. Karena dia dan kami adalah cikal penerus negeri. Yang akan menggantikan tahtamu yang membuai. Dan membuatmu lupa diri. Ini hanya pencarian jati diri. Bukan profesi kami".

Puisi lainnya berjudul "Tangisan Sandal" antara lain berbunyi, "Sandal... Walau hargamu miliaran. Takdirmu tetap diinjak. Tapi kini kau mampu membawa anak negeri masuk bui. Hukum apa ini? Sandal!!! Kami menangis karenamu. Berteriak karenamu. Bahkan di sini karenamu. Karena kau melawan takdirmu. Kami ini anak negeri. Yang hidup di bumi yang berhati nurani. Tapi kenapa harus kami tanyakan nasib kami. Bahkan sandal lebih berarti dari harga diri".

Performa lain disuguhkan melalui pergelaran tersebut. Tiga anak berumur 10 tahun, anggota komunitas seniman petani "Sanggar Wonoseni" Desa Wonolelo, Kecamatan Bandongan di kawasan, Gunung Sumbing, masing-masing Hukma, Diki, dan Suci, pentas menggoreskan kuas masing-masing di atas kanvas yang bertajuk "Sandal Lukis".

Selain itu, 20 remaja anggota komunitas seniman petani "Sanggar Saujana" dari Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, kawasan di antara Gunung Merbabu dengan Merapi, menyuguhkan tarian kontemporer "Wayang Sandal".

Masing-masing memainkan gerakan tarian mirip dalang sedang memainkan wayang kulit di kelir, mengikuti iringan tabuhan bende dan kenong oleh sejumlah kawan mereka. Setiap anak membawa properti tatanan sejumlah sandal lusuh yang ditalikan di sebilah bambu sehingga mirip wayang kulit.

Setiap anak bergantian memainkan "Wayang Sandal" itu sambil membacakan puisi karya masing-masing bertema sandal jepit antara lain berjudul "Misteri Sandal Jepit", "Negeri Dongeng", "Kecepit Sandal", dan "Suara Sandal Gunung".

Ketua KLG Magelang Ismanto menyebut anak-anak gunung di daerah itu tergugah inspirasi edukasinya atas kasus hukum sandal jepit di Palu.

Mereka mengungkapkan inspirasi tersebut melalui pergelaran yang bernuansa edukatif. "Ini menjadi edukasi bukan hanya untuk mereka, tetapi kita semua yang dewasa, termasuk aparat pemerintah dan penegak hukum. Secara khusus yang ingin direngkuh melalui pergelaran ini adalah edukasi tentang kebijakan dan keadilan, menyikapi secara arif atas berbagai persoalan," katanya.

Budayawan yang juga pengajar program pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sutanto Mendut, mengungkapkan, anak-anak memberi pelajaran tentang kehidupan kepada siapa saja melalui pergelaran "Sandal Gunung".

"Anak-anak memberi peringatan kepada yang dewasa, mendidik siapa saja. Anak-anak juga siap ikut mewujudkan makna ’melindungi’. Minggu ini sandal, lain kali mungkin pensil, HP (handphone, red.), dan barang-barang murahan lainnya. Kelak, semoga mereka menjadi makin peduli kepada Magelang dan lebih hebat lagi peduli kepada bangsa dan negeri ini," kata Sutanto yang juga pemimpin tertinggi KLG.
Pergelaran seni dan budaya bertajuk "Sandal Gunung" oleh anak-anak komunitas seniman petani itu mungkin memang bukanlah untuk memvonis pihak tertentu.

Tetapi, anak-anak gunung setempat menjadikan kasus hukum terkait sandal jepit lusuh di Palu itu sebagai daya gugah mereka untuk menyampaikan "suara-suara" inspirasi kebaikan, kearifan, kebijakan, dan terutama menghunjam rasa keadilan.

Sumber: Kompas, 10 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar