Oleh: Lumaksono
Berita koran pagi yang aku baca di meja makan benar-benar telah menyingkirkan nafsu makanku. Nasi goreng panas di hadapanku tak mampu lagi membangkitkan selera makanku. Perutku tiba-tiba serasa penuh, jantungku berdegup lebih kencang daripada biasanya, nafasku tak teratur lagi. Meskipun aku berusaha untuk tidak percaya, namun berkali-kali aku baca , tulisan itu makin menghilangkan kesangsianku. Betul, ia Pak Naryo. Aku meletakan koran di atas meja dengan sangat pelan.
Nama lengkapnya Sunaryo, tapi kami semua lebih mengenalnya sebagai Pak Naryo. Panggilan ini telah akrab dengan kami hingga orang pun banyak yang melupakan nama lengkapnya, meskipun itu hanya kurang dua huruf saja. Aku mengenal pak Naryo dengan baik, karena disamping sebagai tetangganya, aku juga menjadi muridnya di sebuah SMP swasta. Barangkali hanya aku orang yang mengenal Pak Naryo sebagai satu orang dengan dua pribadi yang berbeda. Dan aku juga yakin kalau banyak orang yang tidak tahu akan hal ini.
Pak Naryo yang kukenal di rumah adalah Pak Naryo sebagai orang kebanyakan, tidak mempunyai sesuatu yang istimewa, keberadaannya sering tidak dihargai bahkan orang cenderung untuk tidak menghormatinya.
Masyarakat di kampungku lebih menghargai orang karena harta yang ia miliki, keturunan, dan bagus tidak rupa orang tersebut. Sedangkan budi pekerti dan kecerdasan pikiran tidaklah menjadi jaminan seseorang akan dihormati dan dihargai. Meski tak ada seorang pun yang mengakui hal tersebut, tapi begitulah kenyataannya. Dan Pak Naryo tak mempunyai satu pun syarat untuk menjadi orang yang dihormati dan dihargai. Ia bukan orang kaya, orang tuanya berasal dari orang kebanyakan, dan wajahnya identik dengan tampang orang kampung.
Aku pun tidak pernah menaruh hormat kapada Pak Naryo sebelum aku menjadi muridnya. Bahkan aku sama sekali tidak pernah menyangka kalau orang yang selama ini tak pernah kuperhatikan keberadaannya akan menjadi salah satu guruku, orang yang aku hormati.
Saat pertama kali aku menerima pelajaran dari Pak Naryo, aku masih tidak percaya kalau yang tengah berdiri di depan kelas adalah Pak Naryo yang selama ini aku kenal. Orang yang sama sekali tak pernah kami hiraukan kehadirannya.
Di kelas, kata-kata Pak Naryo sangat membius. Kami sangat suka mendengarnya, kami menuruti apa yang ia ucapkan. Tak ada bentakan, cercaan atau cemoohan. Semua kata yang keluar dari bibirnya laksana angin gunung yang bertiup pelan, sejuk dan menyegarkan tanpa polusi. Bahkan ketika kami berbuat salah pun beliau akan menegurnya dengan senyum. Seperti mentari menyapa embun di pucuk daun, lembut tak menyengat.
Ya, dengan senyum yang lembut. Memang Pak Naryo aku kenal sebagai guru yang murah senyum, hampir tak pernah aku melihatnya marah, bermuka masam atau sedih ketika berhadapan dengan murid-muridnya. Kami menghormatinya dengan ikhlas tanpa merasa terpaksa. Sangat kontras dengan apa yang aku rasakan sebagai tetangga. Di sekolah beliau adalah sosok yang disegani, sedangkan di rumah, beliau sosok yang bisa dengan mudah dilupakan.
Kini, untuk kedua kalinya aku merasa tidak percaya dengan apa yang aku baca di surat kabar. Pak Naryo tengah menjadi pesakitan di pengadilan karena didakwa menganiaya anak kecil, anak di bawah umur! Ancaman hukumannya pun tidak main-main: dikeluarkan dari statusnya sebagai guru secara tidak hormat, dan kurungan maksimal lima tahun penjara.
Aku putuskan untuk pulang kampung menemui pak Naryo. Tentu saja untuk mengetahui kejadian sebenarnya. Kalau bisa berusaha meringankan beban orang yang telah membuatku berani menantang kerasnya kehidupan kota.
Di atas kereta bisnis yang membawaku, hatiku tetap menyangkal apa yang telah dituduhkan jaksa kepada pak Naryo. Bagiku, tak ada satu pun sifat Pak Naryo yang mampu mengantarkannya ke balik jeruji. Aku harap ini hanya sebuah fitnah atau kesalahpahaman saja. Kalaupun memang benar terjadi, aku yakin tentu ada sebab yang sangat hebat hingga Pak Naryo mampu berbuat demikian.
Aku sangat berharap pintu untuk membebaskan Pak Naryo masih bisa terbuka. Kalau pun Pak Naryo tak mampu menyewa pengacara handal, aku masih yakin kalau mantan murid-muridnya bisa berdoa hingga Tuhan akan mengabulkkan doa kami.
Tempias hujan di luar yang masuk melalui celah jendela kaca yang terbuka memercik wajahku, membuat aku terpaksa menghentikan kembara pikiranku. Aku berdiri sejenak untuk menutup jendela kaca kecil yang terbuka dengan sedikit mengeluarkan tenaga karena keadaan bingkai kaca yang tak lurus lagi.
Kulihat penumpang di sebelahku yang dari pertama duduk telah memejamkan mata, kian dalam menikmati mimpinya sepanjang perjalanan. Sekilas kuamati wajahnya, perkiraanku umurnya tak jauh beda dengan Pak Naryo. Hanya mungkin wajahnya lebih bersih dan segar. Tubuhnya juga tak begitu gemuk, kalau tak banyak berubah, seperti itulah badan Pak Naryo. Semoga saja ia tak menjadi lebih kurus. Iseng-iseng aku ambil handphone, kulihat tak ada sms maupun panggilan yang masuk, sedangkan jamnya menunjukkan pukul delapan malam. Jika sesuai perkiraanku, dua jam lagi akan sampai di stasiun tujuan.
“Untuk apa kau kemari?”
Pertanyaan yang sesungguhnya tak pernah aku sangka akan keluar dari mulut Pak Naryo ini membuat aku terperanjat. Aku berusaha menutupi kekagetanku dengan mengusap mukaku dengan sapu tangan. Setelah aliran darah yang tadi sempat terkesiap kembali normal, aku berusaha menjawab dengan sangat hati-hati. Aku tak ingin menambah luka hati Pak Naryo. Aku yakin sikap Pak Naryo kali ini tak lain sebagai akibat posisinya sekarang, sebagai pesakitan di pengadilan. Keadaan yang bisa jadi telah menimbulkan luka mendalam di hatinya.
“Sudah lama sekali kita nggak ketemu, saya hanya ingin bersilaturahmi, kebetulan sedang cuti pulang kampung,” kataku sedikit berbohong. Pak Naryo menatapku dengan penuh selidik. Tatapan yang belum pernah aku kenal, yang kembali membuatku terperanjat. Begitu besarkah perubahannya? Mengapa? Banyakkah yang aku lewatkan?
“Apa kau juga akan bersaksi memberatkanku? Seperti yang dilakukan pamanmu?”
Kini aku agak paham mengapa Pak Naryo bersikap tak bersahabat terhadapku. Hubunganku dengan anak kecil itulah yang menyebabkan aku tak mungkin dipercaya begitu saja oleh Pak Naryo. Korban adalah saudaraku sendiri, anak pamanku. Orang yang telah melaporkan dan menyeret Pak Naryo ke meja hijau. Pantas saja kalau Pak Naryo menganggap aku bagian dari mereka.
“Maaf, Pak, aku tak mungkin melakukan hal itu. Namun, apa tak sebaiknya kita bertukar kabar saja? Bukankah kita telah lama, bahkan sangat lama tak bertemu?” Aku berusaha menghindar dari cecaran pertanyaan Pak Naryo. Sedikit mencairkan suasana sambil menjaga jarak agar aku tak dihubungkan dengan pamanku.
“Tak ada kabar yang pantas kau dengar, kabar untukmu telah habis sepuluh tahun lalu!”
Kembali aku rasakan kegetiran hati Pak Naryo yang telah mengubah sikap yang dulu aku kenal di sekolah. Nada menyerah yang terdengar sama sekali bertentangan dengan sikap optimis yang selalu beliau tanamkan kepada kami semua --murid-muridnya.
“Kalau begitu, tolong ceritakan sepuluh tahun itu! Sepuluh tahun yang tak pernah aku dengar. Aku tak mau ketinggalan cerita itu.”
“Bapak yakin kau tak akan mau mendengarnya!”
“Apa pun itu, aku tetap mau mendengarnya. Bukankah aku sendiri yang meminta? Apa Bapak sangsi pada telingaku yang dulu selalu menerima apa pun yang Bapak katakan?”
Sejenak Pak Naryo terdiam. Dari celah jendela beliau menerawang langit yang bertebar awan, kemudian menatap wajahku. Sorot matanya melunak, kini kurasakan keteduhan di matanya, tidak seperti tadi ketika pertama berjumpa. Namun tetap saja aku rasakan kalau tatapan matanya mampu menghujam menerobos seluruh rongga-rongga tubuhku hingga aku terasa seperti telanjang di hadapannya.
“Biarlah mereka memutuskan apa yang harus diputuskan! Tak perlu kau repot-repot kemari hanya untuk sesuatu yang tak mungkin bisa diperjuangkan!”
“Jadi benar apa yang tertulis di koran?”
“Benar.”
“Tapi mengapa? Bukankah ....” Aku tak bisa meneruskan kata-kataku. Ada sesuatu yang membuatku tak mampu mengatakan, sesuatu yang tak bisa aku terima dengan akal sehat. Pasti ada sebab yang maha dahsyat yang mampu menggerakan sesuatu di luar kendali.
Aku pura-pura mengalihkan pandangan ke luar, tampak beberapa orang tengah berusaha menyingkirkan batang pohon mahoni yang roboh dan melintang di jalan. Pohon yang biasanya kokoh berdiri itu tak kuat lagi menyangga dirinya karena diterjang angin kencang terus-menerus sepanjang malam.
“Kau tahu kan, anak itu punya teras di lantai duanya? Suatu kali saat Bapak berjalan di bawahnya, dilemparnya Bapak dengan biji salak. Saat Bapak menoleh ke atas, ia langsung lari sembunyi. Bapak hanya tersenyum melihat tingkahnya, ia hanya anak-anak. Anak itu pula yang selalu menirukan jalan pincangku ketika Bapak tengah kesakitan karena program pemulihan lutut ini. Hingga anak-anak lain pun ikut-ikutan suka menirukan,” kata Pak Naryo sambil mengelus lututnya.
Pak Naryo memang pernah mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor tuanya, sepulang mengajar, di jalan desa yang berbatu, Pak Naryo terjatuh karena menghindari anak kecil yang mengendarai sepeda tanpa aturan. Entah seperti apa jatuhnya, akibatnya adalah tempurung lutut Pak Naryo bergeser. Ia mengerang menahan sakit, namun tetap tersenyum saat menatap wajah anak yang hanya bengong ketakutan tak tahu apa yang mesti diperbuat. Karena senyum itulah maka anak kecil itu bisa segera beringsut tanpa rasa sesal dan takut lagi.
Sejak saat itu Pak Naryo akan merasakan sakit pada lututnya kalau berjalan jauh, hingga beliau berjalan tepincang. Mungkin karena pengobatan yang tak tuntas atau karena hanya mengandalkan pengobatan tradisional. Anak-anak kecil yang nakal pun jadi sering mengolok-olok Pak Naryo, sesuatu yang seharusnya tak perlu dilakukan. Mereka menirukan jalan Pak Naryo yang agak pincang. Namun ketabahan dan kebesaran hati Pak Naryo memang pantas diacungi jempol, hingga beliau menghadapi semua itu dengan senyum, ya, hanya dengan senyum.
Aku menatap wajahnya. Menawarkan apel yang sengaja tadi aku bawa. Pak Naryo menghabiskan beberapa gigitan dengan malas, sepertinya ia hanya berusaha menghargai dengan apa yang aku bawa. Sisa apel yang belum tuntas ia letakkan kembali ke dalam bungkusan.
Aku menantikan kisah selanjutnya. Beliaupun paham. “Lain waktu, saat Bapak kembali melewati rumahnya, dari teras atasnya ia dan beberapa temannya seperti berlomba menyemprotkan ludah ke arah Bapak, ke arah gurumu, meskipun tak ada yang kena. Tapi kali ini Bapak tak dapat tersenyum lagi, Bapak hanya cepat berlalu!” Dada Pak Naryo naik turun, seperti menahan emosi yang tak tuntas.
Aku pun terpaksa ikut menaham geram, “Sudah Bapak laporkan kelakuan anak itu pada orang tuanya?”
“Untuk apa? Kau tahu sendiri kan orang-orang kampung ini?”
“Tapi, Pak, siapa tahu mereka akan mengerti dan bisa membantu melerai tingkah anak-anak yang kurang ajar itu!”
“Bapak sudah bicara baik-baik kepada orang tua anak-anak nakal itu, tetapi kau tahu sendiri, mereka hampir sama dengan anak-anaknya, tak pernah mau mendengar! Akhirnya mereka makin menjadi-jadi!”
“Lantas, mengenai penganiayaan itu, bagaimana kejadiannya?”
“Sebenarnya tak penting lagi kuceritakan semua itu, yang pasti saat itu tiba-tiba ia sudah berada di depan Bapak sambil menirukan jalan Bapak yang pincang, mulutnya meringis-ringis serta ekor matanya menghujam ke ulu hati. Saat itu Bapak sudah tak mampu tersenyum lagi. Dan entah digerakan oleh apa, ternyata tangan Bapak sudah mendarat di pipinya. Cukup keras hingga membekas merah, gusinya berdarah dan pipinya yang masih lembut lunak itu bengkak. Anak itu meraung sekeras-kerasnya mengguncang seisi kampung, hingga akhirnya Bapak diadukan ke polisi karena menganiaya anak-anak!”
Ada bulir bening di sudut mata Pak Naryo menunggu jatuh.
“Hanya itu?”
“Maksudmu? Apa perlu Bapak tambah lagi dengan yang lain? Tendangan misalnya, dari kaki yang menjadi sumber ejekan ini?”
“Bukan, maksud saya apa hanya karena itu, Pak Naryo terpaksa berurusan dengan yang berwajib?”
“Itu lebih dari cukup untuk melindungi anak-anak bangsa dari segala tindakan kekerasan yang dilakukan orang dewasa!”
“Tapi anak seperti itu memang perlu diberi pelajaran, Pak!”
“Pelajaran apa, pelajaran matematika? IPA?”
Aku hanya diam, tak bisa menertawakan lelucon Pak Naryo lagi.
Bulir bening yang dari tadi menggantung , kini telah mendapat waktu yang tepat untuk meluncur mencari jalannya. Hanya beberapa bulir. Itulah bulir air mata Pak Naryo yang baru pertama kulihat.
“Aku gagal, Nak!”
“Tidak, aku yakin kalau hal ini terjadi pada orang lain, tentu akan lebih parah akibatnya. Tidak sekadar ditempeleng.”
“Sejak kapan kau punya keyakinan orang lain bisa berbuat kesalahan lebih besar daripada kita? Apa dulu Bapak pernah mengajarkan hal itu kepadamu?”
“Bukan itu maksudku, tetapi apa yang telah Pak Naryo lakukan itu tak lebih besar jika dibandingkan dengan akibat yang akan ditimbulkan kelak saat anak itu tumbuh bersama sikapnya itu!” sekali lagi aku berusaha membesarkan hatinya. Aku tak sanggup jika Pak Naryo harus menghuni hotel prodeo dalam sebuah fase hidupnya.
“Sudahlah, siapa yang tahu masa depan seseorang? Kecil baik, setelah besar menjadi jahat, atau saat kecil nakal, tapi setelah besar justru jadi pahlawan. Itu menjadi rahasia Tuhan, nak!”
“Tetapi, Pak, bukankah itu semua bisa dikatakan sebagai hukuman atas sikap nakalnya? Atas sikap kurang ajarnya?”
“Tidak, dia tetap anak-anak yang harus dilindungi dari segala kekerasan orang dewasa! Tak peduli apakah anak itu berbuat salah atau tidak!”
“Nah, itu yang harus kita perbaiki. Kita harus melihat kasus perkasus, tidak bisa disamaratakan!”
“Sudahlah, tak perlu kau jadi pembela Bapak. Bapak menerima apa yang akan diputuskan hakim. Tak perlu kau tambah penyesalan Bapak.....”
Aku melihat beberapa bulir air bening meluncur dari sudut matanya, kali ini agak deras dan susul-menyusul. Aku pun tak tahu lagi apa yang harus kuperbuat, kupeluk tubuhnya, kubiarkan ia menumpahkan yang terpendam dengan isak di dadaku.
Tegal, 2011
Sumber: Kompas, 27 Januari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar