Pages - Menu

12 Desember 2011

Jalan Menuju Surga

Cerpen: M. Nurcholis

Konon, di balik tebing gunung itu, tinggal seorang lelaki pertapa yang sudah renta. Pertapa yang terkenal dari mulut ke mulut penduduk desa di kaki gunung. Pada mulanya, pertapa itu terkenal karena kebijaksanaannya. Namun tiap-tiap penutur cerita menambahkan bumbu-bumbu untuk cerita mereka, sehingga kini yang beredar di penduduk desa adalah:

Di balik tebing gunung itu tinggal pertapa yang sangat bijak dan sakti mandraguna. Apabila ada seseorang yang dapat bertemu dengannya, mintalah berkah kepadanya. Ia dapat menunjukkan jalan untuk menuju Surga, jalan kebahagiaan bagi umat manusia.


Begitulah, cerita itu terus berhembus mengikuti arah angin. Dari mulai desa-desa tetangga, kemudian menjalar ke kota-kota di sekitar daerah itu, sampai pada akhirnya cerita ini sampai ke ibukota.

Cerita ini terdengar pula ke suatu kelompok perkumpulan Pecinta Alam. Dahulu jumlah mereka belasan, namun kini—karena waktu telah memakan umur-umur mereka—jumlah mereka tinggal tiga orang.

Perkumpulan ini terbentuk semenjak mereka masih remaja. Kini, usia mereka rata-rata adalah 50-60 tahun. Ketika mendengar kisah pertapa tersebut, mereka sepakat untuk mendaki gunung bersama kendati usia mereka telah senja dan fisik mereka tentu tidak sebugar dahulu. Namun, demi alasan yang akan diceritakan kemudian, mereka sepakat untuk mendaki gunung tersebut guna bertemu dengan pertapa sakti itu.

Orang yang paling tua di antara mereka adalah seorang pria tua botak pensiunan hakim di pengadilan kota.
“Aku sudah bosan dengan kebohongan-kebohongan di dunia ini. Betapa keadilan di dunia ini adalah utopia. Waktu pun begitu cepat berlalu, kini usiaku sudah senja. Aku ingin mencari bekal untuk hidupku setelah ini. Lagipula, anak-anakku sudah mapan semua. Istriku pun telah tiada. Aku ingin mencari jalan ke surga.. Ingin mencari keadilan yang sebenarnya..” begitu jelas laki-laki tua itu kepada kawan-kawannya.

“Aku juga sudah malas menumpuk uang. Meski perusahaanku belasan, aku belum mendapatkan kebahagiaan. Kau tahu, kan? Anak-anakku semuanya jadi bajingan. Istriku malah pergi dengan lelaki lain. Meski kadang aku bersenang-senang dengan wanita-wanita muda tiap malam, aku tidak pernah merasakan yang namanya kebahagiaan. Kini aku sudah tua, sudah bosan dengan dunia dan kemewahannya. Marilah kita cari kebahagiaan yang sebenarnya, jalan menuju ke Surga Tuhan..” seorang lelaki berjas hitam berkata.

Kegagahan masih nampak dari badannya yang berperawakan tegap. Namun uban-uban itu dan kulit wajah yang mengeriput tidak pernah menyembunyikan usia.

“Baiklah, jika kalian sudah mempertimbangkan ini masak-masak. Kukira kalian harus mempersiapkan segala macam bekal yang diperlukan untuk perjalanan panjang ini. Sejauh pengetahuanku, gunung itu jarang sekali ada yang mendaki, aku sendiri belum pernah ke sana. Terakhir kabar yang kudapat, pemerintah menutup area itu karena banyak sekali pendaki yang tersesat. Namun, kita akan tetap kesana. Aku juga sudah bosan berpetualang. Kini saatnya aku mencari jalan menuju Tuhan..” lelaki tua terakhir ini adalah seorang petualang sejati. Selama hidupnya ia habiskan untuk bercengkrama dengan alam. Selama ini pun, dia belum beristri.

Petualangan adalah kekasih setianya, disamping pacar satu-satunya; kesunyian.

Maka, setelah mereka mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki gunung, mereka memulai perjalanan suci itu. Tas-tas ransel yang penuh dengan berbagai bekal mereka gendong dengan kepayahan. Sepatu gunung telah mereka kenakan. Tak lupa pakaian suci berupa kaftan coklat dikenakan, membalut tubuh renta mereka. Di pintu gerbang kota, mereka dilepas oleh kerabat dan orang dekat.

Guna memperoleh khidmat dari ziarah ini, mereka memutuskan berjalan kaki menuju gunung suci itu.

Perjalanan ini begitu riang dan penuh dengan nuansa spiritual. Mereka hemat dalam bercakap-cakap, mulut mereka terlihat merapal doa-doa yang sekiranya mereka hafal.

Selama perjalanan, mereka bertemu dengan berbagai macam orang. Orang-orang yang terlihat susah, terutama, pasti akan mereka bantu. Yang paling sering adalah lelaki tua pengusaha itu. Ia mengeluarkan uangnya seperti mengeluarkan dedaunan kering dari keranjang yang ia bawa di punggungnya.

Berhari-hari mereka menempuh perjalanan melewati dataran tandus, lembah, perkebunan, persawahan sampai akhirnya mereka tiba di sebuah desa di kaki gunung.

Memasuki desa itu, mereka bertemu dengan penduduk yang sedang sibuk menyiangi rerumputan.

“Permisi, Bapak.. Apakah benar di ujung sana adalah gunung tempat bersemayamnya pertapa suci dan mandraguna yang terkenal itu?”

Lelaki tua petualang itu bertanya dengan penuh harap.

“Ya, betul. Itu Gunung Suci. Tuan-tuan ini, ada perlu apa?” laki-laki desa itu menyahut.

“Kami ingin berziarah ke Gunung itu. Menemui pertapa suci yang konon tinggal di salah satu tebing sana..” jawab lelaki tua mantan hakim itu.

“Ya! Kami ingin mencari jalan menuju Surga!” Lelaki tua pengusaha benar-benar sangat antusias.

“Apakah Tuan-tuan di sini sudah yakin menuju gunung itu?” tanya lelaki desa itu kembali.

“Ya, kami sudah yakin. Kami ingin mencari Jalan menuju surga itu. Kami sudah begitu penat hidup di dunia ini.” Mereka berganti-gantian saling menjelaskan.

“Meskipun nantinya kalian tidak akan kembali lagi?”

“Meskipun nanti kami tidak kembali lagi!” Jawab mereka serentak berbarengan.

“Baiklah, bila Tuan-tuan berkeyakinan untuk itu. Silahkan Tuan ikuti jalan utama yang menuju ke kaki gunung itu, sampai Tuan temui hutan belantara yang sangat lebat. Tuan masuklah, itu jalan menuju ke puncak gunung.

Namun, Tuan jangan heran apabila Tuan nanti menemui jalan-jalan yang bercabang. Di salah satu cabang itu menuju ke tempat pertapa suci itu tinggal. Tuan pilihlah jalan yang terbaik bagi Tuan.” Jelas lelaki desa itu.

Mereka bertiga saling berpandangan sejenak. Setelah menguatkan tekad, mereka mengangguk bersama.

Mereka berterima kasih kepada lelaki desa itu, malahan laki-laki tua pengusaha itu memberikan segenggam uang.

Mereka mulai berjalan sesuai dengan arahan lelaki desa itu sampai akhirnya mereka tiba di depan pintu hutan yang sangat lebat.

“Sudah siapkah kita masuk, Teman-teman?” ucap lelaki tua petualang itu. Sungguh, tidak ada petualang yang lebih mendebarkan dalam hidupnya selain petualangan ini.

“Tentu, bagi kami dunia adalah tempat singgah yang sementara. Perjalanan kita sebenarnya baru akan dimulai.” Salah satu laki-laki tua itu menimpali. Tak jelas siapa yang berbicara, karena ketegangan begitu mencekat di dada.

“Baiklah, mari kita masuk..”

Mereka mulai masuk, menerabas kerumunan belukar dan pohon perdu. Tak lama kemudian, mereka menemui percabangan jalan. Mereka telah berjanji untuk sampai ke tujuan bersama-sama. Maka, mereka sepakat untuk memilih jalan secara bergantian. Giliran pertama adalah mantan hakim itu, kedua pengusaha itu dan ketiga lelaki tua petualang. Terus begitu, sampai mereka kelelahan.

Sudah puluhan kali mereka beristirahat sembari memakan bekal mereka. Jalanan ini seperti tanpa ujung. Setiap lima menit terdapat percabangan. Hal inilah yang membuat tiga orang peziarah ini kelimpungan. Sampailah pada suatu saat dimana bekal makanan dan minuman mereka telah habis.. mereka saling duduk bersandar dan terlihat sangat kepayahan.

“Teman-teman, apakah kita tersesat? Pertapa suci itu belum jua kita temukan. Jalan yang kita tempuh seperti jalan kesesatan..” desis lelaki tua botak itu. Ia sudah berbicara dengan mata terpejam.

“Teman-teman, benarkah ada Jalan Menuju Surga..?” lelaki tua pengusaha itu berucap lirih. Namun terlampau lirih untuk sekedar didengar oleh dirinya sendiri..
“Teman-teman...??”

Kini mereka merasakan perasaan yang sangat mencekam. Bayangan-bayangan selama mereka hidup kini nampak seperti slide yang diputar berulang-ulang di kepala mereka.

Hutan belantara telah memerangkap mereka pada sebuah sesat. Kumbang gunung bersahutan, daun-daun kuning jatuh ke tanah, menggabungkan diri bersama daun tua yang sudah membusuk, yang akhirnya nanti akan terurai menjadi hara tanah, kembali lagi ke pohon. Ketiga pendaki tadi pun demikian. Kini, mereka telah kembali lagi ke habitatnya. Barangkali, mereka telah menemukan jalan menuju surga yang sesungguhnya.

Pemerintah akhirnya resmi menutup Gunung itu untuk siapapun. Di kaki gunung itu, yang terdiri dari puing-puing bekas letusan gunung puluhan tahun silam, pemerintah memasang pagar pembatas berkawat duri. DILARANG MASUK. BERBAHAYA! Begitu tulisan itu. Hanya kesunyian yang tinggal di sana.

Adipala, 5 September 2011

M. Nurcholis lahir di Cilacap 22 Juni 1986. Menulis cerpen dan puisi di waktu senggangnya mengabdi kepada negara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Cerpen dan puisinya pernah dimuat di Harian Global, Suara Pembaruan, Jurnal Medan, Harian Aceh dan media online Kompas.com. beberapa kumpulan ceritanya dapat dilihat di www.kolasecerita.wordpress.com. Kontak: Twitter @n_choliz

Sumber: Kompas: 10 Desember 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar