Pages - Menu

13 Desember 2011

Anak Saya Seorang Presiden

Oleh: Ramdhani Nur

Anak saya yang baru saja duduk dikelas 1 SD yakin sekali jika besar nanti, dia akan menjadi seorang presiden. Entah dari mana pemikiran itu datang. Setahu saya dia jarang menonton berita di televisi dimana wajah presiden biasanya sering nongol. Tidak juga dari orang lain yang memberinya gambaran masa depan menjadi seorang yang berkuasa seperti itu. Dan yang jelas kami sama sekali tidak memajang foto presiden dan wakilnya di sisi tembok manapun di rumah kami, sehingga tidak ada pertanyaan darinya tentang seseorang yang tersenyum optimis di depan bendera merah putih itu. Tapi anehnya justru setiap orang yang bertanya soal cita-citanya kelak, dia akan menjawab tegas, gembira seperti anak kecil yang hendak mendapat hadiah: “Adi akan jadi Presiden!”

Entah mengapa pemikiran tentang menjadi presiden itu bagi saya adalah sebuah penyimpangan!
“Kamu terlalu berlebihan!” itu kata istri saya. “Umurnya saja belum tujuh tahun. Dia akan bilang ingin menjadi apa saja yang dia anggap hebat. Kalau dia bilang ingin jadi presiden mungkin sosok itulah yang dia anggap hebat.”


“Masalahnya dia tidak bilang begitu. Dia bilang, dia akan menjadi presiden. Ini dua hal yang sangat berbeda. Ingin dan akan. Bagaimana anak sekecil itu sudah bisa mengantisapasi masa depannya dan mengira akan menjadi presiden!”

“Kamu terlalu berlebihan!”
“Kamu sudah bilang itu tadi.”
“Ya, artinya kamu sudah terlalu berlebihan!”
Saya tahu percakapan ini tidak akan mengarah pada satu kecocokan. Istri saya tidak akan memperpanjang percakapan yang dianggapnya terlalu mengada-ada. Dia wanita sederhana yang menganggap bahwa kehidupannya dan sesuatu yang bersangkutan dengannya akan berlangsung wajar-wajar saja, sama seperti kehidupan banyak orang. Dia tidak bisa menerima kejutan-kejutan di dalam hidupnya, atau akhirnya dia akan menganggap itu sebaggai sebuah kenormalan juga. Artinya dalam kasus ini, saya harus mengantisipasinya sendiri. Dimana saya akan membiarkan istri saya menangani kehidupan normalnya seperti sarapan, sekolah, mengajarinya berhitung, ikut bermain, dan hal-hal lain semacam itu. Sementara saya akan tetap waspada pada penyimpangan keinginannya itu.

“Jadi kau tidak suka kalau anakmu jadi presiden?” tanya ayah ketika ia berkunjung ke rumah. Saya tahu ini rencana istri saya setelah pembicaraan dengannya beberapa waktu yang lalu. Dia tetap menganggap kalau pemikiran yang menyimpang itu justru ada pada saya.

“Tidak ada orang tua yang tidak suka anaknya menjadi presiden.”
“Lalu apa masalahnya?”
“Masalanya dia baru berumur tujuh tahun.”
“Dan dia tidak boleh bercita-cita?”

“Dia tidak bercita-cita. Dia akan menjadi presiden!”
“Lalu apa yang kau takutkan?”

“Entahlah…, bagiku ini suatu penyimpangan. Di umurnya yang sekarang dia sudah yakin akan menjadi presiden. Saya khawatir selama perkembangan hidupnya nanti pikiran itu menjadi sebuah obsesinya. Di sekolahnya dia akan berkoar-koar menjadi seorang presiden. Kemudian dia akan kuliah di fakultas hukum atau ekonomi, setelah lulus dia akan bergabung dengan partai politik besar. Bayangkan, hal buruk apa yang tidak bakal dia lalukan untuk memenuhi keingingiannya itu. Dia akan lebih parah dari Hitler karena telah menanam obsesi politiknya dari kelas 1 SD.”

“Kau ini terlalu berlebihan! Dia masih kecil, keinginannya akan berubah nanti.”

“Tidak juga! Kalau dia bilang akan menjadi Power Ranger atau Superman itu bisa berubah. Di umur 10 tahun nanti dia akan memilih cita-cita yang lain karena pada saat itu dia akan ditertawakan oleh teman-temannya. Tapi dengan menjadi presiden lecehan teman-temannya justru akan menjadi cambuk bahwa dia bisa membuktikan keinginannya itu.”

“Kau ini aneh! Waktu kau seusia dia yang aku khawatirkan darimu adalah kau tidak punya keinginan apapun. Setiap orang yang bertanya cita-cita padamu kau pasti cuma terdiam. Kau tidak menyebutkan mau jadi apa kelak, tapi itu tidak berarti kau tidak menjadi apa-apa sekarang.”

Sepertinya ayah saya benar. Mungkin memang tidak ada kaitannya antara keinginan masa kecil dan kenyataannya di kemudian hari. Dalam hal ini saya memang terlalu berlebihan.

Sejak pembicaraan dengan ayah saya itu rasa khawatir saya terhadap cita-cita anak saya semakin memudar. Apalagi sejauh ini saya tidak menemukan penyimpangan dari kesehariannya di rumah. Dia masih suka menonton film kartun di tv, bermain sepeda atau bermain bola jika ada yang mengajak. Saya mulai percaya pandangan istri saya bahwa hidup kami akan berlangsung wajar dan normal-normal saja. Tapi semua berubah, ketika dia pulang dari bermain bersama salah satu temannya. Saat saya tanya siapa temannya itu, dengan tenang dan berwibawa seperti anak sekolah yang baru naik kelas dengan nilai raport yang sempurna dia menjawab: “Ini Reza, Pah! Dia mentri pertahanan Adi!”

Terbukti kan!!!

Malamnya, setelah kembali membincangkan masalah ini dengan istri saya yang juga tidak berujung pada kecocokan, saya putuskan untuk berbicara langsung dengan anak saya, meski hal ini sangat ditentangnya. Katanya ini akan membunuh salah satu harapan terbesarnya, salah satu fantasi terhebatnya, dan itu yang malah bakal mempengaruhi perkembangannya nanti. Tapi akhirnya dia pasrah saja ketika saya duduk di ranjang anak saya saat dia meminta didongengkan sebuah kisah.

“Kenapa Adi ingin jadi presiden?” tanya saya ketika dia mulai jenuh dengan dongengan saya.
“Abis hebat sih, Pah! Presiden kan bisa punya mobil bagus, terbang pake pesawat, punya rumah besar dan kaya…”

Untunglah gambaran itu yang ia dapatkan dari sosok seorang presiden.
“…bisa ngatur-ngatur orang, punya tentara sendiri, bisa buat perang…”
Oh, tidak juga ternyata!!!

“…bisa nyerang musuh… dor dor dor!”
Lalu seperti tertarik pada khayalannya itu, saya baru berani bertanya, “emang presiden bisa buat perang ya?”
“Bisa dong! Kan presiden yang paling berkuasa!”

“Betul, tapi tugas presiden juga berat karena yang ngasih kekuasan itu kita… rakyatnya. Kalau presidennya nanti nggak bisa ngatur negara dengan bener, nggak bisa ngasih uang dan makanan buat rakyatnya yang miskin, nggak bisa sekolahin anak-anak sampai tinggi, nggak bisa melindungi rakyatnya yang lemah, nanti malah rakyatnya yang akan marah, karena dia nggak bisa ngejalanin amanat mereka. Bukan itu saja, Tuhan juga akan marah. Karena Tuhan tidak suka sama orang yang tidak amanah.”
“Tuhan akan marah sama presiden?”
“Ya!”
“Apa presiden takut sama Tuhan?”
“Tentu saja!”
“Kenapa?”
“Karena presiden itu cuma manusia dan Tuhanlah yang menciptakan manusia. Tuhan juga yang menciptakan presiden. Tuhan bisa berbuat apa saja pada ciptaannya. Karena Tuhanlah yang paling berkuasa.”

Anak itu termenung lama. Entahlah, apa cerita saya tadi benar-benar bisa dimengerti olehnya, yang jelas dia seperti menemukan kebenaran baru. Lalu setelah saya bercerita tentang sebuah dongeng lain, dia kemudian terlelap.

Besok-besoknya saya tidak pernah mendengar lagi keinginannya untuk menjadi presiden. Bayangan tentang itu sepertinya sudah lumer di otaknya. Terkadang saya merasa bersalah juga karena telah menghancurkan impian seorang anak kecil untuk menjadi sesuatu karena sebuah kekhawatiaran saya yang terlalu berlebihan. Tapi mungkin itu jalan yang harus dilalui sehingga dia tidak perlu melewati gurun yang menghanguskan nantinya. Saya beruntung karena sampai saat ini saya masih belum menemukan keanehan prilaku dia sehari-hari. Dia tetap gembira dan tertawa. Apalagi ketika kakeknya menggendong dia di atas pundaknya, dia semakin girang saja. Ini makin membuat saya yakin kalau saya tidak membuat kesalahan.

“Adi, turun! Kasihan kakek dong!” teriak istriku sambil membawa minuman dingin ke teras rumah di halaman belakang.

“Kakek capek?”
“Ya, kakek harus minum es buatan Mamamu dulu biar seger lagi.”
“Minum jamu juga ya? Kata Mama, Kakek suka minum jamu!”
“Kadang-kadang Kakek juga suka minum jamu biar sehat terus. Nah, kalo Adi harus banyak minum susu biar cepat besar, biar cepat jadi presiden seperti cita-cita Adi.”

“Adi tidak mau jadi presiden!”
Benar kan! Memang benar-benar sudah hilang keinginannya itu. Setelah ini saya percaya dia akan memilih menjadi sesuatu yang lain yang lebih realistis.

“Terus Adi mau jadi apa?” tanya kakeknya kemudian.

Lalu dengan penuh percaya diri persis seperti seorang anak kecil yang baru memenangkan lomba dia menjawab dengan tegas dan berwibawa: “Adi mau menjadi Tuhan!”
Blasss…tiba-tiba seluruh badan saya langsung lemas.

Cirebon, revisi 2011 

Sumber: Kompas,  13 Desember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar