Pages - Menu

09 November 2011

Penampilan Prima Pustakawan

  • Oleh Ahyati Rahayu
ADA pepatah Jawa yang selalu penulis tekankan di tengah pekerjaan sebagai seorang pustakawan, ”Ajining diri saka lati, ajining raga saka busana”. Penulis ingin menekankan pentingnya penerapan pemetaan pikiran ”aji” ini ketika kita membicarakan mengenai penampilan orang dalam suatu bidang atau profesi tertentu, yang dalam hal ini adalah profesi pustakawan.

Diakui atau tidak, sejauh ini pustakawan masih banyak dipandang sebagai profesi yang kurang ”bergengsi”, meskipun kenyataannya tetap mempunyai andil besar, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.


Maka ketika berbicara tentang ”gengsi” dan penampilan, tentu akan terkait dengan bagaimana para pustakawan seharusnya tampil dengan citra diri yang prima, dan kepribadian yang menarik.
Kata ”prima” dalam Tesaurus Bahasa Indonesia (Eko Endarmoko, 2007), diartikan sebagai primer, terbaik, atau paripurna.

Secara lebih luas, kita bisa mengartikannya sebagai sempurna, bagus, menarik, top, juga mengandung makna sebagai kata yang sangat positif untuk penilaian terhadap sesuatu.

Terkait dengan pustakawan, diharapkan orang-orang di profesi ini melakukan pekerjaannya dengan mengetengahkan penampilan secara sempurna, dengan kepribadian yang menarik.

Kalau dalam dunia pelayanan publik sekarang ini pustakawan dituntut untuk berpenampilan prima, tentu karena disadari persyaratan tersebut merupakan salah satu aspek kinerja.

Pustakawan berada dalam lingkup profesi yang memberikan pelayanan kepada pemustaka.

Menjadi Kesan

Dahulu, fenomena yang kita jumpai lalu menjadi semacam kesan atau cap adalah ketika kita berkunjung ke sebuah perpustakaan.

Mungkin, yang melekat dalam ingatan, kita sering berhadapan dengan pustakawan-pustakawan yang berpenampilan kurang menarik, seadanya, melayani pemustaka secara sembarangan, muka kurang bersahabat,  berkesan galak, dan mahal senyum. Intinya, lebih banyak yang berpenampilan kurang simpatik.
Gambaran seperti itu sekarang sudah tidak layak lagi. Mengikuti standar pelayanan umum, kini penampilan pustakawan sudah harus berbeda.

Melayani siapa pun yang membutuhkan, pustakawan harus tampil percaya diri dengan profesinya, menjadi dirinya sendiri.

Semua itu membutuhkan kesadaran untuk meningkatkan kemampuan berprofesi, tampil menawan, segar, dan bersemangat melayani.

Seperti yang disampaikan oleh Harry Darsono dalam Seminar ”Service Exellence in Library: Performance Aspects for Librarians” di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, manusia digerakkan oleh mind dan mood (2M), dan menurut rumusan holistiknya, manusia hanya digerakkan salah satu dari 2 M tersebut.

Mood menimbulkan reaksi rasa suka atau tidak suka. Mind menimbulkan reaksi pertimbangan perlu atau tidak perlu, The bigger your mood, the smaller your mind and the bigger your mind, the smaller your mood.
Garis pembatas antara mind dan mood atau pekerjaan dan pribadi harus tegas dan makin diperjelas secara terus menerus demi menghindari konflik klasik yang berkelanjutan.

Sikap proaktif seseorang akan melahirkan senyuman, ucapan, sikap tubuh, kecepatan, kerapian, pertolongan, penghargaan dan perhatian yang baik. Kepribadian setiap individu ini memang sangat unik.

Keunikan inilah yang dapat menciptakan kreativitas, dan saat sekarang inilah kita harus kreatif. Saya, Anda dan dia, mereka, kita semua harus kreatif.

Ada kemauan untuk belajar, berubah, memperbaiki dan memperbarui. Dengan kata lain, melakukan revolusi.
Dari pengalaman penulis bekerja di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Unissula yang  telah melewati sejarah renovasi infrastruktur dan kultur menjadi cyber library, penulis merasakan pentingnya tuntutan penampilan prima itu.

Perpustakaan modern dipelopori oleh Rektor Unissula Laode M Kamaluddin yang menekankan perpustakaan sebagai ”jantungnya perguruan tinggi”, menginspirasi lewat prasasti dengan kalimat ”The Excellent Cyber Library is the Heart of the Excellent Cyber University”.

Kalimat itu menuntut pengelola perpustakaan untuk selalu tampil dinamis. Meskipun banyak staf yang sudah yang berusia tua, namun kinerja yang prima tidak boleh menjadi halangan.

Maka untuk memperbaiki mindset mengenai tampilan prima seorang pustakawan, dibutuhkan kemauan.
Citra penampilan itu akan tergantung pada sejauh mana kita berusaha selalu memberikan pelayanan terbaik kepada para pemustaka dan semua orang yang akan dan ingin berhubungan dengan perpustakaan.

Citra diri yang prima ini lebih ditekankan pada inner performance yang meliputi ketulusan, keikhlasan, dan komitmen dari diri pustakawan.

Jika para pustakawan punya kesadaran untuk memperbaiki kinerjanya dengan menjaga penampilan prima, hal itu sama dengan memartabatkan profesinya.

Secara lebih luas lagi, akan memberikan kesan bahwa perpustakaan merupakan arena olah ilmiah yang membuat nyaman. (24)

— Dra Ahyati Rahayu, Kepala UPT Perpustakaan Unissula, Ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Jawa Tengah

Sumber: Kompas, 05 Nopember 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar