Pages - Menu

26 Oktober 2011

Romansa Warung Makan

Cerpen M. Nurcholis

Pertemuan adalah hal yang seringkali tidak dapat kita tebak. Sesuatu yang datang dengan sendirinya, dengan tiba-tiba. Dari pertemuan lah, nasib manusia sering ditentukan. Beberapa dari mereka banyak yang mengabaikannya, seolah itu adalah bagian dari rutinitas hidup, yang memang, bertemu dengan orang-orang yang sama. Hidup adalah hal yang wajar. Namun tidak sedikit pula yang memahami, bahwa pertemuan adalah nutfah-nutfah yang membentuk nasib kita, pelan-pelan namun pasti membawa kita ke dalam suatu tujuan.


Siang yang terik. Udara yang begitu berisik, aku berjalan menuju warung makan Bu Jul di belakang kantor, masih di bilangan Kalibata. Matahari belum tepat benar berada di atas ubun-ubun, kulihat jam tangan masih belum bergeser dari angka sebelas. Belum saatnya istirahat. Namun hari ini aku lapar betul. Pagi tadi aku alpa sarapan tersebab pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Tak apalah aku istirahat awal, toh pekerjaan sudah kurampungkan.


Warung belum terlalu ramai. Hanya ada dua pengunjung yang kutebak adalah sopir bajaj, sebab di depan warung terparkir dua bajaj yang sangat memprihatinkan. Bajaj adalah jenis kendaraan yang terbatuk-batuk di tengah deru kendaraan Ibukota. Hanya dua kali aku pernah menaikinya, itupun karena terpaksa. Satu karena aku datang terlalu pagi di terminal Lebakbulus, dulu sewaktu masih kuliah. Dua karena aku tidak menemukan kendaraan lain di bilangan Cempaka Putih saat pukul dua belas malam. Dan keduanya benar-benar membuat jantungku berdetak lebih cepat beberapa desibel. Sebab bila bajaj berbelok, tiba-tiba penumpang beserta sopirnya akan ikut rubuh, miring sekitar 45 derajat. Betul-betul suatu hal yang tidak terduga. Maka benarlah, hanya Tuhan dan sopir bajaj yang tahu kemana bajaj itu akan berbelok.


Siang yang terik, aku memesan menu berkuah. Sop pada mangkuk terpisah, dua tempe goreng, perkedel serta sedikit tumis kacang. Untuk minumnya, es teh sangat tepat memanjakan tenggorokan yang penuh dengan dahaga. Aku duduk dengan malas pada kursi lajur. Menghadap ke arah jalan yang terlihat dari jendela-jendela papan yang tersusun renggang-renggang. Sebelum menyantap makanan, seperti biasa, aku mengecek handphone memastikan tidak ada panggilan ataupun pesan yang akan mengganggu kenikmatan bersantap siang.

Tepat ketika aku hendak menyuapkan sendok pertama, seorang perempuan—yang kulihat sekilas berkuncir kuda—memasuki warung makan. Entah mengapa tiba-tiba semilir angin menerpa wajahku yang sedikit berminyak ini. Tidak begitu jelas apakah berasal dari kipas angin yang bertengger di dinding atas pintu itu atau memang sebab kedatangan perempuan itu. Aku berusaha tidak peduli. Meski kadang ekor mataku ini menangkap bayangan perempuan menunjuk-nunjuk menu yang ia inginkan, dan seiring bergeraknya kepala, rambut kuncir kudanya akan bergoyang-goyang. Aku tersenyum sambil mengunyah makanan. “Tambah kuah lodehnya sedikit, Bu” “Eh, udah..udah.. cukup segitu saja. Makasih.” Ucapnya manis pada Bu Julianti. Wanita itu berbalik, kutebak dari detak sepatu pantovelnya yang mendekat kepadaku. Aku masih diam, meski hati ini berdesir sedikit. Kunyahan-kunyahan di mulutku sekarang lebih jelas terdengar. Warung ini tiba-tiba sepi, sepi
sekali.

Maaf ya, Mas. Saya duduk di sini.” Ucapnya sambil meletakkan piring di sebelah kiri tempat dudukku. Nyaris tak berdentang. “Oh, iya silahkan, Mba.” Jawabku kikuk. Pada kesempatan ini, kucoba untuk menangkap sejenak wajahnya. Demi Tuhan, aku hampir saja menjatuhkan gelas di bibir meja. Tiba-tiba saja wajahku seperti terpaku, terpana oleh senyum dua senti seperti di iklan-iklan pasta gigi itu. Bedanya, model yang di depanku ini perempuan yang luar biasa cantiknya. Kalau boleh dibilang, model yang di televisi itu nilainya tujuh, ini sembilan.

Aku agak sedikit bergeser ke kanan, meski jelas-jelas tempat duduk di sebelah kiriku masih lempang. Ia duduk, berjalan memutar memasuki ruang antara meja lajur dengan kursi lajur ini. Ia mulai menyendok makanannya. Aku diam saja. Beberapa kali sendok dan garpunya beradu memisah udang rebus itu, nyaris tanpa denting. Aku masih diam, masih mengunyah makanan dengan tenang. Satu suap, dua suap, tiga suap sampai pada akhir suapan. Kami khusyuk dalam diam.

Entah mengapa, semenjak bertemu dengan perempuan berkuncir kuda itu, aku senantiasa terbayang-bayang akan wajahnya. Kulitnya yang putih, senyum dua sentinya yang mungil, perawakan anggun saat memakai pakaian kerjanya, dan yang paling kuingat rambutnya yang dikuncir. Bukan jenis rambut yang jatuh bila dikuncir, namun rambut yang tegak. Yang apabila ia menggerakkan kepalanya, rambut itu akan ikut bergoyang menyelaraskan kemana kepala itu menoleh. Lucu, lucu sekali.

Maka, pada hari-hari berikutnya aku memutuskan untuk kembali makan siang di warung makan Bu Jul kendati beberapa teman-temanku mengajak makan siang di lain tempat. Waktu makan siang dengan sengaja aku paskan menjadi pukul sebelas, kurang sedikit beberapa menit. Aku yang berkantor di Instansi Keuangan ini tentu sudah menyalahi jam istirahat. Namun kurasa ini tidak menjadi masalah, sebab saat waktu jam istirahat masih ada, aku sudah berada di tempat kerja. Kompensasi lah. Hari berikutnya aku tidak bertemu dengan perempuan berkuncir kuda itu. Nihil. Agak kecewa sebenarnya. Akhirnya aku hanya mendengar pembicaraan kedua sopir bajaj yang rupanya sudah langganan di warung ini. Tidak jauh-jauh obrolan mereka, tentang maraknya kasus korupsi di suatu instansi keuangan dan menyebutkan bahwasanya mereka semuanya sama saja: tukang palak uang rakyat. Aku geram. Nasi berlauk bandeng goreng dan sayur lodeh itu setengahnya tertinggal di atas piring, aku keburu muak dengan mereka.

Hari selanjutnya, bila bukan masih berharap bertemu dengan perempuan bersenyum dua senti itu, aku takkan menyambangi lagi warung Bu Jul. Masih di jam yang sama, masih pada saat matahari belum tepat benar di atas ubun-ubun, aku berjalan menuju warung makan Bu Jul. tentu membosankan bukan cerita yang begini-begini ini? Namun segala kebosanan ini sebentar lagi pasti hilang. Memasuki langkah pertama ke dalam warung, aku disambut oleh semilir angin yang menerpa wajah berminyak ini. Aku memandang ke atas pintu, oh, kipas angin jumbo bu Jul sudah dinyalakan. Namun lebih dari itu, di depan deretan menu-menu, di depan kaca etalase, aku melihat seorang perempuan tengah memilih jenis makanan. Perempuan yang tingginya kisaran 167 senti meter, memakai blouse kerja, bersepatu pantovel, bersenyum dua senti dan.. ya, tentu rambut kuncir kuda itu! Yang berderaian bergerak kesana-kemari. Aku tersenyum. Dua orang penarik bajaj yang biasanya duduk di pojokan sana tidak nampak. Barangkali ingin memberikan kesempatan kepadaku untuk menikmati makan siang kali ini.

Perempuan berkuncir itu duduk di kursi lajur pertama yang menghadap jalan, tempat pertama kali bertemu. Jangan-jangan ia ingin mengulang pertemuan lusa. Aku segera memilih menu siang ini. Nasi setengah, sebab sebenarnya aku belum lapar benar, tumis kacang, tempe goreng dan udang rebus. Warung masih sepi. Aku memberanikan diri untuk meletakkan piring di sebelah kanan perempuan itu, dengan sedikit dentang dari piring dan meja yang beradu.

“Maaf, bolehkah saya duduk disini?” tanyaku sedikit malu-malu. “Oh, tentu saja. Silahkan, Mas?” jawab perempuan itu tanpa menggeser duduknya, karena memang di samping kanannya kursi lajur itu masih lapang benar. Aku melompati korsi lajur, memposisikan duduk senyaman mungkin meski dada ini sedang berdesir-desir. “Sendirian saja, Mas?” ucap perempuan tadi tepat saat aku hendak memasukkan suapan pertama. “Eh, iya mba.” Terpaksa kuturunkan kembali sendok ini. “Mba sendirian juga?” tanyaku kikuk. “Iya, Mas. Eh, mas yang kerja di Gedung Keuangan di depan itu, kan?” “Betul. Mba sendiri kerja dimana? Sepertinya saya jarang melihat disini.” “Saya masih magang, mas. Di kantor Depnakertrans. Samping kantor Mas.” “Ooh, begitu.” Selanjutnya kami asyik dalam perbincangan remeh temeh, perbincangan orang yang baru saja berkenalan. Mengenai makan, aku memasukkan nasi sedikit-sedikit dalam tiap suapan. Tentu sebab satu hal: supaya makan siang ini jangan lekas cepat berlalu. “Oh iya, Mba namanya siapa?” tanyaku pada suapan terakhir. Tak kenal maka tak sayang. “Wah iya, sampai lupa kita berkenalan. Saya Zhafira.” Jawabnya manis. “Safira?” aku kurang jelas menangkap jawabannya. “Zhafira, mas.. Shabira Zhafira.” Jawabnya pelan. Ya, man shabara Zhafira. Barang siapa bersabar, ia akan menang. Aku teringat salah satu nukilan buku yang terakhir kubaca tadi malam. “Oke, Zhafira saya undur diri dulu. Senang berkenalan denganmu.” Pamitku. Rasanya kurang pantas aku berlama-lama di warung makan. Kulihat dia juga sudah menghabiskan makanannya. “Mari, mas.. Saya masih menunggu teman saya.” Jawabnya manis. Senyum dua senti itu dikembangkannya.

Aku segera membayar makanan, termasuk Zhafira. Namun kuucapkan diam-diam kepada Bu Jul tanpa sepengetahuannya, supaya tidak terkesan aku ini orang yang gampangan. Aku melangkahkan kaki keluar dari warung. Ada sesuatu yang membuat dada ini berbunga-bunga. Siang tidak lagi terik, udara tidak lagi berisik. Di tiap pandang, hanya ada Zhafira yang cantik. ***

Aku masih duduk cemas di kursi tunggu pasien. Sudah dua jam yang lalu istriku berada di kamar persalinan bersama ibu mertuaku. Dua minggu terakhir, istriku kutitipkan kepada ibu mertua sebab kandungannya sudah memasuki bulan kesembilan. Aku tidak mau mengambil resiko saat ia melahirkan nanti. Aku harus bekerja, tentu tidak setiap saat ada di sampingnya. Selama dua minggu itulah aku seperti bujangan kembali.

Istriku ini, aku sayang betul kepadanya. Kami menikah sekitar satu tahun lalu, dari sebuah pertemuan di Perpustakaan Nasional. Kami sering berjumpa setelahnya. Dari sanalah kami kemudian merencanakan hidup bersama.

Aku terbuyar dari lamunan ketika tangis seorang bayi melengking menyayat kesepian. Bergegas, aku masuk kamar persalinan.

“Selamat, anak anda perempuan. Lahir dengan proses normal.” Jawab dokter dengan senyuman yang tersembunyi di belakang maskernya.

Aku segera mengucapkan terima kasih, lantas mengumandangkan adzan di telinga mungil bayi ini. Perasaanku bercampur aduk. Inikah perasaan menjadi seorang bapak? Istriku terlihat kepayahan, keringat dingin sebesar kerikil-kerikil itu bercucuran di dahinya.

Seorang suster mempersilahkan istriku untuk melihat bayi yang masih kemerah-merahan. Ia tersenyum. Sangat bahagia. “Mas, anak kita perempuan..” “Iya, dek.. cantik sekali.” “Mas sudah mempersiapkan nama untuknya?” Aku diam sebentar. Tiba-tiba saja, entah ide ini datangnya dari mana, meluncur nama dari mulutku. “Shabira Zhafira.” Jawabku agak tercekat. Istriku tersenyum, bayi ini pun tersenyum. Manis. Manis sekali.***

Pengadegan, April 2011

M. Nurcholis penikmat sastra, tinggal di Jakarta, buku kumpulan ceritanya bersama Nana Sastrawan dkk. “Hampir Sebuah Metafora” terbit tahun 2011. Twitter: @n_choliz

Sumber: Kompas, 25 Oktober 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar