Cerita pendek Rayni N. Massardi
"Kenapa bu...? Kok ibu tega..." melas seorang anak berkata pada ibunya. "Hush...sana main keluar berisik.." usir ibunya mengindahkan rengek anaknya.
*** Aku bernama Pocong. Entah kenapa kedua orang tua saya tega memberi nama begini. Jawaban mereka singkat , gampang saja : "Kenapa tidak!"
Lho!
***
Saya hidup tidak dengan baik. Karena sepanjang waktu tahun ganti tahun tidak ada sekali pun mempunyai teman akrab untuk diajak bermain. Saya takut kepada diriku sendiri. Banyak orang ketika mengetahui namaku Pocong langsung kabur. Walau kusapa dengan lembut.Walau kupanggil dengan perlahan. Tetap saja tidak ada satu manusia pun mau berteman denganku. Kecuali ibu. Ibuku yang sembarangan memberiku nama. Kalau pun aku paksa untuk memberi alasan yang masuk akal. Mentoknya ia hanya menjawab itu pemberian dari bapakmu ketika kau lahir.
Gila juga nasib namaku! Aku sendiri hanya menamai diriku Ocong.
Tapi ibuku selalu dengan lantang--bahkan berteriak--teriak panggil aku POCOOoooNG! "
***
Pada mulanya nama ini tidak mengganggu. Lama kelamaan semakin jelas dan mengerikan bebarengan aku beranjak besar.
"Apa maksud orangtuaku 'menyiksa'ku dengan memberi nama sembarangan? Aku takut...dan semua anak-anak juga takut...bagaimana ini " tanyaku kepada seorang 'teman' yang sebenarnya juga teman terpaksa.
"Makanya ganti nama? Gampang kan..." "Iya enggak boleh toh...kata ibuku bisa kualat.." kataku. "Yang payah siapa, kamu atau ibumu? Kok tega anak sendiri dikasi nama Pocong! Enggak ada nama lain apa?" "Kata ibuku spontan dan aku harus menghormatinya." "Hormat apa! Orangtua melahirkan anak kok untuk ditertawakan orang! Bagaimanaaaa sih sial kamu.. payah kamu Cong!" ejek 'temanku'
*** Usiaku sekarang15 tahun. Saya butuh kawan. Saya rindu perhatian. Bapak sudah pergi entah ke mana sejak saya berumur 3 tahun. Dan ibu setengah mati membesarkan saya. Kerja semaunya, sedapatnya.
Setiap hari marah-marah saja. Ibuku perempuan yang menderita. Tidak pernah ada senyum di bibirnya.
Hampir setiap hari menangis. Saya pun sebagai anak satu-satunya hanya bisa diam dan merasa sangat iba.
Kenapa juga udah tahu mereka miskin nekat ingin punya anak? Sekarang gue jadi korban kemelaratan mereka. Sepertinya ibuku tidak suka denganku. Tiap kali kami berpapasan selalu hardik dan omelan sapaannya. Juga ayahku.. Pergi mati begitu saja tidak bertanggung jawab meninggalkan segala kesulitan bagi anak dan istrinya. Sungguh manusia tak bertanggung jawab! Dan yang paling fatal AKU BERNAMA POCONG!
***
"Bu... Ibu sayang tidak dengan saya...?" "Kenapa ada pertanyaan begitu? Apa saya pernah pukul kamu?
Kamu saya biarkan lapar? Kamu sudah saya lahirkan! Mustinya bersyukur udah lahir! Bisa lihat dunia! Kamu bisa bermain sepanjang hari. Kok protes..?
Yang musti marah adalah aku, istri yang ditinggal suami meninggal! Mana janjinya, mana tanggung jawabnya malah menelantarkan kita berdua!" "Kan saya enggak menuntut dilahirkan! Saya tidak mau dilahirkan dan diberi nama POCONG!" "Ya sudah telanjur, kamu sudah ada! Kebetulan saja namamu itu. Terus kamu mau balik lari kemana!" ibu mulai jengkel. "Bu.. Kenapa kita miskin.?" "Karena ayahmu pergi! Karena orang-orang tidak mau terima...ibu orang jelek, tua, enggak pintar...Jadi hanya bisa bekerja seadanya..."
"Bu...saya takut..." "Kenapa?" "Bu...saya sangat takut dengan nama saya.. " "Ngomong apa kamu Poconggg ..ngawur... Sana tidur.. Besok pagi kamu bantu ibu besihkan rumah pak lurah..lumayan kita bisa dapat uang..." "Bu...kok ibu begitu..." "Begitu apa? Udah tidur!" "Bu. .. ibu saya takut..dia selalu lihatin saya..." "Siapa ?" "Ah..e..e.. Takut bu!"
*** Berminggu lalu bahkan berbulan waktu lewat. Pocong tumbuh menjadi anak yang semakin diam. Nyaris tidak pernah bicara. Dia sudah tidak sekolah Hampir tiga tahun Pocong bengong luntang lantung di jalanan, di mana saja. Sempat sekolah-sekolahan. Itu juga ngasal. Ikut beberapa kawan sekitar daerah tempat anak-anak suka nongkrong. Anak-anak miskin. Sekedar mendapat pelajaran baca tulis dan sedikit ilmu pengetahuan, sedikit praktik dasar. Semua itu sumbangan suka rela ada beberapa mahasiswa sekitar . Tidak ada kelanjutan tahap lanjutan. Itu saja.
Lama kelamaan banyak anak-anak menjadi bosan. Karena tahu persis masa depan sudah pasti tidak akan ada. Untuk apa buang waktu belajar. Siapa yang mau terima orang miskin. Siapa yang mau mempekerjakan orang ceking dan bodoh.
Akhirnya Pocong lebih banyak menung-menung di pinggir jalan atau main di pasar. Karena tenaganya lebih berguna di sana. Menjadi kuli kasar, menjadi ojek payung. Hanya itu saja yang mampu dilakukan Pocong
***
Kembali waktu berlalu. Ibu Pocong meninggal dunia. Entah momen ini perlu dirayakan dengan suka cita atau duka cita. Karena Pocong sudah tidak perduli lagi. Dia pun enggak paham hidupnya harus bagaimana dan ke mana.
Pocong tinggal sendirian. Kehidupannya yang tidak menarik semakin tak menarik. Hidupnya selalu penuh ketakutan. Menjelang malam selalu badan Pocong gemetar. Kadang dia bisa mengeluarkan airmata begitu saja. Bukan airmata menangis tapi air mata marah besar, air menetes tanda benci pada dunia!
Dia hanya punya tempat untuk tidur di balik dinding sebuah warung yang kebetulan beratap. Berteduh dari kepedihan dan kegalauan.
Hanya untuk yang namanya malam!
Tetapi kalau hujan iya basah kuyup. Dan malam iya kena angin!
***
Pocong hanya hidup dari belas kasihan siapa saja yang kebetulan merasa iba melihatnya. Tetapi jumlah orang-orang yang peduli kepadanya bisa dihitung dengan jari. Yang pasti Pocong hidup sengsara. Kring krontaNG!
Secara fisik dia juga kelihatan tak sehat. Makin hari makin kurus. Kedua bola matanya nyaris keluar.
"Apakah ada Tuhan di dekatku?" tangis Pocong.
***
(Bagian dari buku terbaru: "FOR THE FIRST TIME IN MY LIFE" PERTAMA KALI DEH…! Pour la premiere fois! POCONG KETAKUTAN! by rayni n.massardi)
Sumber: Kompas, 14 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar