Pages - Menu

24 September 2011

Menegakkan Keadilan untuk TKI

Oleh: Ali Rif’an

Judul: Menghakimi TKI: Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI
Penulis: Fathor Rahman
Penerbit: Pensil-324, Jakarta
Tahun: I, 2011
Tebal: xxiii+316 halaman
Harga: Rp 70.000


Hukuman pancung yang diterima Ruyati empat hari setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di depan sidang Organisasi Buruh Internasional (ILO), Jenewa, Swiss (14/6) Juni lalu benar-benar menampar muka bangsa Indonesia. Betapa tidak, wacana SBY di forum internasional tidak berbanding lurus dengan kenyataan di negeri sendiri. Ruyati mati tanpa sempat membela diri ke mahkamah tinggi Arab Saudi. Kini peristiwa Rumati belum usai, sekarang disusul dengan kasus Sumartini, TKW asal Nusa Tenggara Barat yang juga akan dieksekusi dengan tuduhan melakukan sihir meracuni anak majikannya.


Dan kini, masih ada sekitar 27 orang terancam hukuman mati. Fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seolah sudah dalam titik nadir di negeri ini. Bayangkan saja, mulai dari perjalanan mereka pra-pemberangkatan, saat pemberangkatan dan pasca pemberangkatan selalu dirundung masalah. Baik TKI legal maupun ilegal. Padahal, menjamurnya TKI ini merupakan konskuensi dari ketidakpecusan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan.

Dilihat dari sejarahnya, munculnya TKI di negeri ini berawal dari goyahnya kepemimpinan Orde Baru sekitar tahun 1997, yang ditandai dengan aksi amuk massa akibat goncangnya perekonomian nasional. Krisis moneter pun terjadi. Akibatnya, peluang dan kesempatan kerja dalam negeri semakin tipis, tidak sebanding dengan pengangguran yang tumbuh subur seiring berjalannya waktu. Kemiskinan pun semakin merajarela akibat tuntutan hidup yang tak tertahankan.

Melihat kondisi seperti itulah, pemerintah akhirnya mengambil kebijakan untuk mengirim TKI keluar negeri (imigrasi) sebagai solusi akhir terkait dengan penanggulangan pengangguran dari keterbatasan lapangan pekerjaan dalam negeri. “Revolusi Hijau” pun dengan membabi-buta digelindingkan pemerintahan Orde Baru. Sebagai konskuensinya, terjadilah deferensi sosial antara pemilik modal (pihak kapital) dengan kaum buruh tani. Di sinilah kemudian muncul tabiat kaum tani yang termarjinalkan oleh sistem sentralistik untuk berputar 180 derajat, dari petani menjadi TKI. Buku berjudul Menghakimi TKI: Mengurai Benang Kusut Perlindungan TKI ini hadir sebagai respon atas kemandulan negara memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap TKI yang ada di luar negeri. Sebab, kebijakan pemerintah tentang TKI terkesan paradoks dan cari enaknya sendiri. Coba bayangkan, pemerintah pada tiap tahunnya mengantongi devisa triliunan rupiah dari TKI. Namun dari sisi regulasi dan jaminan keamanan, pemerintah cenderung abai. Tahun 2009 saja, pemerintah mendapatkan devisa sebesar USD 20,75 miliar atau 20,75 triliun dari TKI.

Tentu apa yang dilakukan pemerintah selama ini tidak sejalan dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan maupun Undang-Undang No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (UU PPTKILN). Begitu halnya dengan UUD 45 pasal 27 ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan  yang layak bagi kemanusiaan. Tetapi pada praksisnya, kita menemukan kenyataan yang kontras. Tindakan semena-mena dan tidak perikemanusiaan terhadap TKI di tengah-tengah kehidupan bernegara dan berhukum seolah-olah dibiarkan tumbuh subur. Meskipun dinegeri ini telah gonta-ganti penguasa, ternyata tidak diikuti pergantian paradigma pengelolaan TKI yang lebih profesional. Perlindungan hukum dan hak asasi mereka hanya sebatas retorika belaka dan terselip dikertas kebijakan-kebijakan penguasa yang telah usang.

Di sinilah Fathor Rahman seperti memiliki kesimpulan bahwa penempatan TKI agaknya lebih dominan daripada perlindungannya sendiri di negeri ini. Sehingga TKI terkesan sebagai barang komoditas yang sewaktu-waktu siap diekspor dengan konsekuensi ikhlas menghadapi penyiksaan majikannya. Untuk itu, harapan kita semuanya adalah jika pengiriman tenaga kerja ke luar negeri terus masih ingin dijalankan, harus ada pembaharuan sebuah konseptualisasi normatif yang mencoba melakukan revisi dan reformasi hukum perlindungan TKI, dengan cara mengadopsi nilai-nilai filosofis hidup serta mentransformasikan nilai-nilai universal Undang-Undang penempatan dan  perlindungan TKI secara komprehensif. Praktik humanisasi juga harus diterapkan dalam pelayanan TKI sampai ke luar negeri. Buku anggitan Fathor Rahman ini penting untuk dibaca. Dengan membaca buku ini, kita akan mendapatkan pengetahuan ihwal bagaimana genderang TKI itu ditabuh dan dimainkan. Lebih dari itu, buku apik ini juga dapat memantik emosional kita sebagai warga Indonesia untuk turut serta memperjuangkan Hak Asasi Manusia terutama Hak TKI.


Karena harus diakui, fenomena TKI di negeri ini sungguh menarik disimak. Coba bayangkan, meski masyarakat kita kerap mendengar maraknya perdagangan manusia (trafficking), penipuan, pengibirian, kasus kematian, pemerkosaan, pelecehan, penelantaran,  upah tidak dibayar hingga masalah pemulangan kembali atau deportasi. Namun anehnya, hal tersebut tidak menyurutkan minat masyarakat menjadi TKI untuk ikhtiar mengubah nasib di luar negeri. Karena itu, seperti dikatakan Bung Dedy Mizwar, “Alangkah lucunya negeri ini!”

Perensi adalah Peneliti The Dewantara Institute; Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Alumnus Pesantren Raudlatul Ulum, Pati, Jawa Tengah

Sumber: Kompas, 20 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar