Pages - Menu

24 September 2011

Bicara dengan Bintang

Cerpen: Ratna ”Riri” Kemalasari

Di taman yang sepi, berbaring beralaskan rumput, mataku kubiarkan terpejam, biasanya orang tidak nyaman melakukan hal yang sama seperti ini. Karena udara di kala malam mampu menelusup tulang dan membuat tubuhmu kedinginan sampai ketulang. Namun entahlah, aku tidak kedinginan, aku juga tidak kepanasan, rasanya aku mati rasa. Satu menit.. satu jam.. aku sudah seperti orang mati, tidak bergerak. Dan saat itulah aku mendengar suara sayup-sayup yang mendesak kelopak mataku untuk mengintip, siapa gerangan yang berbicara. Tidak ada siapa-siapa, aku tengok ke kiri, ke kanan.. tidak ada.

Aku mulai penasaran, namun tubuh ini tidak bisa aku gerakkan untuk bangun, seakan aku hanya ingin berbaring, aku telusuri suara yang tidak berhenti memanggil namaku, mulai gaduh..terlihat kesal karena aku tidak kunjung menyadari keberadaannya.


”Aku tidak tau kamu dimana. Tapi ya sudah, setidaknya aku bisa mendengar suaramu, ada apa memanggilku?” kataku lemas. ”Kamu tidak tau aku dimana?! Iya, aku memang jarang kau lihat.. walaupun sebenarnya selama ini aku yang bisa membuatmu melihat,” ujarnya ”Lalu.. ada apa?” kataku.. aku hanya butuh tau apa maunya dan terlampau malas untuk tau dia ada dimana. ”Seharusnya aku yang bertanya, kamu ada apa? Kamu bisa mati jika membiarkan dirimu di tempat seperti ini saat malam semakin larut.” ”Mati?! Bisa mati?! Jangan berlebihan, mungkin hanya sakit. Tapi, aku sudah hilang rasa, aku tidak kedinginan, aku tidak kepanasan,” jelasku tenang ”Iya, saat ini kau mati rasa, tidak rasakan dingin, tidak rasakan panas, dan.. kelak kau tidak rasakan sakit, kau biarkan rasa sakit itu membusuk di tubuhmu, dan akhirnya kamu mati.”

”Berlebihan, ” jawabku singkat ”Kamu sudah tidak merasakan apa-apa saat ini, itu bahaya, ayo.. bangunlah.. beranjaklah dari tempatmu.” ”Untuk apa?”tanyaku.

Sang suara langsung terhening, dia senyap tidak menjawab. Dan untuk menghapus sepi, aku mulai bercerita.

”Aku, memang sudah mati rasa. Rasa apapun.. aku sudah tidak tau lagi. Jika bongkahan hatiku bisa kau liat, mungkin kamu juga akan miris. Hati ini sudah tidak berbentuk, waktu terakhir aku melihatnya.. aku menangis.

Aku tidak tega melihat bongkahan hati yang tidak ada bedanya dengan sebuah apel busuk. Dan akhirnya, aku buang. Tidak perlu ada jika ada tapi sekarat. Untuk apa.” terangku tenang sambil mengelus-ngelus dadaku sendiri, sambil mengingat saat dulu hati masih bersemayam disana. ”Kamu ingat kapan terakhir membuangnya,” tanya suara itu. ”Ingat.. eh.. tidak ingat.. eh.. tidak mau ingat..” ”Hatimu tidak bisa kau buang, aku masih melihatnya ada, terlihat jelas dari sini, kamu hanya mengurungnya dalam tembok ego yang kamu bangun tinggi.” ”Hah? Tembok ego? Apa itu, aku tidak ingat kapan membangunnya,” tanyaku heran.

”Iya, tembok ego, sebuah tembok yang memang jarang sekali orang menyadari saat membangunnya.
Terbentuk karena sebuah luka, terbentuk karena sebuah gengsi, terbentuk karena sebuah obsesi, terbentuk karena kesedihan. Kamu punya tembok itu didalam dirimu, dia berdiri kokoh sekali.. mungkin itu yang membuatmu lupa kalau kamu masih punya hati.”

Aku diam tidak menjawab, aku renungkan suara yang sampai detik ini masih tidak tau berasal darimana. Dan akhirnya suara itu kembali bersuara, membuyarkan lamunanku.

”Hancurkan tembok itu, kamu menutup jalan orang yang akan menyembuhkan luka di hatimu. Kamu tidak butuh tembok itu. Tembok yang bisa membuatmu mati.. dan jangan bilang aku berlebihan.. karena aku jauh lebih tau dari diri kamu sendiri.” ”Siapa yang mau datang untuk menyembuhkan luka ini? Atau mau datang untuk ikut melukai? Aku sudah tidak percaya lagi dengan siapapun yang datang, bahkan aku sudah tidak mau lagi siapapun datang,” jawabku.

Tiba-tiba suara itu terdengar tertawa geli, membuatku muak. “Hahahhaha.. akhirnya kamu mengakui ya, bahwa hatimu yang katanya kamu buang itu ternyata masih ada. Bagus.. setidaknya kamu masih tau kalau kamu punya hati.”

Tawa itu semakin membuatku muak, tanganku mengepal, akhirnya aku bangun dan membentak suara yang masih antah berantah ada dimana. “Bangsat! Pergi kamu kalau hanya ingin menertawai!” ”Hei, akhirnya kamu bergerak, tidak terbaring saja seperti tadi.bagus.” ”Bangsat!! Apa maumu!! Apa maumu?! Tolong jauhi aku, jangan sakiti aku lagi, aku sudah hancur, kamu mau melihat aku bagaimana lagi?! Mati?! Iya??? Kamu mau aku mati!! Jangan buat aku lemah lagi.. tolong.. toloongg.. aku benci keadaan seperti ini.. aku benci..”

Air mataku tumpah tak terbendung, badanku terasa lemas sekali, bahkan untuk menopang berdiri saja aku sudah tidak sanggup.

”Aku selalu ada untuk menolongmu, tapi kamu tak pernah menyadari. Aku selalu ada untuk menjadi temanmu dalam berbicara, tapi kamu tidak pernah mengajakku berbicara. Aku selalu ada untuk menghiburmu, tapi kamu bahkan tidak pernah melihatku. Kalau kamu suruh aku pergi, kamu akan benar-benar sendiri.” ujar suara itu sabar, seakan membelai pundakku dan mencoba menghapus air mataku lewat suaranya.

”Mana?! Kamu mana?! Aku nggak pernah lihat kamu!! mana!! Kamu tidak mau aku sendiri, tapi nyatanya selama ini aku selalu sendiri!”ujarku diantara isak yang semakin terdengar pilu. ”Aku selalu ada, namun jarang kamu lihat. Aku akhirnya cukup mengamati-mu dari kejauhan. Hei.. kamu tidak akan bisa melihat kalau aku tidak ada, kamu tidak akan bisa berjalan jika aku tidak ada. Aku selalu ada, kamu yang selalu lupa kalau aku ada.”
”Kalau kamu selalu ada, kenapa aku tidak pernah tau, kenapa aku selalu merasa sendiri?!” tanyaku ”Kamu tidak pernah tau, karena kamu sibuk dengan urusanmu..sibuk dengan hatimu.. sibuk dengan lukamu..sibuk dengan ego-mu.. ” jawab suara itu yang terdengar seperti orang yang geram. ”Lalu kamu di mana?” ”Aku ada di mana-mana, di sekitarmu, di dekatmu, di dalam dirimu, dan bahkan sangat dekat dengan hatimu..” ”Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa melihatmu?” tanyaku penasaran ”Buka matamu, mulailah bangkit, hancurkan tembokmu, biarkan hatimu bernafas lega.. bebaskan semuanya.”

Aku renungi perkataannya, aku mencoba telusuri semua kisah yang sudah berlalu, aku rasanya tau dia siapa.
Dia Tuhanku, Dia keluargaku, Dia sahabatku, Dia temanku, Dia guruku.. Dia orang-orang disekitarku yang sering menasihati aku, menegur aku, namun tidak pernah aku dengar.

Aku sudah tuli .. aku sudah buta, astaga, bahkan luka ini menjadi tidak berarti saat menyadari arti mereka dalam hidupku. Ternyata bukan mereka yang berlebihan, tapi aku yang berlebihan dalam menyikapi lukaku ini.. iya.. aku yang berlebihan.

Aku pandang ke atas, melihat mereka yang tersenyum lewat cahaya dan memandikan aku dengan sinarnya. ”Sudah ya, cuaca dingin sekali, aku harus kembali ke rumah, takut sakit.. bye..”
Suara itu tidak menjawab lagi, hanya membalas dengan senyuman mengiringi langkahku yang mulai beranjak, melangkah kembali.

Sumber: Kompas, 23 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar