Cerita bersambung Jodhi Yudono
Dengarlah, ada seseorang sedang membaca puisi dari dalam rumah. Para tetangga sudah hapal benar dengan suara berat yang selalu mewarnai rumah itu dengan puisi, musik dan nyanyi. Jika tak menyanyi, tentulah dia membaca puisi. Seperti pada sore yang elok, dengan langit bersih dan sinar surya yang lembut itu, Pay, sang pemilik suara berat, sedang membacakan sebuah puisi yang digemarinya ketika masih muda.
Begini bunyinya,
Isteri sangat penting untuk kita Menyapu pekarangan Memasak di dapur Mencuci di sumur mengirim rantang di sawah dan ngeroki kita kalau kita masuk angin
Hmmm... Pay rupanya sedang mengeluarkan jurus andalannya selama ini, jika Ijah sedang cemberut. Puisi berjudul "Istri" karya Darmanto Jatman itu, selama ini memang manjur untuk melumerkan kebekuan Ijah, istrinya.
Ya. Isteri sangat penting untuk kita Ia sisihan kita kalau kita pergi kondangan Ia tetimbangan kita kalau kita menjual palawija Ia teman belakang kita kalau kita lapar dan mau makan Ia sigaraning nyawa kita kalau kita
Ia sakti kita!
"Gombaaaaallllll!"
Nah, itu dia, Ijah sudah mulai bersuara. Senylekit apapun komentar Ijah, itu adalah pertanda Ijah mulai membuka komunikasi yang memang ditunggu-tunggu oleh Pay. Maka Pay pun tahu apa yang harus dia perbuat,
Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting dengan kerbau, luku, sawah, dan pohon kelapa
"Jancuuuukkk... bojo kok dipadakno karo kebo...." Ijah pura-pura marah, karena dirinya disamakan dengan kerbau.
"Jangan dipotong-potong begitu dong, dicerna secara keseluruhan," Pay menimpali.
"Terserah kamulah.." Ijah tak kalah sengit.
"Baiklah, kalau memang terserah aku. Dengarkan ini...
Ia kita cangkul malam hari dan tak pernah mengeluh walau capek. Ia selalu rapi menyimpan benih yang kita tanamkan dengan rasa syukur, tahu terima kasih dan meninggikan harkat kita sebagai laki-laki. Ia selalu memelihara anak-anak kita dengan bersungguh-sungguh seperti kita memelihara ayam, itik, kambing atau jagung."
"Tuh... makanya, jangan suka nyakitin istri," komentar Ijah.
Ah. Ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika kita mulai melupakannya: Seperti lidah ia di mulut kita tak terasa Seperti jantung ia di dada kita tak teraba
"Jangan cuma dibaca, tapi dihayati, ditindakkan."
Ya.ya. Isteri sangat penting bagi kita justru ketika mulai melupakannya Jadi, waspadalah! Tetap, madep, manteb Gemati, nastiti, ngati-ati Supaya kita mandiri, perkasa, dan pintar ngatur hidup
"Ember......."
Tak tergantung tengkulak, pak dukuh, bekel, atau lurah Seperti Subadra bagi Arjuna makin jelita ia dia antara maru-marunya: Seperti Arimbi bagi Bima Jadilah ia jelita ketika melahirkan jabang Tetuka; Seperti Savitri bagi Setyawan Ia memelihara nyawa kita dari malapetaka Ah. Ah. Ah.
"Mandi madu...." sekarang malah Ijah yang aktif jadi komentator.
Alangkah pentingnya isteri ketika kita melupakannya Hormatilah isterimu Seperti kau menghormati Dewi Sri Sumber hidupmu
"Ayo.. kasih hormat." Pay pun berlagak seperti prajurit, memberi hormat kepada istrinya.
"Kasih hormatnya disertai perasaan yang dalam." Kali ini Pay setengah jongkok. Kemduian mencium punggung tangan kanan Ijah, seraya menggenapi puisi itu,
Makanlah Karena demikianlah suratannya
"Mmmmmm....." Pay mengecup jemari tangan Ijah sambil memejamkan mata.
"Kadang aku sering berpikir, betapa kamu kerap menyakiti aku," ujar Ijah.
"Maafkan aku, tak pernah selintas pun berpikir untuk menyakiti dirimu."
"Tapi wanita-wanita itu...."
"Mereka hanya kawan, Ijahku."
"Kawan tapi mesra?"
"Kawan biasa dan tidak pakai mesra."
"Kamu sayang aku nggak sih?"
"Iya, aku sayang kamu."
"Sayang mana sama Mira?"
"Jelas sayang kamu."
"Apanya yang membuat kamu sayang padaku?"
"Semuanya... yang ada pada dirimu, termasuk kalo pas lagi manyun."
"Mira masih muda."
"Tapi kamu lebih bertenaga."
"Iyalah, kerbau sih."
"Kok...?"
"Ah. Lihatlah. Ia menjadi sama penting dengan kerbau," Ijah menirukan puisi Darmanto yang dibacakan Pay tadi.
"Engkau kerbau betina, aku pejantannya."
"Mira jauh lebih cantik."
"Kamu lebih menarik."
"Mira lebih manis..."
"Kamu lebih sadis.."
"Hah? Kurang ajar...!" Dicubitnya perut Pay dengan gemas. Pay menghindar, terjadilah kejar-kejaran di ruang yang tak seberapa lebar. Saking asyiknya mereka berkejaran, sampai tak mendengar ketukan pintu dan ucapan salam dari luar rumah.
"O... begini rupanya kalau Onah ga ada di rumah?"
"Kenapa?" tanya Pay yang telah berhasil menangkap Ijah ke dalam pelukannya.
"Main kejar-kejaran, kayak cicak."
"Gara-gara kayak cicak, kita jadi punya anak deh..." kata Pay.
"Hei, anak cicak, baiknya kamu buruan cuci kaki, gosok gigi, trus pergi tidur," tambah Ijah.
"Terus ayah dan ibu cicak mau ke mana?"
"Kejar-kejaran!" jawab Ijah dan Pay serempak.
Langsung ayah cicak menggiring ibu cicak ke kamar. Anak cicak cuma bisa melihat punggung kedua orang tuanya, sebelum mereka menghilang di balik pintu kamar. Dan... Klik!
Pintu terkunci rapat.
(Selesai)
Sumber: Kompas, 4 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar