Pages - Menu

07 Juli 2011

Polemik 24 Jam bagi Guru

  • Oleh Eko Wahyudi
PEMBERLAKUAN jumlah jam mengajar 24 jam per minggu bagi guru (PNS) ataupun guru bersertifikat pendidik dirasakan membebani. Sebab, jumlah rombongan belajar (setiap sekolah) tidak sebanding dengan jumlah guru yang ada. Artinya, jumlah guru jauh lebih banyak. Jadi, untuk mendapatkan alokasi 24 jam tersebut dipastikan tidak terpenuhi.

Solusi yang diberikan kepala sekolah adalah menambah jumlah rombongan belajar dan atau guru mencari (sendiri) tambahan jam mengajar ke sekolah lain. Dari dua alternatif itu, solusi pertama adalah yang paling tepat. Namun sulit untuk dilaksanakan, karena diperlukan ruang kelas baru dan jumlah siswa yang sesuai dengan jumlah ruang belajar yang dimekarkan. Tahap selanjutnya diperlukan juga perangkat teknis lain, yakni sarana pembelajaran seperti buku penunjang, laboratorium, dan alat-alat peraga pembelajaran.


Tidak kalah penting yaitu membengkaknya dana operasional sekolah dan biasnya tingkat ketercapaian proses pembelajaran dengan segala keruwetan penataan ruang ataupun jadwal pembelajaran.

Sarat Beban



Sementara itu, solusi kedua sulit untuk diaksanakan, mengingat setiap sekolah mengalami kesulitan sama. Setiap guru tidak mempunyai data akurat untuk memilih sekolah mana yang masih membutuhkan tambahan tenaga pengajar. Kalaupun ada, belum tentu mengakomodasi jenis mata pelajaran yang dibutuhkan. Terutama dirasakan oleh guru-guru mata pelajaran non-ujian nasional (UN) yang jumlah jam mengajarnya dua jam per minggu.

Sekolah dengan jumlah rombongan belajar paralel enam kelas, hanya membutuhkan satu guru yang nantinya terbebani 36 jam per minggu. Jika terdapat dua guru atau lebih, kekurangan jam mengajar yang lain mencari ke sekolah lain.

Guru memang dituntut profesional. Namun, kewajiban pemerintah memberikan tambahan penghasilan satu kali gaji pokok ternyata sarat beban yang harus ditanggung guru. Pemerintah seolah-olah berhak ìmenagihî apa saja kepada guru. Permasalahan ini sangat mendasar, yang alangkah baiknya diselesaikan bersama di tingkat struktural sekolah dan dinas terkait. Dengan demikian, guru sebagai pelaksana langsung pembelajaran tidak terbebani menentukan ìnasibnyaî sendiri.(75)

Eko Wahyudi SPd, guru SMP Negeri 1 Karangsambung Kebumen 

Sumber: Suara Merdeka, 7 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar