Pertukaran Pelajar ke AS
Kepulangan 101 pelajar Indonesia yang terpilih mengikuti Youth Exchange and Study (YES) yang disponsori Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, membawa sejumlah cerita. Jika Ummu, peserta asal Makassar, Sulawesi Selatan terkesan dengan sistem pendidikan di Amerika Serikat, lain lagi cerita dan kesan yang dibawa dua peserta lainnya, M Ilyas, siswa SMA Negeri 1 Samarinda, Kalimantan Timur, dan Dian Fadillah Lestari, siswi SMA Negeri 1 Polewali, Sulawesi Barat.
Salah satu cerita yang dikisahkan Ilyas, yang ditempatkan di Pennsylvania, banyak yang bertanya, di mana letak Indonesia. Kehadiran para pelajar ini, salah satunya, mengenalkan Indonesia kepada teman-teman sekolah, keluarga angkat, dan komunitas yang ditemuinya selama berada di sana.
"Umumnya, banyak yang bertanya, Indonesia di mana? Saya jelaskan kepada mereka. Orangtua angkat saya, mungkin sebelumnya sudah dijelaskan oleh pengurus setempat, jadi ketika saya datang, sudah memiliki sedikit gambaran tentang letak geografis Indonesia. Saya juga menjelaskan mengenai budaya Indonesia dan kekayaan yang kita miliki," kata Ilyas kepada Kompas.com, seusai acara penyambutan kepulangan mereka, di @America, Pacific Place, Jakarta, Rabu (6/7/2011).
Hal lain yang dikagumi keluarga angkatnya, kata Ilyas, adalah hal-hal kecil. "Misalnya, mereka heran ketika melihat saya makan pakai tangan (tidak pakai sendok). Akhirnya mereka mencoba dan katanya nyaman dengan cara itu," ujar dia.
Dari sisi keramahan, menurut dia, meski warga Indonesia selalu dikenal dengan keramahannya, ternyata warga Amerika juga memiliki karakter yang sama. "Mereka juga sangat respek satu sama lain. Meski bertemu dengan orang yang tidak dikenal sama sekali, mereka tetap akan menyapa, 'Hai apa kabar?'. Ini contoh yang baik juga," kisah Ilyas.
Siswa kelas 11 SMA Negeri 1 Samarinda ini juga mengagumi sistem pendidikan di tempat ia bersekolah. Mekanisme belajar sangat teratur dan siswa tidak dipaksa untuk mengerjakan sesuatu, tapi memiliki tanggungjawab dengan apa yang menjadi kewajibannya.
"Orangtua angkat saya menginginkan saya kembali lagi ke sana dan melanjutkan studi yang lebih tinggi di sana," ujar Ilyas, yang bercita-cita menjadi seorang diplomat.
Kisah yang hampir sama juga meluncur dari Dian. Ia ditempatkan di Utah, dan mendapatkan keluarga angkat yang juga seorang Muslim. "Orangtua angkat saya percampuran Timur Tengah. Saya banyak belajar tentang Islam dan agama lainnya, karena mereka sangat moderat," ujar Dian.
Selama hampir setahun di sana, Dian sekolah di Academic for Math and Engineering. "Jadi belajarnya lebih spesifik," kata dia.
Hal yang akan dibagi sekembalinya ke daerah asal, menurut Dian, dia akan menceritakan mengenai pola belajar yang dijalaninya selama di Amerika. "Siswa di sana tidak dipaksa menjadi pintar, tetapi menciptakan suasana belajar yang nyaman supaya apa yang dipelajari tidak cepat lupa. Suasana belajar sangat santai, hubungan antara guru dan siswa lebih cair, tidak ada gap. Waktu belajar untuk satu mata pelajaran cuma 1 jam. Kalau di sekolah saya, satu mata pelajaran bisa tiga jam, berbeda sekali," ujar Dian.
Ke depannya, ia berharap dapat kembali melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di luar negeri. Tak hanya manfaat bagi diri sendiri, pengalamannya di Amerika mengajarkan Dian untuk turut berbagi tentang hal baik yang dimiliki Indonesia kepada warga setempat.
Sumber: Kompas, 7 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar