Pages - Menu

16 Juli 2011

Menyoal Status Negara

Judul Buku      : Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia
Penulis             : Abdul Aziz Hakim
Penerbit           : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan           : Pertama, 2011
Tebal               : xii + 284 halaman
Peresensi         : Supriyadi

Sebenarnya, mau disebut negara apakah Indonesia ini? Negara hukum yang menerapkan demokrasi atau negara bar-bar yang kejam? Secara tertulis dan formal, Indonesia adalah sebuah negara republik yang berlandaskan hukum serta mencoba mengaplikasikan demokrasi sebagai sistemnya. Dengan kata lain, Indonesia adalah negara hukum yang demokratis. Jika demikian, muncul lagi pertanyaan; benarkan Indonesia itu negara yang demikian?



Pertanyaan tersebut terlontar karena kebimbangan penanya akan status Indonesia saat ini. Secara tertulis dan formal, Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum adalah negara berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi rakyatnya. Maksudnya adalah segala kewenangan dan tindakan alat-alat perlengkapan negara atau penguasa, semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum (hlm. 8).

Meski Indonesia adalah negara hukum, dalam praktik politik dan kepemerintahan di Indonesia masih mempraktikkan bar-barisme. Hukum di Indonesia belum bisa tegak sebagaimana mestinya. Hukum dikendalikan oleh yang berkuasa dan yang bermodal. Sementara rakyat kecil terus tertindas oleh hukum “bar-bar”. Telah banyak contoh yang membuktikan bahwa hukum di Indonesia ini memihak kepada yang bermodal. Sementara koruptor “kelas kakap” bebas jalan-jalan ke Singapura. Di satu sisi, rakyat kecil yang tidak bersalah harus digusur rumahnya, dipenjara, bahkan dibunuh secara misterius.

Secara tertulis dan formal, Indonesia juga negara demokrasi. Demokrasi adalah pola pemerintahan yang mengikutsertakan secara aktif semua anggota masyarakat dalam keputusan yang diambil oleh mereka yang diberi wewenang. Legitimasi pemerintah adalah kemauan rakyat yang memilih dan mengontrolnya. Rakyat memilih wakil-wakilnya dengan bebas dan melalui mereka ini pemerintahannya. Di samping itu, dalam negara dengan penduduk jutaan, para warga negara mengambil bagian juga dalam pemerintahan melalui persetujuan dan kritik yang dapat diutarakan dengan bebas, khususnya dalam media massa (hlm. 174)

Namun demikian, dalam praktiknya politik dimanipulasi oleh para elit untuk kepentingan pribadi dan golongan. Pemerintahan tidak mengutamakan kinerja, tetapi hanya bagi-bagi “kue keuasaan”. Bahkan hingga media massa pun bisa dikuasai oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sementara banyak aspirasi dan suara rakyat yang dibungkam.

Sikap represif juga masih menjadi andalan bagi pemerintah yang mengaku demokratis. Dengan demikian, status negara Indonesia memang tidak sesuai antara konsep dan aplikasinya. Negara hukum dan demokrasi di Indonesia hanya menjadi bahan tertulis yang dipajang di setiap pelajaran siswa sekolah menengah. Tidak hanya itu, status sebagai negara hukum dan demokrasi hanya menjadi topeng belaka tanpa adanya realisasi. Abdul Aziz Hakim dalam bukunya yang berjudul “Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia” menguraikan konsep-konsep  negara hukum dan demokrasi. Di tengah karut-marutnya kondisi hukum dan demokrasi di Indonesia saat ini, rakyat sering kali disuguhi dengan berbagai kasus yang merepresentasikan krisis moral para elit sehingga rakyat pun mengalami krisis kepercayaan.

Bangunan negara hukum di Indonesia masih belum tegak karena tiangnya masih labil dan atapnya masih bocor sehingga menyusahkan banyak orang yang tidak ternaungi. Jeffrey A Winters pun menyatakan bahwa Indonesia menjadi negara demokrasi tanpa hukum. Jangankan demokrasi bisa ditegakkan, tiang-tiang utama hukum saja masih rapuh. Bangunan negara hukum yang kokoh dan estetik menuntut beberapa tiang yang harus dipasang. Menurut Artidjo Al Kostar, ada lima tiang yang harus ditegakkan dalam membangun negara hukum. Pertama, adanya tiang sistem penegakkan hukum yang berkerangka melindungi martabat kemanusiaan bagi segenap rakyat Indonesia. Kedua, konsekuensi yuridis dari pilihan nilai mendahulukan hak dasar rakyat maka hukum protektif harus tertuang dalam berbagai perangkat, antara lain dalam aturan hukum distribusi ekonomi, peradilan pidana, lingkungan hidup, perdagangan, pertanahan, dan hak-hak strategis lainnya.

Ketiga, bangunan negara hukum yang standar perlu kepelaporan pemimpin negara dalam menaati dan menjunjung tinggi supremasi hukum. Kesediaan pemimpin negara untuk dituntut di hadapan hukum merupakan tiang utama kedaulatan hukum negara. Keempat, negara hukum memerlukan tiang kehadiran masyarakat madani yang kuat. Dan kelima, negara hukum memerlukan tiang independensi peradilan.


Negara hukum tidak instant, tetapi haruslah dibangun. Negara hukum adalah konsep modern yang tidak tumbuh dalam masyarakat Indonesia sendiri. Proses menjadi negara hukum bukan menjadi sejarah sosial-politik bangsa ini. Negara hukum ialah bangunan yang dipaksakan dari luar (hlm. 7).

Begitu pula dengan konsep demokrasi yang diyakini menjadi sistem yang baik yang bisa memperkuat negara secara ekonomi, militer, maupun politik. Konsep dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat tidak boleh dikesampingkan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Kedaulatan rakyat menjadi harga mati dalam negara demokrasi.

Akhirnya, dengan membaca buku yang berjudul “Negara Hukum dan Demokrasi Di Indonesia”, para pembaca diajak untuk berpikir kritis menyoroti status negara Indonesia dan mengejawantahkan; apakah benar Indonesia itu telah menepati statusnya sebagai negara hukum dan demokrasi. Jika memang benar Indonesia itu adalah negara hukum, tentunya prinsip keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar nyata. Sementara jika memang benar Indonesia ini adalah negara yang mengaplikasikan demokrasi, seberapa banyak porsi rakyat beraksi dan mendapatkan hasil dari aksi tersebut.

*) Peresensi adalah pengamat sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta

Sumber: Kompas, 15 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar