Pages - Menu

02 Juli 2011

Menghapus Diskriminasi

Judul               : Mereka Bilang Aku China
Penulis            : Dewi Anggraini
Penerbit         : Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan          : I, 2011
Tebal              : xvi+286 halaman
Harga              : 30.000
Peresensi       : Romel Masykuri

Selama beberapa dekade, etnis Tionghoa di Indonesia dipinggirkan dan diperlakukan secara diksriminatif. Perjuangan untuk membebaskan diri dari diskriminasi tersebut berubah ketika kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Gus Dur telah menganbil kebijakan bersejarah bagi warga Tionghoa yaitu mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 14 Tahun 1967 yang berisi larangan atau pembekuan kegiatan-kegiatan warga Tionghoa.


Keinginan politik Gus Dur itu diteruskan oleh Presiden Megawati dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002 yang isinya mengukuhkan Tahun Baru Imlek sebagai hari nasional. Karena itulah dalam rangkaian peringatan tahun baru China atau Imlek, sudah sewajarnya kita mengingat kembali jasa-jasa luar biasa Gus Dur. Karena ketulusan yang diikuti langkah berani memutus mata rantai diskriminasi tersebut, warga Tionghoa dapat menghirup kebebasan dan persamaan hak.

Sekadar mengingatkan bagaimana prasangka atau persepsi keliru terhadap etnis Tionghoa berlangsung dalam jangka waktu panjang dan sistematis. Kesaksian delapan tokoh yang ada dalam buku “Mereka Panggil Aku China” karya penelitian Dewi Anggraini akan mengingatkan kembali bagaimana perilaku buruk yang diterima oleh warga keturunan etnis Tiongho berjalan hingga pada generasi ke generasi. Kisah nyata dalam buku ini dihadirkan lengkap dengan perjalanan tokoh-tokoh tersebut, mulai dari kecil, dewasa hingga pada karir dalam kehidupan mereka. Kedelapan tokoh tersebut adalah Susi Susanti, Maria Sundah, Linda Christanty, Ester Indahyani Jusuf, Jane LuykebOey, Sias Mawarni Saputra, Milana Yo, dan Meylani Yo. Yang kesemua tokoh tersebut sama-sama berkontribusi dalam membangun bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Susi Susanty contohnya, dia dianggap “duta besar” di Indonesia dalam bidang olahraga, tapi pada 1998, saat dia berada di Hong Kong untuk pertandingan Uber Cup, keluarganya di Indonesia malah menjadi salah satu sasaran kekerasan dalam kerusuhan 11-14 Mei 1998. Keluarganya dijadikan sasaran karena keturunan Tionghoa, dan rasa nasionalisme mereka di pertanyakan. Sungguh ironis memang, tapi inilah kenyataannya. Disaat Susi Susanty berjuang untuk mengharumkan nama baik Indonesia di kancah internasional, malah keluarganya sendiri menjadi amukan orang-orang Indonesia saat itu. Kesaksian Susi Susanty ini tergambar jelas dalam halaman 95 s/d 124.

Lain lagi dengan Sias Mawarni Saputra yang berlaterbelakng agama Islam namun keturunan etnis Tionghoa. Dia bersama keluarganya tinggal di komonitas peranakan Tionghoa di Jatinegara. Sementara itu, karena mereka muslim, mereka tidak makan daging babi. Perlakuan buruk semasa ia kecil sampai dewasa telah membentuk pikiran alam bawah sadarnya bahwa ada yang aneh sebagai orang Tionghoa dan orang Islam, seakan dua kombinasi ini tdak beres. Kesaksian Sias mawarni Saputra ini dapat di lihat dalam halaman 158 s/d 188.

Menilik kisah-kisah sedih dan catatan buram seorang keturunan etnis Tionghoa di atas, bisa di tarik kesimpulan bahwa atribut-atribut negatif yang di tempelkan pada mereka telah menyebabkan berbagai masaalh dan kesulitan dalam gradasi berbeda-beda pada orang-orang etnis Tionghoa di Indonesia. Dan juga jelas, bahwa imaji negatif itu telah beredar sejak masa-masa sebelum pemerintahan Orde Baru, kendati dalam zaman Orde Baru imaji itu di perkuat dan di lembagakan upaya untuk mendiskriminasi wrga Tionghoa di Indonesia.

Pesan penting yang terkandung dalam buku ini adalah pesan moral bagi seluruh masyarakat Indonesia bahwa warga Tionghoa asli maupun berdasarkan keturunan, wajib untuk di lindungi dan di hormati sebagai sesasama manusia. Stigma buruk yang di peroleh dari warisan leluhur maupun penguasa Orde Baru sudah saatnya d hilangkan demi terciptanya hubungan sesama manusia yang harmonis dan menjunjung perdamaian.
Peresensi Romel Masykuri

Alumni PP. As-Syahidul Kabir, Pamekasan Kader Muda Ashram Bangsa Jogjakarta

Sumber: Kompas, 1 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar