- Oleh Mardiyanto
Dalam paparan Kemdiknas, sikap pendidik yang terjebak kepada kepentingan politis telah mengorbankan nilai-nilai pendidikan dan merugikan dunia pendidikan dalam jangka panjang. Praktik politisasi pendidik terlihat jelas saat pemilihan kepala daerah. Pendidik diam-diam sebagai tim sukses dan jika berhasil akan dipromosikan menjadi kepala dinas atau jabatan lainnya, kemudian jika menjadi kepala dinas akan ''main perintah'' kepada pendidik agar berprestasi untuk menyenangkan kepala daerah.
Paparan tersebut perlu mendapat apresiasi oleh para pendidik. Harus diakui, era desentralisasi pendidik seiring dengan desentralisasi pemerintahan (otonomi daerah) memang memunculkan dilema. Bagi daerah yang memiliki sumber daya manusia (SDM) memadai akan cepat melesat, akan tetapi bagi daerah-daerah dengan SDM rendah dan kurang memadai, jelas akan sulit untuk berkembang. Hal ini masih ditambah adanya sinyalemen penguatan putra daerah yang justru memangkas SDM-SDM berkualitas dari luar daerah untuk masuk.
Pada daerah-daerah yang tertinggal dalam kualitas pendidikan, di mana perekrutan pendidik dilakukan pemerintah daerah, acap terjadi kelangkaan yang mendaftar. Akibatnya, terjadi kekosongan pendidik. Kasus di Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur, setidaknya menjadi contoh bahwa daerah tersebut masih sangat membutuhkan tenaga pendidik dari Pulau Jawa, mengingat SDM yang melimpah di Pulau Jawa.
Berbeda ketika sentralisasi pendidik pada era 80-an, perekruitan pendidik dilakukan oleh pusat dan pendidik-pendidik disebar ke seluruh pelosok nusantara. Era itu juga ditandai dengan semangat juang pendidik yang andal, tidak mengeluh di tempat perantauan, dan dedikasi yang tinggi untuk mengajar. Bahkan, sampai terkenalnya dedikasi pendidik-pendidik Indonesia, tidak keliru jika Malaysia mendatangkan pendidik-pendidik asal Indonesia.
Jika sentralisasi pendidik benar dijalankan di era sekarang ini, adalah langkah terobosan yang perlu didukung. Tujuannya ganda, selain memotong jalur politisasi pendidik juga yang lebih penting mendorong pemerataan pendidik-pendidik ke daerah. Sebab, selama ini sedikit pendidik yang mau berjuang di daerah, selebihnya enggan dan memilih di kota. (37)
-- Mardiyanto SPd,
pendidik SMPN 2 Sukoharjo, Wonosobo
Sumber: Suara Merdeka, 18 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar