Pages - Menu

18 Juli 2011

Kejujuran: Sebuah Tindakan

  • Oleh Banu Prasetyo
KEJUJURAN dan kebenaran merupakan dualitas. Keduanya sering dimaknai bertautan. Logikanya, ketika orang berkata jujur pasti dianggap sebagai kebenaran, meski pandangan itu sangat normatif. Tidak ada definisi jelas mengenai kebenaran. Jika ditelisik secara epistemologi, hal itu menjadi tidak mungkin. Bahkan, sampai akhir hayat, Socrates pun masih bertanya apa itu definisi kebenaran.

Setali tiga uang dengan kejujuran, tidak ada definisi yang jelas tentang kejujuran. Kejujuran hanya dapat dimaknai melalui tindakan.  Itulah persoalannya. Kejujuran dan kebenaran di negeri ini masih sebatas konsep, belum sampai pada ranah praktik.




Akibatnya, orang tidak menghayati pentingnya kejujuran dan kebenaran. Hal itu dibuktian dengan merebaknya berbagai kasus. Sebut saja pemalsuan keputusan MK, kasus yang melibatkan M Nazaruddin, Nunun Nurbaeti, dan kasus-kasus lain mengenai KKN. Jika ditelisik, semuanya berpangkal pada masalah kejujuran dan kebenaran. Tak jarang perang opini dibentuk untuk mengungkap sebuah kebenaran. Di sinilah hubungan ideal antara kejujuran dan kebenaran. Secara praktis, kejujuran dapat dikatakan sebagai langkah praktis mencapai kebenaran. Bagaimanapun definisi kejujuran pun terbatas, artinya tidak dapat mewakili utuh definisi kejujuran.

Berbicara mengenai sebuah konsep, negeri ini jadi gudangnya. Dari Trisakti hingga Pancasila dihasilkan bangsa ini. Bahkan dalam sebuah pidato, Bung Karno mencap Malaysia sebagai negara tanpa konsep. Orde Baru pun tidak kalah. Terdapat pembangunan berencana 5 tahun, yang akrab disebut Pelita. Di bidang ekonomi ada konsep ekonomi kerakyatan, di politik ada politik bebas aktif, dan lain sebagainya. Hampir segalanya terlihat matang dalam ranah konsep.


Dapat dikatakan, kejujuran merupakan epistemologi, yaitu metode untuk mencapai kebenaran. Kebenaran dapat ditempatkan sebagai sebuah landasan ontologi, yaitu inti. Singkatnya, jika ingin sampai pada kebenaran salah satu jalannya adalah kejujuran. Maka, pembangunan konsep yang matang harus diimbangi dengan implikasi yang seimbang. Ketika konsep dibuat sedemikian rupa akan menjadi percuma ketika dalam ranah praktis tidak berjalan semestinya.

Pembangunan Jiwa

Begitu juga dalam banyak kasus hukum. Usaha pemerintah dengan membuat banyak lembaga dalam upaya pemberantasan korupsi mungkin sudah maksimal dalam tataran kuantitas tapi bukan kualitas. Bayangkan, sudah jelas ada polisi dan jaksa, masih dibuat KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Koridor kerjanya pastilah menjadi kabur. Sebenarnya, muara dari persoalan hukum adalah masalah kejujuran dan kebenaran. Hukum diciptakan untuk menegakkan kebenaran. Kebenaran sendiri hanya dapat dicapai melalui kejujuran.

Untuk menjalankan kejujuran dibutuhkan rasa empati dan tanggung jawab yang tinggi. Jika itu telah dimiliki, setidaknya kasus korupsi akan berkurang karena adanya kontrol individu yang membawa pada rasa empati terhadap rakyat dan pertanggungjawaban sebagai pengemban amanat.

Merebaknya kasus KKN di negeri ini bukan sepenuhnya karena kegagalan sistem hukum di Indonesia. Buruknya pembangunan moral menjadi penyebabnya. Karena hanya mengejar materi, bangsa ini lupa membangun moral yang sesungguhnya jauh lebih penting. Bukankah kita sudah diingatkan dengan nyanyian lagu ’’Indonesia Raya’’ dalam salah satu bagian syairnya,’’Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya...’’ Pesannya adalah: pembangunan jiwa lebih dulu, baru badan.

WR Soepratman mungkin lebih dulu sadar bahwa pembangunan jiwa bangsa lebih penting dari pembangunan material. Dengaan porsi yang demikian, idealnya para pejabat, juga wakil rakyat, dirasa belum perlu untuk membangun gedung baru, mengingat pembangunan moral saja belum dilakukan.

Menyadari pentingnya pembangunan moral, terlebih kejujuran maka cara berpikir dalam menyikapi setiap konsep harus ditata ulang. Kejujuran harus ditempatkan pada porsi aplikatif, tidak lagi pada konsep. Begitu juga hal lain yang memerlukan aplikasi nyata, seperti Pancasila. Semua itu harus dipahami dengan tindakan, bukan konsep yang hanya selesai dalam seminar-seminar, pidato-pidato, atau dalam undang-undang dan peraturan-peraturan. Intinya, kejujuran tanpa tindakan sama dengan kebohongan. (10)

— Banu Prasetyo, Ketua Lembaga Mahasiswa Filsafat UGM

Sumber: Suara Merdeka, 18 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar