Judul Buku: Orang Jawa Jadi Teroris
Penulis: M.Bambang Pranowo
Penerbit: Pustaka Alvabet dan Lakip Jakarta
Tahun: Februari 2011
Tebal: 300 halaman
Harga: Rp. 49.000
Bagi sebagian masyarakat mempersepsikan orang Jawa adalah orang yang ramah, santun, religius, dan suka mengalah. Karakter orang Jawa, kemudian disimbolkan dalam perwayangan dengan Pandawa Lima. Yakni, Puntodewo, Werkudoro, Arjuna, Nakula, dan Sadewo. Puntodewo, Nakula, dan Sadewa di artikan sebagai tokoh yang lemah-lembut dan selalu mengalah.
Sedangkan, Arjuna sebagai tokoh yang pandai, baik dalam diplomasi maupun perang. Sedangkan, Werkudoro tokoh yang lurus, pemberani, dan pantang menyerah. Lantas, bagaimana dengan banyaknya orang Jawa yang menjadi teroris apakah masih pantas orang Jawa di simbolkan dengan Pandawa Lima?
Mayoritas penduduk Jawa Muslim. Islam di sebarluaskan oleh para Walisongo. Seiring dengan isu teroris di dunia mencuat pasca tragedi 11/9 di Amerika banyak kaum radikal kemudian menyebarkan panji-panji Jihad untuk memerangi kaum kafir seperti orang Amerika, Eropa dan negara-negara non Muslim lainnya yang ada jawa. Bangsa Indonesia, khusunya Jawa di jadikan sebagai tempat dakwah ideologi radikal. Banyak generasi muda orang Jawa di ajak untuk berjihad. Dengan dalih, Jihad suci sesuai perintah Agama dan di jamin akan masuk surga. Akhirnya, banyak orang-orang muda jawa terperangkap yang kemudian menjadi teroris akibat di cekoki ideologi radikal. Seperti, Amrozi, Imam Samudera, Abu Dujana, dan Abu Bakar Baasyir dll.
Terorisme telah menebar kekhawatiran dan ketakutan kepada masyarakat.. Dan, sewaktu-sewaktu ia mampu mengebom dan membuat ancaman secara mengejutkan. Citra Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi pemeluknya di bungkus dengan kebencian dan makian oleh kaum radikalisme. Misi dakwah kaum radikal yang sukses mendapat pengikut banyak di Jawa. Setelah sukses mengembangkan jaringan di Jawa akhirnya, kini Jawa di jadikan sebagai tempat pengendali aksi gerakan terorisme di Indonesia. Sekalipun, para gembong teroris tersebut kini sudah banyak yang sudah tertembak mati dan tertangkap hidup-hidup namun, masih saja bermunculan wajah-wajah baru pelaku teroris. Ibarat mati satu tumbuh seribu.
Buku bertajuk” Orang jawa menjadi teroris” karya Bambang Pranow berusaha membeberkan mengapa banyak orang Jawa terseret menjadi teroris. Padahal, orang Jawa sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi, dan religius tidak mudah di pengaruhi oleh paham-paham lain yang bertentangan. Sebagaimana, Islam dapat masuk ke Jawa melalui akulturasi budaya. Berbeda dengan gerakan Islam radikal yang ada di Jawa mereka berdakwah dengan cara-cara picik dan licik. Sebagaiman diketahui bahwa “Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi dll di gembleng secara fisik, psikologis, dan ideologis untuk melakukan perang dengan orang kafir yang harus di perangi ”.(Hal 18)
Di tengah kehidupan berbangsa yang semakin kompleks fakto kemisikinan dan ketidakadilan yang di alami umat Islam nampaknya menjadi penyebab mereka teriur untuk ikut menjadi teroris. Dalam konteks inilah, buku ini penting untuk di baca. Buku yang merupakan bunga rampai dari sekumpulan artikel yang tercecer di mana-mana menarik kita baca. Buku ini, menggugah diri kita untuk bagaimana menyelesaikan persoalan terorisme di Indonesia khusunya di Jawa. Dan, menjadikan inspirasi bagi kita untuk tidak membiarkan gerakan teroris di sekeliling kita.
Pembaca kan kesulitan mencari benang merahnya pada buku ini. Sebab, buku ini terdiri dari kumpulan opini yang beragam pembahasan. Namun begitu, Tidak kalah pentingnya kini adalah kesadaran semua pihak seperti Ulama, Cedekiawan, dan komponen masyarakat untuk ikut berpartispasi mengatasi berkembang biaknya paham terorisme.
Presensi adalah Ahmad Faozan, Santri Pondok Pesantren Tebuireng, kini tinggal di Yogyakarta. Riwayat singkat: Penulis merupakan Santri Tebuireng yang sedang melakukan pengembaraan ilmu di Yogyakarta. Penulis sering menulis di berbagai media baik cetak maupun elektronik.
Dan, beberapa tulisannya baik opini maupun resensi sudah di muat di berbagai media koran, seperti; Seputar Indonesia, Suara Merdeka, Harian Jogja dan Koran Jakarta. Selain itu, penulis juga merupakan Penggiat komunitas Renainsant Insitute dan anggota komunitas Resensor Se Yogyakarta.
Sumber: Kompas, 12 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar