Pages - Menu

18 Juli 2011

Ini Bukan tentang Kematian Yusran

Cerpen Skylashtar

Bandung, 3 April 2010


Malam sebelum kabar mengenaskan itu diterimanya, Maiyasni tengah meratapi diri seakan ia adalah perempuan paling menderita di dunia.  Akhir-akhir ini ia memang kerap merutuk tentang panasnya cuaca Batam beberapa hari belakangan dan sering membayangkan jika ia jadi perempuan simpanan seorang pengusaha kaya raya Singapura sehingga tak perlu lagi berdesak-desakkan dalam sebuah kamar pengap, gelap, dan panas seperti di neraka.

Namun, berita bahwa suaminya yang supir truk itu tewas tergilas truk seketika membuat Maiyasni sumringah.  Kamar pengap beratap seng, yang seringkali bocor jika hujan tiba dan memanggangnya hingga terasa gosong seperti ayam bakar jika cuaca terik, tiba-tiba berubah menjadi firdaus dengan kebun bunga dan sungai susu serta madu.  Maiyasni bahagia dan berpuas diri.  Sebuah kepuasan yang aneh, mengingat yang tewas itu adalah suaminya sendiri.  Laki-laki yang telah memuaskan dirinya beratus-ratus kali dalam persenggamaan yang liar, meski tak satu pun anak yang dihasilkan.


Ke dalam kamar pengap beratap seng itulah Maiyasni diboyong Yusran untuk pertama kali dua tahun lalu.  Dengan predikat sebagai penganti baru, mula-mula Maiyasni tak begitu peduli tentang kasur busuk dan selimut yang selalu kusut.  Ia menghias dinding papan dengan lukisan hasil karyanya sendiri berupa gambar bunga-bunga bakung di sebuah pemakaman.  Lukisan di atas kanvas yang dipulas dengan cat air murahan, karyanya ketika masih perawan.

Dengan semangat cinta membara, Maiyasni menata baju-baju suaminya di dalam kardus bekas televisi sebab lemari belum terbeli, sedangkan baju-bajunya sendiri tetap berjejal di dalam tas jinjing ukuran 9 liter, seolah-olah ia siap pergi kapan saja.  Televisi itu sendiri kemudian dijual kepada tetangga sebab Yusran dipecat dari pekerjaannya sebagi buruh pabrik dan tak sanggup lagi memenuhi segala macam kebutuhan hidup mereka.  Maiyasni tetap tak peduli meski televisi lenyap, pun lemari tak sempat hinggap di kamar mereka.  Karena dulu, pada masa-masa pengantin baru, ia begitu mencintai Yusran, sehingga kemelaratan macam manapun urung membuatnya merasa melarat.

Tapi kerelaan itu berubah satu bulan belakangan, hanya enam bulan sejak Yusran mendapatkan pekerjaan baru sebagai supir truk di sebuah perusahaan ekspedisi.  Kesalahan Yusran yang satu itu benar-benar telah membuat cinta Maiysani terkikis bagai rembesan air hujan melolosi lapisan cat di dinding kamar mereka.

Setelah menerima kabar dari perusahaan tempat Yusran bekerja, Maiyasni bergegas mandi.  Kamar mandi mereka terletak di belakang rumah sehingga harus mengambil jalan memutar jika hendak menggunakannya karena hanya ada satu pintu di rumah kontrakan itu.  Jika dulu, ia tak pernah protes tentang airnya yang berbau besi dan keruh, sebulan belakangan ia kerap merutuk.  Tapi anehnya, keluhan dan rutukan itu berhenti seiring kematian Yusran.  Maiyasni seperti kembali mengadi perempuan yang pandai mensyukuri keadaan.

Maiyasni mematutut diri di cermin, mengoleskan pelembab, bedak, dan lipstik berwarna merah muda di bibir ranumnya.  Rambut ikal berwarna tembaga sengaja diurai, menjadi semacam bingkai abstrak pada wajahnya yang jelita namun dihiasi senyum abstrak pula.  Ia berniat untuk memakai maskara dan mengoleskan sedikit pemerah pipi agar pipinya lebih menyala, tapi segera ia urungkan.  Perempuan yang terlalu cantik dan terlalu bahagia di malam ketika suaminya tewas mengenaskan akan mendatangkan banyak pertanyaan.


Sepatu sandal Maiyasni beradu dengan lantai koridor Rumah Sakit Otorita Batam, menimbulkan suara detak-detak, bagai nyanyian beritme riang di telinga Maiyasni yang memang tengah senang.  Dua orang polisi dan tiga orang petugas rumah sakit menunggunya di depan kamar mayat.  Mereka terkesiap, nyaris curiga ketika Maiyasni datang dan menyalami mereka dengan jabatan erat dan tegap.  Bukan jabatan tangan rapuh yang sekiranya mereka harapkan.

Setelah selesai mengidentifikasi mayat suaminya, Maiyasni hanya mengucapkan satu kalimat, “Betul, ini suami saya.”  Lalu melangkah keluar ruangan.  Semua orang menunggu dengan harapan cemas.  Mereka menunggu Maiyasni menangis, meraung, mencakar-cakar, atau berteriak kalap.  Tapi mereka harus kecewa, sebab raut wajah Maiyasni terlihat begitu tenang, terlalu senang bahkan.

Pemakaman Yusran berlangsung singkat, hanya dihadiri beberapa orang kerabat dan sahabat, dan –tentu saja- lelaki yang menabraknya-.  Maiyasni memandang lelaki itu dengan penuh rasa terima kasih, walau tak terlalu kentara karena ia berusaha menutupinya.  Maiyasni bahkan tidak menuntut agar lelaki itu dihukum sebab merenggut nyawa Yusran, ia hanya minta biaya rumah sakit, pemakaman, dan tahlilan sampai tujuh hari.  Maiyasni tak sudi mengeluarkan uang sepeserpun untuk jenazah Yusran.

Sampai hari ke-tujuh, lelaki itu datang untuk ikut mendoakan almarhum Yusran.  Barangkali ia merasa bersalah atas campur tangannya menghilangkan nyawa, sekaligus berterima kasih sebab ia tak perlu mendekam di penjara.  Kehadirannya tentu saja disambut sebagai kontroversi oleh kerabat Yusran.  Tapi Maiyasni, sang janda, selalu menyambutnya manis yang bukan pura-pura.

Sebagai perempuan berumur 22 tahun, jelita, janda pula, Maiyasni cukup tahu diri menggunakan setiap peluang.  Hasil santunan dari perusahaan tempat Yusran bekerja dan uang asuransi almarhum suaminya itu dipergunakan sebagaimana mestinya.  Ia tidak pulang ke Bandung seperti seharusnya, melainkan menyewa sebuah kamar yang lebih layak di Bida Asri, Batam Center.  Hari kedelapan, Maiyasni membagi-bagikan semua barang peninggalan Yusran tanpa terkecuali kepada kerabat dan tetangga.  Tidak ada barang berharga, sebab satu-satunya barang yang cukup berharga di matanya hanyalah televisi 14 inci, itu pun sudah berpindah tangan sejak belasan bulan yang lalu.

Hari ke-sepuluh, setelah ia resmi berpindah dari kamar pengap itu, Maiyasni teringat kepada seseorang yang barangkali tengah menantikan kepulangan almarhum suaminya.  Maka sebelum ia disibukkan oleh ritual berburu pekerjaan, Maiyasni berangkat ke Sekupang untuk menemui seseorang itu.

Perempuan itu, lebih tua dari Maiyasni dan bermuka masam.  Rautnya tak berubah manis setetespun ketika Maiyasni hadir di depan pintunya.  Maiyasni tidak tahu apakah perempuan di depannya mengetahui atau tidak apa posisi dia di dalam hidup Yusran, tapi demi melihat raut masam dan perut buncit di depannya, ia batal bertanya.

Tanpa menyapa atau memperkenalkan diri, Maiyasni berkata lantang, seoalah berita yang ia bawa adalah kabar gembira.  “Yusran mati sepuluh hari yang lalu.  Digilas truk.”  Lalu ia beranjak pergi.  Tak menoleh lagi.

Perempuan itu meraung, Maiyasni masih bisa mendengar suaranya dari jarak dua puluh enam langkah, namun ia tak kembali untuk menghibur atau menjelaskan apa-apa.  Tak perlu, tak ada yang harus dihibur, hatinya sendiri telah remuk redam dikarenakan perempuan yang kini berurai air mata.

Meski kematian Yusran sudah berlalu hampir empat bulan, kerabatnya masih tak rela atas keputusan Maiyasni yang tak pernah mengajukan tuntutan.  Terlebih lagi, tak ada satupun dari mereka yang kecipratan uang santunan.  Maiyasni tahu bahwa dirinya telah menjadi bahan pembicaraan di antara kerabat almarhum suaminya.  Untuk menutup mulut mereka semua, Maiyasni mengirimkan undangan pernikahan mewah bergambar sepasang kupu-kupu di belantara anggrek ungu.

Undangan itu sendiri telah membawa semacam gema prahara.  Bukan, bukan karena Maiyasni yang janda akan menikah lagi, sebab orang-orang tahu bahwa sebagai janda pun Maiyasni lebih dari patut untuk diperistri.  Yang justru mengundang omongan minor dan spekulasi busuk adalah calon mempelai prianya.  Seingat mereka, lelaki itulah yang telah menewaskan Yusran.  Dan sekarang sang janda justru menikah dengannya.  Lebih dari aneh untuk dijadikan pertanyaan tanpa jawaban.

Maiyasni tak pernah menggubris isu-isu tak sedap tentang dirinya itu.  Karena walau bagaimanapun, lelaki yang dulu tak sengaja membunuh Yusran, dan sekarang menjadi calon suaminya itu telah ia cintai dan ia ingin sekali membalas budi atas kematian Yusran.  Dengan alasan membalas budi itulah, Maiyasni mau saja diseret ke tempat tidur pada pertemuan ketiga oleh lelaki itu.  Saat itu Maiyasni tahu bahwa cinta datang dan pergi dengan cara yang aneh, bahkan ghaib.

Ketika orang-orang semakin riuh bertanya, dan isu-isu semakin buas berkeliaran, Maiyasni hanya mengemukakan satu alasan.  “Yusran telah menghamili perempuan lain yang segalanya tak lebih baik dariku.  Dan sekarang aku akan menikah dengan lelaki yang telah merenggut nyawanya.  Aku rasa itu pertukaran yang cukup adil.”

 Sumber: Kompas, 16 Juli 2011





Tidak ada komentar:

Posting Komentar