- Oleh Gunarto
Kemudian berkembang pada perubahan dapil, puncaknya adalah gugatan salah satu kontestan peserta pilpres melalui Mahkamah Konstitusi (MK).
Tetapi semua perdebatan waktu itu lebih dipandang sebagai bagian dari riak-riak politik menyangkut ketidaksiapan kelompok yang kalah untuk menerima hasil pemilu, tidak dipandang sebagai bagian dari persoalan yang serius. Lantas kita pahami bersama, seluruh cerita itu berakhir antikalimaks dengan pengesahan seluruh hasil pemilu. Namun, kecurigaan itu mengemuka kembali ketika salah seorang anggota komisioner mengundurkan diri dari KPU dan menduduki jabatan sebagai salah satu wakil ketua partai yang memenangi Pemilu 2009.
Melalui berbagai perdebatan dan Panja Mafia Pemilu, terungkap bahwa ada kecurangan pada pelaksanaan Pemilu 2009. Seseorang yang sejatinya tidak mendapatkan kursi, ternyata bisa mendapatkannya setelah melakukan konspirasi dengan lembaga-lembaga (orang-orang) tertentu yang memiliki kewenangan dan kemampuan untuk mengubah hasil pemilu. Meski proses ini masih berlanjut di Panja Mafia Pemilu DPR, benang-benang merah yang bisa menjadi titik terang mulai terungkap. Staf mantan anggota KPU Andi Nurpati bernama Sugiarto mengungkapkan bahwa konsep dan perintah pembuatan surat ke MK yang kemudian menjadi sumber masalah, justru berasal dari Andi dan dilakukan melalui ruang kerja sang mantan anggota KPU itu (Kompas, 08/07/12).
Dari sisi kriminalitas, tindakan ini bisa dipandang sebagai bentuk kejahatan dengan konsekuensi hukum pidana biasa. Tetapi jika kita kontekstualisasi secara substansial maka tindakan ini memiliki sejumlah implikasi sangat serius, tidak bisa dipandang sebagai kejahatan biasa karena dijalankan secara konspiratif. Menurut pakar Konspirasi, Karl Poper (2006) dunia politik merupakan panggung penerapan konspirasi yang dibangun secara delusif, diteorisasi, dan diaplikasikan secara sempurna. Karena itu, pentas politik tidak mudah untuk dipahami dan diurai secara sederhana, butuh kedalaman pengamatan dan kecermatan untuk memahami dimensi-dimensi anatomisnya.
Catat Hukum
Apa dampak kejahatan pemilu? Pertama; pemilu merupakan sarana rakyat menyalurkan aspirasinya secara jujur dan tulus untuk menentukan siapa wakil yang dikehendaki untuk menyampaikan aspirasinya dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Karena itu, pilihan rakyat dapat dipandang sebagai bentuk kepercayaan secara mutlak. Siapapun yang mengubah hasil pilihan rakyat, sesungguhnya dia telah mengubah secara sepihak kepercayaan rakyat. Jadi, mengubah keputusan rakyat dapat dipandang sebagai tindakan mengingkari aspirasi rakyat.
Kedua; kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dalam penentuan hasil pemilu, berimplikasi terhadap legalitas seseorang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat. Hanya mereka yang dipilih yang bisa dengan legal menggunakan legitimasi rakyat untuk menindak, memutuskan, dan mengambil kebijakan di tingkat negara. Jika ada seseorang atau sekelompok orang yang menggeser suara pilihan rakyat kepada orang lain yang bukan pilihan rakyat maka segala keputusan yang dia lakukan merupakan produk tidak legal dan melanggar asas perwakilan rakyat.
Persoalannya adalah, jika terbukti bahwa pelaksanaan Pemilu 2009 dipenuhi sejumlah kecurangan fundamental, merekayasa yang kalah menjadi pemenang, mengubah yang tidak menduduki kursi legislatif menjadi bisa menduduki maka seluruh produk kebijakan dan hukum yang dihasilkan cacat secara hukum.
Secara yurisid, ada tiga kewenangan legislatif; menyusun UU, pengawasan, dan mengesahkan anggaran. Ketiga kewenangan itu berhubungan secara langsung dengan dimensi kehidupan. Jika sumber legalitas ini tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum maka negara ini sesungguhnya tengah berjalan menuju ilegalitas, kondisi penyelenggaraan negara yang tidak memiliki dasar keabsahan yang bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.
Inilah ironi yang kita hadapi sebagai bangsa. Jika problem-problem itu tidak dapat diselesaikan dengan baik, dalam jangka panjang, memunculkan problem sangat serius, menyangkut keabsahan eksistensi bangsa dan negara. Karena itu, kejahatan pemilu atau mafia pemilu, tidak boleh dipandang sebagai kejadian politik biasa, harus diikuti dengan penanganan sungguh-sungguh secara hukum untuk menyelamatkan eksistensi bangsa dan negara. (10)
— Dr Gunarto SH MHum, Wakil Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dosen Magister Hukum
Sumber: Suara Merdeka, 16 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar