Pages - Menu

20 Juni 2011

Memahami Islam Secara Jernih dan Kritis

Oleh: Muhammadun*
Judul buku      : Islam: Percikan Sejarah, Filsafat, Politik, Hukum dan Pendidikan
Penulis             : Prof. K. Yudian Wahyudi, Ph.D
Penerbit           : Pesantren Nawesea Pres Yogyakarta
Cetakan           : 1, 2011
Tebal               : 164 halaman

Akhir-akhir ini, Islam dipahami sepotong-potong oleh sebagian umatnya. Karena pemahaman yang tidak utuh, Islam yang dipahami menjadi Islam yang begitu menakutkan. Wajah Islam menjadi suram dan mengerikan. Berbagai tindak kekerasan malah dialamatkan sebagai ajaran Islam. Karena itulah, pemahaman yang sepotong perlu dijernihkan kembali. Kalau masih dibiarkan, pemahaman itu justru akan merusak keindahan Islam sendiri. Disitulah perlu sebuah pengantar yang jernih dalam membaca Islam. Jernih bukan sekedar kritis, tetapi juga memberikan inspirasi kebangkitan dan kemajuan Islam untuk mengisi peradaban dunia. Nilai-nilai ajaran Islam sangat ditunggu untuk menyemai kembali wajah peradaban yang sedang kusam.

Peradaban Islam bukanlah warisan yang diterima secara taken for granted, apa adanya, tanpa ada upaya penjernihan ulang, reaktualisasi dan kontekstualisasi atas warisan tersebut. Peradaban Islam yang agung itu lahir dengan jejak penuh getir, hasil ramuan para filosof, teolog, fuqoha’, sastrawan, dan para negarawan. Semua saling berakit melakukan beragam gerakan penuh terobosan dalam berbagai segi kehidupan, utamanya ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan pendidikan. Warisan peradaban Islam ini tak lain merupakan manifestasi mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada umat Islam: Iqra! (bacalah!).


Mukjizat Iqra! inilah yang menjadi arus pengantar kajian yang dikemukakan Prof. Kiai Yudian dalam buku ini. Buku ini bukan sekedar memberikan “pengantar kajian” dalam islamic studies, karena spirit keilmuan yang dikemukakan penulis dalam buku ini memberikan ledakan keilmuan yang membuat pembaca bisa jadi tercengang-cengang. Teror wacana yang diusung Yudian benar-benar akan menjadikan pembaca “merinding”, sehingga segera bangkit memberikan apresiasi lebih lanjut dalam memahami apa itu Islam. Yudian mengajak pembaca tidak hanya “berhenti” dalam pengantar ini, melainkan semakin keranjingan dalam meledakkan potensi membaca dan membangkitkan pembaca untuk melakukan torehan prestasi yang bisa mencengangkan dunia.
Belajar dari warisan peradaban Islam masa silam, Yudian menjadikan spirit Iqra! sebagai pendobrak awal untuk memulai sebuah petualangan intelektual. Membaca akan mengajak pembaca untuk melakukan petualangan ke segala penjuru semesta pengetahuan tanpa batas. Aktivitas membaca juga berhak dilakukan siapa saja, tanpa peduli latar belakangnya. Spirit Iqra! pula yang telah dibuktikan Yudian melakukan pengembaraan intelektual dengan mengkhutbahkan Islam di berbagai penjuru benua, mulai Eropa, Australia. Afrika, dan Asia. Iqra!, sekali lagi, merupakan “pengantar” menuju pencerahan bagi peradaban umat manusia.    

Percikiran “pengantar” dalam buku ini memberikan inspirasi bagi pembaca bahwa ledakan Iqra! telah menelurkan para pemikir Islam yang memberikan sumbangsih sangat besar bagi kemajuan peradaban dunia. Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i, misalnya, merupakan pemikir yang berjasa besar bagi perkembangan kajian hukum Islam (islamic law). Al-Syafi’i mampu membangun kompromi pemikiran moderat yang mensinergikan peradaban teks di Madinah dengan peradaban rasio di Irak. Dengan berdomisili di Mesir yang masih berkembang jamaan itu, Al-Syafi’i mampu membangun poros keilmuan moderat yang bisa memberikan jalan alternatif  bagi perkembangan keilmuan di negara berkembang.

Bisa dikatakan bahwa Al-Syafi’i merupakan bapak konstutuasionalisme dalam kajian islamic law. Ini tak lain karena spirit keilmuan yang menancap dalam diri Al-Syafi’i begitu menggelora, sehingga bacaan-bacaan dari berbagai literatur mampu ia lahap dengan begitu nikmatnya. Baik ketika ia masih di Madinah dan di Irak, Al-Syafi’i begitu tekun mengkaji pemikiran Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah, keduanya pemikir besar yang menjadi penggerak pemikiran di Madinah dan Irak. A-Syafi’i dengan tekun menjadi seorang pemikir yang mampu membangun peradaban keilmuannya sendiri, tanpa harus taqlid dengan para gurunya. Kebebasan bacaan memberikan otonomi keilmuan yang tumbuh subur dalam pribadi seorang Al-Syafi’i.
Gerak yang sama juga dilakukan oleh Al-Farabi yang sangat tekun dalam mengkaji filsafat Islam. Jasa-jasa Al-Farabi dalam membangun peradaban filsafat di bumi Islam memberikan inspirasi besar bagi generasi Islam kemudian untuk memajukan peradaban dengan tekunnya. Al-Farabi juga prototipe pembaca yang sangat tekun, semua dilahap dengan penuh kenikmatan. Ia bukan saja seorang filosof, juga ahli dalam kajian fiqh, sejarah, teologi, dan akhlaq. Mereka tak pernah berhenti dengan satu bidang kajian keilmuan, tetapi mampu “merampungkan” beragam disiplin keilmuan tanpa harus mendangkan kajian disiplin yang telah ditekuni sebelumnya. Ledakan Iqra! menjadikan Al-Farabi maestro yang disegani.

Spirit Iqra! inilah yang juga dilakukan pemikir kontemporer dalam dunia Islam saat ini. Dengan Iqra!, pemikir Islam kontemporer “berani” melakukan dekonstruksi dan rekontruksi dalam bangunan pemikiran kajian Islam. Dekonstruksi pemikiran lahir di berbagai tempat, bahkan tidak sedikit yang mengalami ketegangan dengan status quo yang masih konservatif. Yudian memotret seorang pemikir asal Sudan, Mahmud Muhammad Thoha. Pemikir yang mengangkat kembali relevansi ayat makkiyah itu memberikan terobosan besar ihwal urgensi hukum Islam yang sesuai dengan ruang dan waktu. Sayang, pemikiran Thoha justru disalahpahami, sehingga dia dianggap melenceng, dan akhirnya harus tunduk untuk dihukum: kematian.

Walaupun tragedi menyelimuti para pemikir tersebut, tetap saja energi Iqra! begitu merembet dari satu generasi menuju generasi berikutnya. Justru dengan tragedi itu malah membangkitkan semangat pencerahan. Generasi masa depan semakin yakin melakukan proses pembaharuan, sehingga warisan peradaban Islam tidak beku dan kaku dalam menghadapi tantangan kontemprer. Semua ini disadari oleh Yudian, sehingga dia begitu keras dalam belajarnya, sampai tergapai prestasi besar yang diraihnya, menjadi guru besar di Amerika Serikat. Dia juga mampu masuk di Universitas Harvard, kampus paling prestisius di dunia. 

“Pengantar” ini semakin menarik karena Yudian menyuguhkan gerakan dalam membangun peradaban Islam masa depan. Di pesantren yang dikelolanya, Yudian melakukan revolusi pemikiran agar santrinya jangan hanya mampu menembus kampus Indonesia saja, melainkan disemangati untuk menembus kampus bergengsi di dunia. Jangan hanya menjadi guru besar di Indonesia saja, tetapi juga harus mampu menjadi guru besar di berbagai kampus bergengsi di Eropa. Pesantren yang dikelolanya menyediakan pendidikan dasar sampai menengah yang diharapkan mampu mencetak kader santri yang mempunyai nilai ujian nasional minimal 9,5, sebuah angka yang diharapkan santrinya masuk dalam berbagai kampus bergengsi. Ini sebuah lompatan gerakan agar warisan Islam tidak mandek dan jalan di tempat. 

Jihad ilmiah yang diinspirasikan penulis dalam buku ini mengajak pembaca untuk terus melakukan terobosan-terobosan penting dalam mencerahkan peradaban umat manusia.

*Pustakawan

Sumber: Kompas, 15 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar