Oleh FS Swantoro
IKA tidak ada perubahan mendasar diprediksi PPP bisa hilang dalam Pemilu 2019. Sejak pemilu terakhir Orde Baru (1997) perolehan suara partai itu terus merosot hingga terancam hilang pada dua pemilu mendatang. Dulu ketika masih ada NU, MI, Perti, dan PSII kekuatan PPP mampu mengalahkan Golkar di DKI Jakarta, Aceh, Pekalongan, dan daerah lain. Tapi sesudah itu, dari pemilu ke pemilu suara parpol itu terus tergerus, dan gagal mempertahankan captive market pemilih lama atau meraup suara dari pemilih pemula.
Menurut Hasyim Muzadi (2011) yang pernah berkiprah 13 tahun di PPP tren yang terjadi sekarang partai menjadi pragmatis. Tidak hanya PPP, hampir semua partai melakukan hal yang sama. Lantas, mampukah PPP menerobos barikade pemburu rente yang merebak sekarang ini?
Menurut Hasyim Muzadi (2011) yang pernah berkiprah 13 tahun di PPP tren yang terjadi sekarang partai menjadi pragmatis. Tidak hanya PPP, hampir semua partai melakukan hal yang sama. Lantas, mampukah PPP menerobos barikade pemburu rente yang merebak sekarang ini?
Perjalanan parpol itu dalam kancah politik nasional boleh dibilang tidak terlampau mulus. Dulu meski berada dalam tekanan, Partai Kakbah ini masih mampu berbicara di panggung politik nasional. Sekarang di tengah euforia kebebasan berekspresi, justru merosot. Kemerosotan bukan hanya soal suara melainkan juga tidak punya tokoh sekaliber HJ Naro, Ismail Hassan Metareum, HMS Mintaredja dan sebagainya. Ada kesan, partai itu pasif dan tak punya pemikiran kritis membela kaum duafa.
Bahkan Ketua Umum Suryadharma Ali yang terpilih dalam Muktamar VI Tahun 2007 terkesan pasif, takut kehilangan jabatan. Hal itu terlihat ketika pengambilan suara hak angket mafia pajak pada sidang paripurna DPR. Kesannya hanya mengejar kepentingan diri sendiri dan tidak tahu untuk apa kekuasaan itu harus diamalkan.
Ada indikasi kuat, kemerosotan perolehan suara PPP dalam satu dekade terakhir terjadi akibat krisis kepemimpinan dan tidak sukses mengejawantahkan aspirasi umat Islam di Indonesia. Juga muncul kesan kader-kader terpengaruh sikap hidup pragmatisme, konsumerisme, dan hedonisme. Kalau elite partai seperti itu, sulit diharapkan kebesaran bisa diraih kembali.
Untuk Pemilu 2014, andaikata parliamentary threshold dinaikkan 4% PPP bisa kehilangan banyak kursi di DPR. Tidak tertutup kemungkinan posisinya digeser Gerindra atau Hanura. Ke depan, PPP perlu merefleksikan dan menyusun strategi kerakyatan agar mampu bertahan dan tidak bubar dari kancah politik nasional.
Penyebab Konflik Selain fenomena itu, secara faktual tingkat kepercayaan masyarakat terhadap PPP merosot, baik di tingkat nasional maupun regional. Secara kelembagaan, partai itu terlihat kurang dinamis dalam merespons berbagai tuntutan masyarakat. Persoalan lain, konsolidasi partai terasa belum dilakukan secara baik sehingga muncul kesan DPW dan DPC berjalan sendiri-sendiri.
Menghadapi Pemilu 2014, upaya penyelamatan partai melalui konsolidasi yang solid harus dimulai dari ranting, PAC, DPC, sampai DPW, serta membangun komunikasi intens menjadi keharusan. Lebih dari itu, partai ini kurang memiliki pola pertanggungjawaban yang jelas bagi publik. Partai hanya sibuk menjelang pemilu, sesudah itu tidur nyenyak, dan baru menggeliat menjelang hajatan partai seperti muktamar, mukernas, atau pilkada untuk mendukung calon kepala daerah.
Tidak berlebihan ada kesan elite PPP hanya rajin mengejar kekuasaan. Seolah kekuasaan itu segala-galanya. Model memburu kekuasaan dan memburu rente masih terjadi sampai sekarang. Selain itu faktor kultur politik warisan fusi sering ikut melatarbelakangi konflik.
Ke depan Partai Kakbah harus punya visi jelas, paling tidak meliputi dua hal; (1) sebuah kerangka kerja konseptual yang didasarkan pada perencanaan matang dan komprehensif untuk memahami tujuan dan bagaimana mencapainya; (2) dari sisi emosional visi itu harus dapat memberi inspirasi yang dapat mendorong semangat kerja partai demi kesejahteraan bersama seperti dicita-citakan.
Visi partai harus konkret dan realistis yang dapat dipercaya serta punya daya pikat masa depan. Visi harus merupakan jembatan antara masa kini dan masa depan sehingga harus realistik dan idealistik. Semua itu layak dipersiapkan dalam Muktamar PPP Juni 2011 dan jika tidak maka PPP bisa hilang dalam panggung politik nasional setelah Pemilu 2019. (10)
— FS Swantoro, peneliti pada Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar