Memoar Singkat “Mujahid” Cengeng
(Tinjauan atas Novel “Pengantin Teroris: Memoar Jihad NA”)
Oleh : Rijal Mumazziq Zionis[2]
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, maka binasalah langit dan bumi ini dan semua yang ada di dalamnya” QS. Al-Mu’minun : 71
Dunia terorisme di Indonesia, jika diamati, sulit diberantas karena dua faktor; pemahaman dan interpretasi teks suci yang dilakukan secara serampangan, yang didukung kondisi ekonomi, sosial, politik di Indonesia yang masih labil. Faktor lainnya adalah pihak aparat masih menerapkan pendekatan kekerasan dalam memberantas aksi terorisme berkedok agama. Sungguhpun metode ini berhasil, namun efek yang dihasilkan tak kalah mengerikan. Bibit-bibit teroris muncul bak jamur di musim hujan, mereka ditempa di organisasi bawah tanah yang menggunakan metode penggemblengan melalui brainwashing, perekrutan terbatas, penggunaan sistem sel, yang didukung logistik memadai. Ironisnya, para perekrut gerakan ini di antaranya, adalah bekas-bekas narapidana tindak terorisme. Terbukti, jika penjara tak membuat mereka jera, tapi malah membuat mereka lebih canggih (karena selnya pun ditempatkan bersama-sama dengan terpidana terorisme lainnya).
Dan, aksi penyadaran anggota teroris agar kembali ke siratal mustaqim, ternyata bukan menggunakan cara-cara kekerasan, karena mereka akan terus melakukan aksi perlawanan, melainkan dengan menggunakan cara-cara yang lembut nan elegan. Dan, dalam novel Penganten Teroris inilah, saya menemukan kisah “taubat”nya seorang mantan teroris justru bukan dengan digebuki dan dicuci otak, tetapi menyentuh simpul-simpul hatinya. Sukree, eks-mujahid Afghanistan asal Malaysia, yang sepulangnya dari Afghanistan melanjutkan ekspansi “jihad”nya ke Indonesia pada medio 1990-an hingga tahun 2003, menebar terror bom bunuh diri dalam aksi Bom JW. Marriot Jakarta. Tentu bukan dirinya yang melakukan aksi itu, tetapi dua orang anak didiknya, yang pengetahuan agamanya masih polos tapi memiliki semangat beragama yang menggebu. Mereka inilah yang menjadi “pengantin”, sandi bagi calon pengebom bunuh diri, yang konon, dijanjikan dinikahkan dengan bidadari surga. Hasil gemblengan Sukree inilah yang banyak menebar terror bom di Indonesia.
Konon, organisasi Jamaah Islamiyah, organisasi yang menjadi induk semang Sukree, ini adalah otak di balik aksi pengeboman di Tanah Air. Menurut Syekh Ali Muhammad Syarief dan Syekh Najih, dua anggota JI yang telah “murtad” dari kelompok ini, ada empat hal yang sangat berbahaya dari organisasi ini. Pertama, fanatik terhadap pendapat sendiri dan menolak pendapat orang lain. Pola pikir yang keras di antara mereka tak jarang berujung pada pemaksaan pemahamannya sehingga berujung pada kekerasan pula. Kedua, memahami teks agama secara harfiyah, misalnya, dalam memahami ayat-ayat mutasyabihat mengenai ayat perang tanpa mengindahkan tujuan dan sebab turunnya ayat tersebut. Ketiga, mereka biasanya berlebih-lebihan dalam pengharaman. Dalam perspektif mereka, segala sesuatu yang tidak berlandaskan syariah adalah haram. Keempat, mereka sangat mudah sekali mengkafirkan orang lain atau pemerintah (h.120-121). Nah, faktor terakhir inilah yang membahayakan, sebab poin ini dijadikan alasan dan legitimasi pengeboman yang terjadi di Indonesia. Jika seseorang telah (dianggap) kafir, maka kekerasan atau pertumpahan darah, adalah “diperbolehkan”.
Poin-poin di atas, secara sekilas bisa mengingatkan kita pada ekstrimis Khawarij yang hidup beberapa abad silam. Secara organ gerakan, kelompok ini telah punah, tetapi secara pemikiran dan ideologi, Neo-Khawarij dengan pola gerakan yang lebih canggih telah menjadi orok yang membahayakan Islam sendiri.
Dan, Sukree, tokoh novel ini adalah bagian dari gerakan Neo-Khawarij yang secara kasat mata bernama Jamaah Islamiyah. Sebagai anggota kelompok ini, empat faktor di ataslah yang dia pakai sebagai landasan pengkaderan. Sebagai orang yang ditempa di medan perang selama beberapa tahun, nalar yang ia gunakan adalah logika kekerasan. Tak heran jika Sukree menyebut pemerintah Malaysia, Indonesia dan negara-negara lain yang tak memakai sistem Islam(i) sebagai Taghut (setan). Alhasil pemerintah “beginian” ini hukumnya, menurut mereka, boleh diperangi. Pola pikir yang dianut Sukree ini merupakan landasan dasar epistemologi mereka dalam melancarkan aksinya. Dasar epsitemologi inilah yang rata-rata menjadi ruh gerakan organisasi-organisasi Islam ekstrem. Memang, setelah perang Afganistan usai, para veteran mujahidin ini pulang ke negaranya masing-masing. Ada yang berdakwah secara damai, ada pula yang bergabung dalam organisasi-organisasi khas “mujahid”, seperti NII, Jamaah Islamiyah, dan Majelis Mujahidin Indonesia (saat ini bermatamorfosis menjadi Jamaah Ansharut Tauhid). Dan di antara yang paling militan adalah Jamaah Islamiyah.
Setelah banyak mengkader beberapa “mujahid” di Indonesia, Sukree akhirnya menemukan kesadaran kembali ke jalan Islam damai. Bukan pentungan polisi yang menyadarkannya, bukan peperangan yang membuatnya kembali, bukan penangkapan teman-temannya yang membuatnya “taubat”, tetapi justru perlakuan penjaga penjara-lah yang membuatnya merenung tentang aksi “jihad”nya selama ini. Setelah tertangkap dan ditahan, seorang sipir penjara; tua, beruban, ramah, dan beragama Nasrani (!) memperlakukannya secara lembut ketika ia mau shalat. Perlakuan inilah yang menggetarkan nuraninya; seorang Nasrani yang menghormati ibadah pemeluk agama lain dan mempercayainya meskipun ia seorang tersangka teroris. Getaran hati ini sebenarnya jauh hari pernah ia rasakan tatkala adiknya, Salmah, mengkritisi cara “Jihad”nya.
Melalui novel ini, Sukree, yang disampul ditulis dengan inisial NA,[3] digambarkan sebagai seorang Mujahid (tatkala di Afghanistan) yang agak “cengeng” dan perasa. Lihatlah bagaimana sebagai calon petempur meratapi kepergian Rahman (teman masa kecilnya yang gagal jadi Mujahid di Afganistan gara-gara kangen anak istri). Lihat pula bagaimana novel ini berakhir dengan perenungan Sukree terhadap aksi yang banyak merugikan orang lain (yang membuatnya “taubat”), setelah ia diperlakukan dengan hormat oleh penjaga penjara yang nasrani tua. Atau bagaimana perasaannya yang mengharu biru tatkala meninggalkan orangtua dan adik perempuannya tatkala mau pergi Jihad ke Indonesia.
Dalam banyak hal, novel ini kurang memiliki deskripsi karakter tokoh yang kuat. Semuanya ditampilkan kurang detail. Selain itu beberapa kontradiksi juga terjadi, misalnya orang tua Sukree di banyak halaman awal ditulis dengan nama Masdikun dan Miranah, namun di halaman akhir banyak tertulis menggunakan nama Pak Abas dan Bu Saemah (sejak halaman 114), calon tunangan Sukree yang diawal bernama Azizah, di halaman pertengahan hingga akhir banyak ditulis dengan menggunakan nama Indah.
Namun, kemampuan Abu Ezza mengeksplorasi sisi lain terorisme di Indonesia memang pantas diapresiasi. Ini adalah upaya bagaimana mengungkap aspek terorisme dari aspek yang lain. Seorang “Mujahid” ternyata tak setangguh aksinya di beberapa epos. Pejuang, teroris, mujahid, tukang perang, pemberontak, atau apaun sebutannya, tetaplah manusia. Ia memiliki nurani. Kalaupun saat ini kita berupaya mencegah dan memberantas aksi terorisme, bukan dengan cara kekerasan, kawan! Caranya? Sentuh hatinya! Demikianlah Abu Ezza mengajarkan kepada kita melalui novel Pengantin Teroris. Wallahu A’lam Bisshawab.
[1] Makalah ini dipersembahkan dalam diskusi dan bedah novel “Pengantin Teroris: Memoar Jihad NA” karya Abu Ezza, yang dilaksanakan di Pesantren al-Husna Surabaya, Selasa 1 Maret 2011)
[2] Bakul Buku Keliling sekaligus Direktur Penerbit IMTIYAZ Surabaya. 085 645 311 110. Email: rizziq_zio84@yahoo.com
[3] Kalau tak salah tebak, NA adalah inisial dari Nasir Abbas. Beberapa nama dalam novel ini memang menggunakan nama samara, misalnya (kalau tak salah tebak), Abdullah Sungkar disamarkan menjadi Abdussamad, Abu Bakar Ba’asyir disamarkan menjadi Abdul Halim, dan sebagainya.
Sumber: www.indonesiabuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar