Pages - Menu

16 September 2010

Negara dan Diskursus Gagal

 
Pada 2005, National Intelligence Council (NIC) lewat laporan Rising Powers: The Changing Geopolitical Landscape 2020 meramalkan Indonesia pada 2020 secara geopolitik bersama China dan India akan menjadi negara yang berpengaruh di dunia. China dan India sudah membuktikan prediksi itu. Namun, bagaimana dengan Indonesia? Rupanya sampai 65 tahun merdeka kita masih 'bersibuk ria' dengan berbagai persoalan internal.


Maraknya kejahatan sosial-kemanusiaan seperti perilaku destruktif kelompok yang mengatasnamakan organisasi keagamaan, terorisme, dan perampokan serta pembunuhan akhir-akhir ini membuktikan reminisensi kemerdekaan RI yang baru saja berusia 65 tahun masih memunculkan paradoks. Pembangunan di berbagai bidang yang digiatkan hanya kian mendeklanasi rakyat kecil karena setiap kebijakan yang dilahirkan elite dan pemimpin bangsa tak urung selalu berlumuran darah ketimpangan, korupsi, ketidakadilan, dan berbagai bentuk anomali bernegara lainnya alias tak prorakyat. Itu pula kenapa usulan gelar bapak kesejahteraan kepada SBY oleh Cides (Centre for Information and Development Studies) disambut kontroversial oleh berbagai pihak. Logika jamaknya, pemimpin harusnya merepresentasikan rakyat yang dipimpinnya (Avineri & Shlalit, 1992).

Kalau kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di negeri ini masih sederas dan seluas lumpur Lapindo, bagaimana mungkin negeri ini dikatakan sudah sejahtera? Masyarakat tanpa ampun dibanjiri produk-produk impor yang menjajah eigendomitas pikiran, orientasi hidup, serta identitas sebagai bangsa berdikari. Petani terus dihantui mahalnya harga pupuk, para PKL dikejar-kejar Satpol PP layaknya maling, padahal mereka hanya ingin mempertahankan hidup mereka dengan cara yang halal. Beda dengan koruptor yang walau jelas-jelas sudah salah karena merampok uang negara, membunuh hak-hak rakyat kecil, toh masih dilindungi (diberi remisi, grasi) bahkan dihormati.

Memang, alangkah lucu dan menjijikkan negeri ini, terlebih jika kita melihat kerja politik-pemerintahan bangsa yang selalu mengeras dalam timbunan kepentingan parsial sehingga upaya mengelola pembangunan yang 'membebaskan' hanya menjamah 5% 'orang kaya' di Indonesia. Yang terlihat sekarang, moralitas kebijakan kian jauh dari cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya. Ketika Bang Ali Sadikin dinilai sukses memanfaaatkan pajak lokalisasi pelacuran dan tempat perjudian di Jakarta sebagai sumber pembiayaan pembangunan, ia dikritik para alim ulama karena dianggap melegalisasi praktik perjudian dan pelacuran. Tapi, kritik itu disergahnya: "Karena uang yang dipakai memperbaiki jalan berasal dari uang judi dan pelacuran diharamkan, para alim ulama harus mempunyai helikopter sehingga tidak mempergunakan jalan-jalan itu! Sinisme itu mungkin sekadar banyolan. Tapi di sisi lain sesungguhnya merupakan kritikan (balik) terhadap hipokrisi jamak kehidupan berbangsa yang tanpa sadar sudah lama melembaga (Mcllwaine dan Moser, 2001:968). Sebut saja upaya sadar melegitimasi berbagai kebijakan tidak populis atas nama rakyat dan euforia masif korupsi yang mengalami terjun bebas luar biasa alias cascading process (turun ke bawah) ke daerah-daerah sebagai sebuah normalitas. Hembusan wacana alot dana aspirasi dan perdesaan serta rumah aspirasi yang sempat menghenyak detak girang jantung rakyat pada hipotesis ketulusan wakil rakyat memikirkan konstituennya.

Mestinya derita rakyat mendorong ketekunan politisi menyuarakan beban krusial publik seperti dampak penaikan tarif listrik, menukiknya harga kebutuhan pokok, atau ledakan tabung gas yang terus merenggut nyawa wong alit. Namun, kekuasaan di republik ini membuat mereka melihat rakyat sebagai uang (kapital), bukan 'roh' negara yang berdaulat, yang bisa dikantongi dengan menggadaikan sumpah jabatan. Kekuasaan seperti harta ghonimah yang bisa dibagi-bagi menurut klan, jaringan kekerabatan, ataupun kelompok kepentingan sehingga pilkada di berbagai daerah mirip meja hitung uang yang dipakai para family kekuasaan.
Karena sadar akan hal itu, Karl Marx lewat tesisnya pesimistis negara akan lenyap seiring dengan bertransformasinya ia menjadi instrumen kapitalisme. Namun, Max Weber membantah, negara tak akan lenyap karena selalu ada jiwa nasionalisme yang melekat dalam negara (Riansyah, 2009). Ironisnya di negara ini, spirit nasionalisme telah lama dinafikan para penguasa.

Sebagian besar elite kekuasaan punya andil besar menyuburkan korupsi. Dari istana sampai daerah rakyat dikepung teater banal korupsi yang bahkan melibatkan para cendekiawan dan agamawan. Soliditas dan solidaritas berbangsa tinggal kenangan karena setiap pesta demokrasi (pilkada/pilpres) menelurkan pemimpin yang rakus mengambil bagian rakyat sebagai kekayaan pribadi/kelompoknya. Parahnya, libido tersebut dilegalisasi sistem kekuasaan pragmatis mulai lembaga independen, partai politik, koalisi kepentingan sarat monetisme sehingga korupsi selalu mengalami relaksasi dari waktu ke waktu.

Mafia pajak, peradilan, birokrasi korup, kebijakan antirakyat, hingga korupsi (politik) (termasuk bolos sidang) serta pembangunan gedung baru DPR senilai Rp1,6 triliun yang diperagakan dewan kita sepertinya kian mengaburkan esensi kontrak sosial JJ Rousseau (1712-1778) menjadi sekadar kontrak politis belaka. Setiap 'diskursus kerakyatan' yang digagas politisi bersinggungan dengan transaksional untung-rugi sehingga pendakian transendental kekuasaan menuju bonum commune selalu kandas dan lunglai.

Diskursus gagal
Meminjam teori level diskursus praksisnya Habermas, yakni pragmatis, etis-politik, dan moral (Hardiman, 2009:114), diskursus kepentingan rakyat selalu tidak pernah tuntas diselesaikan di level moral. Elaborasi kepentingan rakyat hanya didiskursuskan pada level pragmatis yang berkelindan dengan kepentingan-kepentingan empiris dengan mensyaratkan profesionalitas semata (tecnocratis cabal). Kalaupun dilanjutkan pada level etis-politis, kepentingan rakyat hanya tampak pada perdebatan soal 'nilai kebaikan' kebijakan tanpa menekankan sisi moral (keadilan). Padahal pada level itulah substrat sebuah kebijakan 'diadili' apakah memihak rakyat kecil, miskin, yang tidak memiliki akses terhadap hasil pembangunan, atau berpihak pada penguasa, pemodal, atau kapitalis. Esensi negara demokrasi jelas, menjadikan rakyat merdeka dan memiliki daulat di bangsanya sendiri, bukan membuat rakyat jadi miskin atau pejabat peminta-minta.

Karena itu, mengeliminasi akar pahit korupsi di negara ini merupakan keniscayaan. Kepahitan rakyat pada elite kekuasaan yang kompromi terhadap koruptor mesti dinegasi lewat kepemimpinan adekuat yang berani dan tegas mentorpedo jebakan maut korupsi.

John ST Quah (1978) dalam studi komparatifnya tentang efektivitas pemberantasan korupsi di negara-negara ASEAN menyimpulkan sebuah reminesensi: negara yang memiliki komitmen kepemimpinan yang kuat memberantas korupsi akan mudah mengentaskan korupsi meski sistem politiknya kurang demokratis jika dibandingkan dengan negara demokratis, tetapi memiliki komitmen kepemimpinan yang rendah dalam pemberantasan korupsi.

Ini bukan sekadar demokratis atau tidaknya negara seperti gelar 'juara demokrasi' yang kita raih di Forum Komunitas Demokrasi di Krakow. Tapi lebih daripadanya, soal hadirnya pemimpin yang gigih mewujudkan pemerintahan pro-poor dan bersih. Komitmen pemimpin yang memiliki peta masa depan (road map to the future) pemberantasan korupsi; berani, agresif menegakkan hukum dan keadilan di mata rakyat dengan mengeliminasi prioritas-prioritas kekuasaan yang sempit (pencitraan, diskursus tanpa substansi) demi tegaknya Indonesia yang merdeka dari berbagai kejahiliahan para pemimpinnya sendiri. Sebab pemimpin dipilih untuk menjawab masalah, bukan jadi bagian dari masalah (korupsi), apalagi menimbulkan masalah.

Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa pascasarjana Fisipol UGM; dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang

Sumber : Media Indonesia, 16 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar