Bagi kebanyakan muslim di Indonesia, berakhirnya Ramadan adalah kesedihan. Bagi orang beriman, kesedihan dapat bermakna ganda; yaitu hilangnya kesempatan untuk memperbaiki sikap jiwa, serta berharap dapat menemui kembali elan suci Ramadan di tahun mendatang. Tetapi, kesedihan Ramadan juga akan terus berlangsung jika pemaknaan terhadap nilai-nilai puasa berhenti hanya di bulan Ramadan. Jika ini yang terjadi, patut dipertanyakan nilai-nilai kesucian yang sesungguhnya ada dan terbenam di hati setiap manusia.
Secara simbolis, akhir Ramadan selalu diakhiri dengan perayaan Idul Fitri. Ditandai dengan kesadaran kita untuk saling membuka diri, memberi sekaligus meminta maaf, membuka kembali keran-keran saluran komunikasi yang selama ini terhambat, baik sengaja maupun tidak disengaja, maka makna simbolik idul fitri (kembali kepada kemanusiaan) ini patut dipertahankan dalam sebelas bulan lainnya dalam bentuk bangunan relasi yang lebih kuat dan beradab. Dapat dibayangkan jika tradisi memberi dan meminta maaf dan simbol kefitrian lainnya terus berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan kita. Proses pembelajaran pun pastilah membekas sangat dalam di lubuk hati anak-anak kita.
Memberi dan meminta maaf adalah perilaku positif yang kurang diimplementasikan secara baik dalam tradisi pendidikan kita. Kurikulum pendidikan kita seolah tak mengendus makna yang terkandung dari kata fitrah. Secara etimologis, kata fitrah (berasal dari kata fathara) dapat bermakna ganda, yaitu 'pecah' dan 'menciptakan' atau 'mulai menjadikan'. Fathara dalam arti 'pecah' ini kemudian digunakan pada arti 'memecahkan puasa', atau bahasa kita dengan ungkapan 'berbuka'. Adapun pada arti kedua Allah SWT menyebut diri-Nya Faathir (Maha Pencipta) seperti pada firman Allah: "Segala puji bagi Allah Faathir (yang menciptakan) langit dan bumi." (Fathir:1) Menurut Ibn Mandzur, salah satu makna fitrah adalah al-ibtida’ (mengawali) wal-ikhtira’ (dan menciptakan). Dengan demikian, perkataan fitrah bisa bermakna 'asal kejadian' atau 'penciptaan sejak lahir'.
Makna intrinsik lainnya juga dijelaskan para ahli tafsir yang memaknai kata fitrah dengan arti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabi'ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah SWT. Dengan pemaknaan ini, sesungguhnya kita dapat mengambil pelajaran bahwa jika ingin pendidikan karakter di sekolah menjadi kuat dan kokoh, kesadaran untuk saling berbagi, memberi, dan meminta maaf harus ditradisikan dalam skema hidden curriculum yang terjaga dan menjadi bagian dari perilaku yang harus terus dijalankan komunitas sekolah. Kegagalan kita selama ini adalah lebih terfokusnya orientasi pengajaran dan pendidikan kita pada lembar kerja siswa dan kurikulum yang tertulis, tetapi sangat jarang mengagendakan penyemaian nilai-nilai pemaaf melalui skenario yang termonitor dengan baik.
Jika hidden curriculum dijadikan sebagai bagian dari upaya membangun budaya sekolah yang sehat lahir dan batin, memasukkan nilai-nilai yang terkandung dalam makna fitrah ke dalam seluruh mata ajar adalah solusi terbaiknya. Manajemen sekolah dapat menggunakan pendekatan lintas kurikulum (cross-curricular approach) sebagai strategi untuk membuktikan bahwa mengajar satu bidang studi bukan berarti tak harus tahu atau tak bisa dimasukkan nilai atau virtue tertentu. Kesadaran untuk memahami prinsip saling ketergantungan antara satu bidang studi dan lainnya, dengan demikian, menjadi penting untuk ditubuhkan ke dalam budaya sekolah.
Strategi ini juga tidak terlalu bergantung pada ruang dan waktu, karena pembelajaran dapat dilakukan dengan begitu banyak model instructional strategies yang lebih sesuai dengan kebutuhan pemahaman siswa.
Memasukkan agenda hidden curriculum ke dalam pendekatan lintas kurikuler diharapkan dapat meningkatkan kapasitas guru dalam menemukan topik baru yang sesuai dengan bidang studi, tetapi berkaitan langsung dengan kebutuhan budaya sekolah yang ingin dibangun. Hal ini menyebabkan inovasi pengembangan kurikulum menjadi lebih terbuka dan kreatif, terutama untuk mengembangkan pendekatan context-based dalam pembelajaran.
Pendekatan cross-curricular sangat efektif jika menggunakan model pembelajaran berbasis konteks kekinian (context-based). Menurut Bruner (1996), pendekatan pengembangan kurikulum model ini disebutnya sebagai folk pedagogy, di mana perencanaan dan pengembangan bahan ajar dari sebuah kurikulum dikonstruksi berdasarkan kondisi aktual yang dialami atau ingin dialami siswa. Prinsip inilah yang seharusnya dikembangkan setiap sekolah sehingga independensi sebuah bidang studi tak cukup punya ruang untuk berkembang sendiri tanpa kebergantungan pada bidang studi atau nilai lainnya. Bukankah di kehidupan sebenarnya kita adalah makhluk sosial yang serbasaling bergantung satu sama lain?
Ahmad Baedowi
Sumber : Media Indonesia, 13 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar