Pages - Menu

07 Juni 2010

Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia Adaptasi Perubahan Iklim

Oleh Toto Subandriyo

Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2010 yang mengusung tema Banyak Spesies, Satu Planet, Satu Masa Depan (Many Species, One Planet, One Future) perlu kita jadikan momentum untuk kontemplasi dan berziarah kepada hati nurani. Beberapa tahun terakhir rasanya kita kesulitan memahami dan menerjemahkan bahasa dan sabda alam.

Peradaban yang telah berjalan secara arif berabad-abad kini terusik. Sebut saja satu contoh "pranoto mongso" yang selama ini menjadi pegangan para petani kita dalam bertani. Dulu, nenek moyang kita memercayai betul bahwa Desember adalah bulan gedhe-gedhene sumber. Januari disebutnya sebagai "hujan sehari-hari". Artinya, pada Desember-Januari intensitas curah hujan mencapai puncaknya. Banjir besar biasanya terjadi pada kurun waktu itu.

Namun, beberapa tahun terakhir "pakem" tersebut terasa jungkir balik. Tahun lalu, misalnya, meski Desember hampir berakhir, curah hujan masih sangat sedikit. Sebaliknya, akhir Maret 2010 lalu secara kasatmata kita menyaksikan banjir terburuk selama beberapa dekade terakhir telah menusuk jantung ketahanan pangan republik.

Curah hujan tinggi ditambah kondisi kerusakan parah di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Jawa Barat, telah merendam puluhan ribu hektare tanaman padi di Kabupaten Karawang yang kita kenal sebagai salah satu lumbung beras negeri ini. Pada waktu bersamaan, masih di negeri ini, bencana kekeringan mengancam warga Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebanyak 31.000 keluarga di 56 desa kabupaten tersebut terancam kelaparan menyusul kegagalan panen seluas 80.000 hektare sawah tadah hujan dan jagung pada musim tanam 2009/2010.

Bukan hanya berhenti di situ, pada pertengahan hingga akhir Mei lalu, saat musim kemarau seharusnya sudah tiba, banjir besar justru melanda beberapa daerah. Salah satu di antaranya daerah di sepanjang DAS Bengawan Solo, seperti Kabupaten Bojonegoro, Ngawi, dan sekitarnya. Peringatan siaga satu terpaksa disampaikan kepada masyarakat karena air Bengawan Solo meluap.

Antroposentrisme

Belum lama berselang Perserikatan Bangsa-Bangsa pernah memublikasikan laporan bertajuk Bersama Memerangi Dampak Perubahan Iklim dalam Sebuah Dunia yang Terpenggal. Laporan tersebut, antara lain, menyatakan bahwa aktivitas manusia merupakan penyebab utama perubahan iklim. Atas nama pembangunan ekonomi, atas nama perang terhadap kemiskinan, masyarakat menjadi sangat permisif terhadap tindak perusakan lingkungan.

Pendekatan pembangunan yang kita tempuh selama ini telah menyebabkan hancurnya sebagian besar hutan alami (original forest), mengeringnya setengah lahan basah dunia, menguras tiga perempat dari seluruh stok ikan, serta memancarkan begitu banyak gas panas yang menyebabkan pemanasan bumi. Pendekatan pembangunan yang kita tempuh tersebut telah mempercepat laju kepunahan berbagai spesies seribu kali lebih cepat dari kondisi normal (http://www.unep.org).

Sebuah literatur menyebutkan bahwa laju perusakan hutan (deforestasi) di republik ini besarnya ekuivalen dengan enam kali luas lapangan sepak bola per menit. Deforestasi yang berlangsung masif tersebut telah mengakibatkan lebih dari 59,3 juta hektare hutan kita rusak berat. Keanekaragaman hayati (biodiversity) yang selalu kita banggakan hanya tinggal kidung kenangan.

Masifnya laju deforestasi tersebut tidak lepas dari paham antroposentrisme yang telah merasuk jauh pada pola hidup masyarakat kita. Menurut filsuf Aristoteles, paham antroposentrisme ini memandang bahwa tumbuh-tumbuhan dan tanaman di bumi ini disediakan untuk binatang, dan binatang disediakan untuk manusia. Cara pandang seperti ini telah menempatkan alam sebagai sumber eksploitasi, manusia berlomba-lomba menaklukkan dan mendominasi alam.

Semestinya kita renungkan kembali konsep ekologi-dalam (deep ecology) yang diperkenalkan Fritjof Capra (2001). Dengan arif Fritjof Capra mengingatkan bahwa dunia ini bukanlah kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi lebih merupakan satu kesatuan jaringan yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain secara fundamental. Karena itu, sudah semestinya pembangunan dilaksanakan tanpa ada yang dirugikan, baik manusia maupun alam. Pembangunan untuk kesejahteraan manusia dijalankan secara berkelanjutan tanpa harus merusak alam.

Adaptasi

Bagaimanapun kita harus melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim di berbagai sendi kehidupan. Salah satu sektor yang paling merasakan dampak negatif perubahan iklim ini adalah sektor pertanian. Perilaku iklim yang sulit diprediksi ini akan membawa kerugian finansial yang sangat tinggi bagi para petani. Greenomics Indonesia pernah memproyeksikan besarnya kerugian yang diderita petani di Jawa akibat perubahan iklim mencapai Rp 136,2 triliun per tahun (Greenomics Indonesia, 2008).

Jika tidak ada inovasi teknologi produksi yang signifikan, pada 2020 nanti sistem produksi pertanian akan membutuhkan 17 persen air lebih banyak daripada yang sekarang (66 persen). Karena itu, riset teknologi pertanian harus mengupayakan benih tanaman pangan yang selain mampu berproduksi tinggi, berumur genjah, namun juga harus mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi tanah dan iklim suboptimal (terutama tahan genangan, kekeringan, dan salinitas tinggi).

Berbagai macam benih berumur genjah yang umumnya masih dalam bentuk galur-galur benih perlu segera dirilis dan diintroduksikan kepada masyarakat menyusul varietas yang selama ini sudah ada, seperti varietas Inpari dan Silugonggo. Begitu pula benih padi tahan genangan, tahan kekeringan, serta varietas toleran salinitas tinggi.

Perbaikan cara dan waktu pengolahan tanah dan pengelolaan irigasi juga perlu perbaikan. Selama ini umumnya petani baru melakukan pengolahan tanah ketika air sudah melimpah. Untuk mengejar musim tanam, sawah harus diolah secepat mungkin dengan cara mekanisasi.

Penyebaran informasi prakiraan iklim hingga ke daerah, pemetaan wilayah rawan kering dan banjir, pemahaman terhadap informasi prakiraan iklim/musim, serta penguatan sistem kelembagaan petani dalam penyampaian informasi prakiraan iklim, perlu dilakukan dengan serius. Melalui berbagai upaya adaptasi ini diharapkan kita mampu merajut kembali masa depan dalam satu planet bumi yang telah sarat beban ini.

*) Toto Subandriyo, alumnus IPB dan MM-Unsoed, kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kab. Tegal, Jateng.
Sumber Jawa Pos, 7 Juni 2010



Tidak ada komentar:

Posting Komentar