Pages - Menu

12 Juni 2010

Berharap Perpustakaan Tak Seperti Tokek

Oleh : Idhar Resmadi

Sudah menjadi kredo usang jika masyarakat kita memang terbiasa dan dibesarkan dengan budaya lisan. Di tengah gagapnya masyarakat terhadap dunia literasi, bagaimana dunia perpustakaan menemui titik terangnya sebagai pelita dalam gelap bagi keberlangsungan masyarakat informasi di Indonesia dewasa ini?

Penulis-cum-penyair Goenawan Mohamad pernah menganalogikan bahwa dunia buku di Indonesia bak hewan tokek. Analoginya bersumber dari pergerakan budaya praliterer menuju budaya pascaliterer di mana dominasi benda-benda visual macam televisi, handphone, dan internet telah mengepung masyarakat Indonesia sehingga kehilangan lingkungan budaya membaca buku. Maka, buku pun ibarat tokek, makhluk yang terancam punah. Padahal, kalau menilik fakta yang ada, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sudah terbilang melek huruf.



Laporan Unesco 1993 mencatat bahwa sekitar 84 persen masyarakat Indonesia sudah melek huruf dan angka tersebut jauh di atas rata-rata negara berkembang yang cuma berkisar 69 persen. Laporan tersebut menunjukkan bahwa nilai kuantitatif tersebut belum menunjukkan kualias yang mumpuni. Banyak orang yang bisa membaca, tetapi belum memahami apa yang dibacanya. Selain itu, masih kurangnya akses dalam memperoleh informasi bagi semua kalangan masyarakat secara luas.

Perpustakaan sebagai salah satu akses ma-syarakat dalam memperoleh informasi dan refe-rensi, memang menjadi pelita utama bagi masyarakat umum. Namun, kajian budaya pendidikan menurut pakar komunikasi, Idy Subandi Ibrahim, dalam buku Budaya Populer Sebagai Komunikasi (2007) mencatat bahwa penyebab perpustakaan kurang “bergaung” di masyarakat karena letak lokasi yang tidak strategis, minimnya koleksi, juga ditambah dengan pelayanan dan fasilitas yang kurang memberikan kenyamanan bagi para pengguna.

Menurut dia, standardisasi perpustakaan, baik di tingkat daerah maupun institusi formal macam sekolah pun berada di titik mencemaskan. Seperti, dari 200.000 SD hanya sekitar satu persen yang punya perpustakaan standar. Untuk tingkat yang lebih tinggi seperti perguruan tinggi, hanya sekitar 60 persen yang memenuhi standar dari sekitar empat ribuan perguruan tinggi yang tersebar di Indonesia. Bahkan, yang paling parah adalah pola pikir praktis dan pragmatisme akut yang mendera dunia mahasiswa sekarang ini. Sebagai indikator, secara kasat, mahasiswa baru berkunjung ke perpustakaan bila ada kaitannya dengan tugas kuliah ataupun mengerjakan skripsi. Minat baca di perpustakaan masih belum menjadi kebutuhan dasar dalam memperoleh informasi atau pendidikan.

“Mahasiswa hanya berkunjung ke Perpustakaan Batu Api ini ketika mereka mendapat tugas dari dosen. Makanya, ada salah satu koleksi buku yang tiap tahun pasti dipinjam karena dosennya selalu menyuruh meresensi buku itu tiap angkatan,” ujar Anton Solihin, pemilik Perpustakaan Batu Api di kawasan pendidikan Jatinangor. “Buku belum menjadi kebutuhan dasar mahasiswa untuk memperoleh informasi secara lebih luas. Gaya hidup mereka belum terbentuk seperti itu,” ujarnya ironis.

Dalam rangka merayakan Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei, perpustakaan telah menjadi sorotan utama dalam meningkatkan kualitas literasi di masyarakat Indonesia. Menurut Ketua Pengurus Daerah Gerakan Pemasyararakatan Minat Baca Jawa Barat Periode 2010-2014 Oom Nurrohmah, tugas pemberdayaan literasi di masyarakat bukan semata mutlak tugas pemerintah semata. Keberadaan perpustakaan di ruang publik pun perlu disikapi bahwa keberadaan sinergi antara kebutuhan membaca dan ruang publik untuk membaca di perpustakaan sebagai satu hal yang signifikan dalam mengembangkan gaya hidup membaca buku.

“Konsep perpustakaan yang baik ketika ia me-ngenai tepat sasaran. Untuk itu, perpustakaan keliling ditempatkan di ruang publik. Karena perpustakaan yang baik tak sekadar member informasi, tapi juga bisa menjadi wadah masyarakat agar produktif dan menyangga ekonomi dan pendidikan,” kata Oom Nurrohmah.

Plaza Palaguna

Salah satu isu santer yang kencang berembus di Bandung mengenai isu dunia pustaka, yaitu rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang akan menetapkan gedung perbelanjaan Plaza Palaguna Nusantara yang bertempat tepat di depan Alun-Alun Bandung, menjadi ruang terbuka hijau (RTH) yang dilengkapi dengan perpustakaan bertaraf internasional.

Usulan itu dilatarbelakangi karena terbengkalainya gedung mal selama tujuh tahun terakhir ini. Manfaat paling penting kehadiran perpustakaan yang berlokasi di tempat strategis macam alun-alun menjadi oase minimnya keha-diran perpustakaan umum yang memudahkan akses untuk publik. Selama ini, perpustakaan yang bertebaran di Bandung hanya sebatas akses milik universitas yang spesifik sesuai dengan bidang keilmuan di kampus tersebut

Kehadiran isu ini pun diapresiasi oleh masyarakat Kota Bandung. Salah satunya dengan akun grup Facebook “Satu Juta Dukungan Palaguna Jadi RTH dan Perpustakaan”. Kehadiran perpustakaan di ruang publik strategis di alun-alun memang selain diharapkan meningkatkan budaya literasi, juga di sisi lain menjadi katalis peningkatan ruang publik karena dikelilingi pelbagai sektor, misalnya kawasan perdagangan, perkantoran, dan Masjid Raya. Salah satu poin pen-tingnya ketika rencana terealisasi, yaitu dengan membentuk satu kawasan rekreasi pustaka, perpustakaan yang dilengkapi dengan pelbagai model edutainment.

“Mubazir kalau Gedung Palaguna terbengkalai begitu saja. Konsep lebih tepat kalau dibuat semacam wisata edukasi atau membuat perpustakaan dengan semacam rekreasi pustaka yang menggabungkan dengan nilai-nilai gaya hidup sehingga perpustakaan tidak terlihat kaku dan `menyeramkan` di mata masyarakat,” ujar Oom Nurrohmah. “Penyelenggaraannya juga mesti tidak kaku, dipadukan dengan kafe, mungkin,” ucapnya menjelaskan.

Rekreasi

Menurut Oom, sangat menarik mencermati pengembangan perpustakaan bila dilengkapi de-ngan gaya hidup. Dunia literasi pun diharapkan bisa lebih berkembang karena semakin dekat de-ngan masyarakat. “Pada intinya, perpustakaan harus dibuat menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Apalagi, masyarakat Indonesia sangat senang dengan konotasi `rekreasi`, apalagi kalau dipadukan dengan kata edukasi,” tutur Oom.

Hal senada sesuai dengan perkembangan perpustakaan-perpustakaan alternatif yang tersebar di Bandung. Jika menyebut nama, Rumah Buku yang berada di daerah Hegarmanah dan Perpustakaan Batu Api di Jatinangor, mencoba mendekatkan perpustakaan menjadi semacam rekreasi pustaka yang kental dengan nilai-nilai gaya hidup. Tak hanya membaca buku, tetapi dikombinasikan dengan musik atau pemutaran film, misalnya.

“Anak-anak zaman sekarang memang kental dengan nilai gaya hidupnya. Untuk itu, perpustakaan jangan dibuat seram,” tutur Budi Warsito, pengelola perpustakaan Rumah Buku.

Menurut dia, perpustakaan terutama perpustakaan formal seperti perpustakaan umum dan kampus kental dengan stereotip angker dan membosankan. Kehadiran perpustakaan Rumah Buku hadir untuk membongkar stereotip angker dan seram itu dengan menyajikan nuansa yang ru- mahan, nyaman, dan dilengkapi dengan perpustakaan musik dan film serta ruangan bioskop mini.

Perpustakaan pun jika bisa menjadi wahana rekreasi edukasi, ia boleh mengklaim tidak bernasib seperti tokek. Ia boleh bersinergi membentuk suatu gaya hidup baru.

“Agar budaya literasi dan perpustakaan tidak hilang, diperlukan suatu gerakan mengakar di seluruh elemen masyarakat, dalam artian semua komponen mesti bergerak. Perlu satu pemahaman dan persepsi kalau perlu membaca bisa jadi gaya hidup. Mahasiswa atau remaja harus merasa keren dan bangga setelah membaca buku yang edukatif dan berkunjung ke perpustakaan,” ucap Oom Nurrohmah, berharap. (Idhar Resmadi, mahasiswa Unpad)***

Sumber : Harian pikiranrakyat, 3 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar