Pages - Menu

25 Mei 2010

Mengenang Gesang sang Maestro Keroncong Musikus Akar Rumput Lintas Dunia

Oleh: Aris Setiawan

SIAPA yang tidak kenal Gesang? Maestro musik keroncong yang namanya begitu membahana ke penjuru dunia lewat lagu ciptaannya, Bengawan Solo. Kini, dia telah berpulang selamanya ke sisi Tuhan Yang Mahaesa (20/5/2010). Sebelumnya, Gesang dirawat di RS PKU Muhammadiyah, Solo, karena penyakit lemah jantung dan komplikasi lain yang dideranya. Sontak, semua mata tertuju kepada dia. Duka cita tidak hanya datang dari masyarakat dan seniman di Indonesia, namun juga dari Jepang.


Ya, Gesang dan Jepang ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Hubungan di antara keduanya terbangun erat ketika lagu keroncong Bengawan Solo -ciptaan Gesang- bekumandang kala penjajah Jepang berkuasa di Indonesia. Setelah Perang Dunia II selesai, tentara Jepang kembali ke negaranya membawa lagu itu bersama mereka. Di Jepang, lagu tersebut menjadi begitu populer setelah dinyanyikan Toshi Matsuda.

Bahkan, penggemar Gesang di Bumi Sakura tersebut kemudian membentuk YPG (Yayasan Peduli Gesang) yang berisi kumpulan penggemar Gesang dan musik keroncong. Setiap tahun, YGP bernostalgia dengan datang ke Indonesia bertemu Gesang. Tanggalnya disesuaikan dengan hari ulang tahun Gesang, 1 Oktober. Tak hanya itu, begitu kagumnya terhadap Gesang, yayasan tersebut sampai mendirikan patung setengah badan Gesang (life-sized statue of Gesang) di Taman Jurug, Solo (1991).

Melalui Bengawan Solo-nya, Gesang telah merajut persahabatan yang ditandai dengan terbentuknya Himpunan Persahabatan Jepang-Indonesia (1985). Lebih dari itu, Gesang telah membuktikan bahwa musik adalah bahasa universal yang menyatukan dua negara, mengubah musuh menjadi saudara. Musik menjadi bagian yang mutlak diperlukan demi perdamaian dunia.

Musikus Akar Rumput

Gesang Martohartono atau yang lebih akrab dipanggil Gesang lahir di Solo, Jawa Tengah, 1 Oktober 1917. Orang tuanya adalah pembuat batik. Dia bukanlah keturunan bangsawan, sehingga kehidupannya cukup sederhana. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Gesang berkerja sebagai penyanyi keroncong (kelompok Kembang Kacang) yang berpentas keliling untuk sebuah pesta perkawinan atau hajatan lainnya. Dia cukup pandai dalam membawakan lagu-lagu keroncong peninggalan Portugis abad ke-17 (Chappy, 2009).

Gesang awalnya lebih dikenal sebagai seorang penyanyi yang ulung daripada seorang pencipta lagu. Namun, dia terlahir dan dikaruniai sebagai pribadi yang kreatif. Utami Munandar (1999) mengetengahkan, pribadi kreatif adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide, konsep, atau kemungkinan-kemungkinan khayal yang dapat dituangkannya menjadi sebuah karya, termasuk musik. Dengan demikian, wajar jika Gesang pada usianya yang relatif muda, 23 tahun, telah berhasil menciptakan beberapa nomor lagu keroncong dengan cukup memukau.

Salah satu karyanya yang monumental yang lahir pada tahun itu adalah Bengawan Solo (1940). Lagu itulah yang banyak mengubah arah hidup Gesang. Dari seorang anak biasa menjelma menjadi seorang legenda. Lagu tersebut banyak berkumandang di radio-radio di Indonesia kala penjajahan Jepang berlangsung. Menjadi hiburan dan penyejuk jiwa di balik aura kerinduan akan indahnya perdamaian. Bengawan Solo tak hanya dinikmati tentara dan masyarakat Indonesia, namun juga serdadu Jepang. Hingga Perang Dunia II selesai dan mengharuskan mereka kembali ke negaranya (Jepang), lagu itu menjadi ''oleh-oleh termanis'' dari Indonesia.

Tak terasa, kini sudah setengah abad lagu tersebut berkumandang. Menjadi lagu pertama yang melintas batas negara, dikenang abadi hingga saat ini. Namun, kehidupan Gesang tetaplah sederhana. Begitulah Gesang. Saat mahakaryanya telah mendunia, dia tidak lupa akan siapa dirinya, berangkat dari akar rumput, hidupnya tetap penuh dengan kesahajaan.

Melintas Dunia

Bengawan Solo, riwayatmu ini

Sedari dulu jadi perhatian insani

Musim kemarau, tak seberapa airmu

Di musim hujan air meluap sampai jauh...

Itulah sebait teks lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang yang terkenal tersebut. Syairnya begitu sederhana, tidak terkesan muluk-muluk atau bahkan hiperbolis. Seolah mencitrakan indahnya Bengawan Solo dengan begitu apa adanya. Barangkali, itulah alasan lagu tersebut menjadi mudah diingat dan dihafal siapa pun, tak terkecuali orang-orang nonpribumi.

Lagu Bengawan Solo pernah menjadi album terlaris (best selling) di Jepang pada 1947 ketika dinyanyikan ulang oleh Toshi Matsuda. Wajar jika masyarakat Jepang hingga kini begitu akrab dengan lagu itu. Bengawan Solo juga menjadi duta lagu Indonesia yang dikenalkan Presiden Soekarno di setiap misi kenegaraannya ke luar negeri.

Tak heran, lagu tersebut pernah kukuh berkumandang di Vietnam, RRT, Singapura, dan negara di Asia Tenggara lainnya. Seperti efek domino, lagu Bengawan Solo kemudian diterjemahkan dalam 14 bahasa seperti Inggris, Jepang, Prancis, Belanda, bahkan Tiongkok. Bengawan Solo telah dinyanyikan ulang oleh musikus terkenal seperti Anneke Gronloh, Rebeca Pan, Francis Yip, dan Benny Panjaitan.

Danis Sugianto, pengamat musik keroncong, menjelaskan bahwa periode penciptaan lagu Gesang era 40-an diwarnai dengan romantisme perjuangan. Hal itu ditandai dengan penciptaannya yang senantiasa bertema atau menceritakan tentang ''tempat'' seperti Bengawan Solo, Tirtonadi, Jembatan Merah, dan Kota Solo.

Semua dikemas dengan bahasa yang romantis, namun berisi makna dan semangat militansi juang yang dalam. Mendengarkan lagu-lagu Gesang pada era itu akan membawa memori kita pada peristiwa-peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di Indonesia. Lagu Jembatan Merah misalnya, mengingatkan kita bahwa di tempat tersebut pernah terjadi pertempuran yang dahsyat antara Belanda dan arek-arek Surabaya dalam merebut kemerdekaan.

Berkat lagu ciptaannya yang begitu terkenal itu, Gesang bisa menjelajah dan diundang ke berbagai negara seperti Jepang, Malaysia, Singapura, dan Tiongkok. Namun, kini dia telah tiada pada usianya yang senja (93 tahun). Gesang telah kalah bergelut dengan sakitnya, meretas harapan untuk kembali bersenandung merdu lewat musik keroncong.

Indonesia telah kehilangan putra dan sekaligus musikus terbaiknya. Gesang adalah pahlawan yang berjuang dan menyatukan berbagai negara lewat musik. Menjadikan Indonesia begitu indah di mata dunia. Selamat jalan Gesang, semoga amal baikmu senantiasa mengalir sampai jauh, laksana senandung air Bengawan Solo-mu. (*)

*) Aris Setiawan, etnomusikolog, pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta

Sumber www.jawapos.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar